Thursday 23 November 2017

Kuliahmu Bukan Sekedar Meraih Gelar Sarjanamu



Sudah 3 tahun kuhabiskan masa mahasiswaku di bangku kuliah S1. Waktu tak terasa menemani, rasanya baru kemarin saya dikenalkan dengan dunia intelektual yang mengedepankan keilmuan dalam persaingan di dalamnya. Singkatnya masa kuliah takkan berarti bagi mereka yang hanya bertujuan mencapai gelar sarjana, tapi bagi mereka yang mencari keilmuan maka waktu kuliah itu akan terasa sangat singkat.

Kuliah itu bukan soal lulus cepat, tapi soal ilmu yang didapat. Lulus lalu mendapat gelar sarjana bukanlah hasil kuliah yang utama, sebab hasil kuliah itu ditentukan dari seberapa keras anda menuntut ilmu bukan seberapa keras anda mengerjakan skripsi atau tugas akhir kuliah.

Pernah dengar berita tentang rektor UNJ dicopot sementara gara-gara penyelewengan program akademik, termasuk kasus plagiarisme di tingkat doktoral yang melibatkan lulusan berstatus pejabat negara. Saya tidak ingin singgung rektornya, atau almamater kampusnya, tapi coba lihat para lulusan hasil dari ‘ulah’-nya. Maka wajar jika tata kelola negeri ini banyak yang salah pengendalian atau kurangnya aturan karena pejabatnya (tidak semua ya) berkualitas ijazah palsu.

Hal mengerikan itu pun bisa terjadi kepada mereka yang (mungkin) ijazah mereka asli, tapi karena mengejar lulus mereka lupa berpikir “Sudah layakkah kapasitas saya di masyarakat saat saya dipandang sebagai seorang sarjana?”. Mungkin ilmu yang menjadi tanggungjawab anda hanya akan berimbas kepada diri anda, tapi peran kita di masyarakat saat dikecewakan tidak hanya akan berimbas kepada diri kita.

Bisa jadi ilmu anda saat berada di kampus bermanfaat, belum tentu ilmu itu bisa diaplikasikan di masyarakat. Logikanya, lihat berapa orang yang lulus kuliah setiap tahunnya, mungkin ribuan. Lihat berapa orang yang dipandang bermanfaat ilmu kuliahnya di masyarakat, mungkin beberapa. Artinya lulus kuliah itu mudah jika dibandingkan mempertanggungjawabkan ilmu kuliah yang besar. Jangan sampai kita terlena mengejar sesuatu yang mudah, tapi lupa dan menyesal saat dihadapkan dengan sesuatu yang besar.

Lalu apakah lulus cepat itu salah? Tidak. Justru lebih baik karena mengurangi beban atas keberadaanmu saat masih kuliah. Baik beban bagi orang tua mu membiayai kuliah, maupun beban kampusmu yang harus menampung keberadaan mahasiswa lama.

Kira-kira apa bedanya antara mahasiswa yang sudah lulus dengan yang belum lulus? Jika perbedaannya hanya gelar, maka rugi anda kalau kuliah masih mengejar sekedar gelar dunia. Lalu perbedaannya apa? Apakah kerja? Belum tentu, karena ada saja orang yang kuliah sambil kerja. Lalu apa? Bedanya kalau masih kuliah kita masih punya kesempatan bebas menyelami dunia keilmuan dan lingkungan intelektual, sedangkan jika sudah lulus maka apa hak kita untuk bisa belajar di kampus. Ingin diskusi akan dibatasi, ingin konsultasi kepada dosen akan diabaikan, semuanya terbatas karena kalian sudah bukan lagi mahasiswa.

Mari jadi mahasiswa yang siap mempertanggungjawabkan ilmu kita, bukan gelar kita. Tidak semua orang yang ditokohkan oleh masyarakat memiliki titel panjang dan gelar bergengsi. Terkadang hanya berguru kepada seorang imam di pedalaman dan menghabiskan waktu pulangnya dengan mengajarkan ilmu itu, rupanya bisa membawa diri dia menjadi orang berpengaruh di masyarakat. Seandainya seorang Ibnu Taimiyah memiliki gelar sarjana, mungkin baginya skripsi hanyalah hasil kecil dari sekian besar karyanya. Adakah kalian hafal gelar seorang Marx Zuckerberg? Atau seorang Steve Jobs? Bahkan lulus kuliah pun tidak. Yang masyarakat tahu bukan gelarnya namun karyanya, sedangkan karya itu lahir dari hasil pembelajarannya, bukan hasil skripsi atau gelar serjananya.

Banyaknya sarjana menganggur karena mereka belum mengerti arti survive yang sebenarnya. Seandainya mereka punya cukup ilmu maka hal itu adalah modal besar baginya untuk mengexplore peluang pekerjaan. Lulus kerja akan berorientasi cari kerja, membina rumah tangga, dsb. Kelak kamu akan menyesal banyak waktu luangmu saat kuliah yang tidak dimanfaatkan untuk mencari ilmu sedangkan waktu sisa hidupmu terpaksa kau habiskan demi memenuhi kebutuhan hidupmu. Maka manfaatkan masa kuliahmu sebelum habis masa kuliahmu untuk bebas menuntut ilmu.

Menafkahkan Harta Yang Dicintai



Tadabbur Surat Al Baqarah Ayat 267

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بِ‍َٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ٢٦٧ 

267. Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji


Asbabunnuzul

QS Al-Baqarah, 2: 267

Diriwayatkan dari Jabir bahwasanya Rasulullah saw. memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menunaikan zakat fitrah dengan kurma. Lalu, datanglah seseorang yang menunaikan zakatnya dengan yang buruk-buruk. Maka dari itu, turunlah ayat ini. Diriwayatkan pula dari lbnu Abbas bahwa para sahabat Rasulullah saw. biasa membeli kurma yang murah kemudian menyedekahkannya. Lalu, turunlah ayat ini. (Lubabun Nuqul: 38)


Khazanah Pengetahuan

Qs. Al-Baqarah 2: 267

Menafkahkan Harta yang Dicintai

Allah telah menyatakan dalam salah satu firman-Nya bahwa menafkahkan harta yang dicintai merupakan amalan yang terbaik. Hanya dengan cara inilah, dapat dilihat apakah seseorang itu benar-benar bisa menjadi bertakwa.

"Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui." (QS Ali Imran, 3: 92).

Walaupun dapat mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya, seseorang mungkin masih memiliki hasrat yang melekat terhadap harta yang dimiliknya sehingga masih ada keengganan untuk menafkahkan harta tersebut. Atau, ketika ia membagikan hartanya kepada saudara muslimnya, bisa jadi ia lebih mengutamakan dirinya sendiri daripada saudaranya. la menyimpan harta yang paling berharga untuk dirinya sendiri dan memberikan yang tersisa bagi saudaranya.

Meskipun demikian, hati kecilnya mengingatkannya bahwa dengan menafkahkan apa-apa yang dicintainya adalah jauh lebih berharga dan lebih baik. Akan tetapi, hasrat seperti ini yang ada dalam dirinya, akan menghambat perilaku yang sesuai dengan kebaikan akhlaknya dan menghambatnya untuk beramal dengan ikhlas dan tulus. (Harun Yahya, Keikhlasan Dalam Telaah Al Qur'an, 2003)


Tasir At Tabari

Maksud ayat ini adalah Allah Swt. menganjurkan kepada hamba-Nya agar bersedekah dan berzakat wajib atas mereka. Harta yang dimiliki mereka terdapat hak orang yang layak diberi sedekah. Allah Ta'ala memerintahkan agar mengeluarkan harta yang baik dan berkualitas. Hal ini, karena penerima sedekah merupakan bagian dari pemilik harta yang wajib disedekahkan.

Sebab itu, penerima dan pemberi sedekah bersekutu dalam harta tersebut. Masing-masing mendapatkan jatahnya sesuai dengan bagiannya, dan janganlah salah satu di antara keduanya melarang yang lain untuk mendapat hak dari harta tersebut. Para muzakki dilarang memberikan harta yang buruk kepada penerima zakat, atau bahkan melarang mereka mendapatkan haknya, sebab mereka juga merupakan pemilik sebagian harta tersebut. Begitupun, jika pemilik harta hanya memiliki harta yang buruk, maka penerima zakat mendapatkan harta yang berkualitas serupa. Juga tidak lantas memberikan harta yang baik kualitasnya tapi dari harta yang bukan haknya.

Namun jika seseorang memberi sedekah yang tidak diwajibkan, hendaklah memberikan harta yang berkualitas dan baik. Karena Allah Swt. lebih berhak untuk ditaqarrubi dengan harta yang paling baik. Sedangkan sedekah merupakan usaha seorang Mukmin untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak berarti diharamkan seseorang yang bersedekah dengan harta yang tidak berkualitas, sebab bisa saja harta yang kurang kualitasnya, lebih bermanfaat karena banyaknya, lebih besar dibutuhkannya, dan lebih diperlukan oleh orang miskin. Daripada memberikan harta yang berkualitas, tapi sedikit atau kecil dibutuhkannya atau sangat sedikit kemanfaatannya bagi penerima. (Tafsir At-Tabari Jilid lV, 2001: 694-711)


Tafsir Ibnu Kasir

Ayat ini berisi kabar gembira bagi orang-orang yang mau bersedekah dengan sesuatu yang baik Sedekah bisa berupa barang, sayuran, buah dan sebagainya. Allah Swt. selalu menyerukan kepada mereka agar sepenuh hati dalam beramal Keikhlasan beramal dapat ditunjukkan dengan menginfakkan sesuatu yang baik. Jika menginfakkan sayuran atau buah-buahan, misalnya, hendaknya ia memilih sayur atau buah yang berkualitas tinggi. Allah Swt. Maha baik dan menyukai sesuatu yang baik pula.

lbnu Jarir meriwayatkan dari Bara bin Azib bahwa ayat ini ditujukan kepada sahabat Anshar. Saat panen kurma, mereka memilih yang baik dan kemudian disimpan Jenis kurma yang jelek kemudian dikeluarkan dari keranjang dan diikat dengan tali. Kurma yang jelek tersebut lalu dibawa ke masjid dan digantungkan agar dimakan oleh kaum fakir dari sahabat Muhajirin. Allah Swt. kemudian menurunkan ayat ini.

Dalam ayat ini, Allah Swt. menegur orang yang suka menginfakkan barang "sisa". Teguran ini bisa diungkapkan dengan bahasa lain, ”Bagaimana Allah bisa ridha dengan sesuatu yang mereka sendiri tidak ridha." Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman sebagai berikut. "Kamu tidak akan memperioleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui" (QS Ali 'lmran 3: 92)

Diakhir ayat dijelaskan, Allah Swt adalah Zat Mahakaya yang tidak membutuhkan apa pun dari hamba-Nya, (AI-Misbah AI-Munir fi Tahzib Tafsir Ibnu Kasir, 1999: 152)


Hadis Shahih

Qs. Al Baqarah, 2: 265

Abu Hurairah r.a mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Tidak satu hari pun seorang hamba memasuki pagi harinya melainkan dua malaikat turun. Lalu, salah satu dari keduanya berdoa, 'Ya Allah berikanlah ganti kepada orang yang menginfakkan (hartanya)' Malaikat yang lain lagi berdoa, 'Ya Allah, berikanlah kehancuran kepada orang yang menahan (infak)'" (HR Bukhari, 718)


Saturday 11 November 2017

Siapa Yang Berwenang Dalam Pembatalan dan Eksekusi Basyarnas?




Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam pengaturannya secara lengkap dijelaskan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Saat terjadi pembatalan dan eksekusi keputusan arbitrase maka dikembalikan kepada pengaturan UU yang berlaku.

Dalam Pasal 61 diatur, “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Dan dalam Pasal 71 diatur, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”. Diperkuat dalam Pasal 72 Ayat (1) bahwa, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri”.

Jika melihat UU yang berlaku maka kewenangan keputusan terkait pembatalan dan eksekusi arbitrase diserahkan kepada pengadilan negeri. Hal ini berlaku pula awalnya bagi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang pengaturannya mengacu kepada pengaturan arbitrase pada umumnya sesuai UU. Polemik itu muncul saat dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Terdapat kewenangan baru bagi Pengadilan Agama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 49 UUPA yakni kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang Ekonomi Syariah.

Sejak UUPA terbaru disahkan, praktik Ekonomi Syariah di Indonesia mengalami perkembangan. Keluarnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjadi bukti bahwa perkembangan praktik syariah dalam lingkungan perbankan mulai mengalami peningkatan. Meskipun praktik perbankan syariah hanya salah satu contoh dari beberapa praktik ekonomi syariah yang dijelaskan oleh UU, yang lainnya seperti: lembaga keuangan mikro syari'ah; asuransi syari'ah; reasuransi syari'ah; reksa dana syari'ah; obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; sekuritas syari'ah; pembiayaan syari'ah; pegadaian syari'ah; dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan bisnis syari'ah.

Terkait penyelesaian sengketa, UUPS dalam Pasal 55 menyebutkan bahwa:

(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Maka penyelesaian senketa pada awalnya diserahkan kepada Peradilan Agama, namun tidak menjadi ketentuan mutlak tergantung kehendak para pihak. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat dilakukan di luar lingkungan Peradilan Agama, sebagaimana dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2) bahwa: Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:

a. musyawarah;

b. mediasi perbankan;

c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Namun penjelasan Pasal 55 Ayat (2) ini dianggap tidak berlaku alias tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Hal ini didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, sebab bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 agar adanya kepastian hukum. Awalnya Peradilan Agama dan Peradilan Negeri sama-sama menerima, memeriksa, dan memutus perkara ekonomi syariah. Dualisme kewenangan ini menjadi kerancuan dalam memastikan penyelesaian hukum, sehingga putusan MK menjadikan kepastian atas kewenangan absolut Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa Ekonomi Syariah.

Tapi bagaimana dengan jalur arbitrase yang kewenangan pembatalan dan eksekusi diserahkan kepada Peradilan Negeri? Bukankah penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut bagi Peradilan Agama? Polemik ini akhirnya diselesaikan pada tanggal 10 Oktober 2008 dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Dalam poin (4) menyebutkan bahwa, “Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syari’ah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari’ah, maka Ketua Pengadilan Agama lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syari’ah.”

Artinya, secara tidak langsung SEMA No. 8 Tahun 2008 secara tidak langsung menghilangkan substansi Pasal 61, 71 dan 72 UU No. 30 Tahun 1999 yang awalnya pembatalan dan eksekusi arbitrase syariah yang mengacu praktik arbitrase pada umumnya diserahkan kepada Peradilan Negeri lalu dirubah menjadi kewenangan Peradilan Agama.

Tapi rupanya peraturan ini tak berlaku lama, sebab keluarnya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 59 Ayat (3) menyebutkan bahwa, “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Ditegaskan kembali dalam penjelasan Pasal 59 Ayat (1) bahwa, “Yang dimaksud dengan “arbitrase” dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah.”

Hal ini yang menjadi alasan benturan hukum atas penyelesaian sengketa di arbitrase syariah. Polemik ini menimbulkan ketimpangan hukum, sehingga keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2010 tentang penegasan tidak berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.

Ketegangan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum (Peradilan Negeri dan Peradilan Tinggi) terjadi lagi meskipun keduanya merupakan dua lembaga peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung. Ketegangan ini ditandai dengan diterbitkannya surat nomor 57/Wk.MA.Y/VIII/2010 tertanggal 30 Agustus 2010 tentang Penegasan Berlakunya SEMA No. 8 Tahun 2010. Substansi surat wakil ketua Mahkamah Agung RI ini terdiri dari dua bagian:

1. Berlakunya Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 59 ayat (3) berikut penjelasannya, maka dengan sendirinya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah, telah kehilangan roh; dan

2. Atas dasar tersebut, dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah) secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, sebagaimana telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2010 dan bukan lagi dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam angka 4 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008.

SEMA No. 8 Tahun 2008 yang diterbitkan oleh Ketua Mahkamah Agung saat itu H. Bagir Manan rupanya tidak berlaku lagi semenjak beralihnya estafet kepemimpinan yang digantikan oleh H. Harifin Tumpa yang menerbitkan SEMA No. 8 Tahun 2010. Rupanya dinamika internal ini berlum berakhir, hingga beralih kembali estafet Kekuasaan MA yang dipegang oleh H. M Hatta Ali pada tanggal Desember 2016 menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. Dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa:

(1) Pelaksanaan putusan perkara ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

(2) Pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya, dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

(3) Tata cara pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dengan adanya PERMA No. 14 Tahun 2014 ini menegaskan bahwa proses pembatalan dan eksekusi arbitrase syariah menjadi kewenangan absolut pengadilan di bawah Peradilan Agama. Maka hal ini menjadi babak baru bagi Pengadilan di bawah Peradilan Agama untuk selanjutnya menangani setiap perkara sengketa arbitrase yang membutuhkan pembatalan dan eksekusi, tentunya penanganan ini dibutuhkan tata kelola yang maksimal baik dari segi SDM atau administrasi pengadilan. Tantangan yang perlu dijawab dan dijalankan bagi pengadilan di bawah Peradilan Agama di Indonesia.

Friday 10 November 2017

Pelajaran Penting dalam Kematian



Tadabbur Al Ankabut Ayat 56-57

يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ أَرۡضِي وَٰسِعَةٞ فَإِيَّٰيَ فَٱعۡبُدُونِ ٥٦ كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۖ ثُمَّ إِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ ٥٧ 

56. Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja

57. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan


Asbabun Nuzul

QS Al-‘Ankabut, 29: 56

Ketika kaum muslimin hendak meIaksanakan perintah hijrah ke Madinah, mereka merasa khawatir bila meninggalkan Mekah, mereka akan mendapatkan keadaan yang lebih suIit, seperti kelaparan dan kekurangan harta benda. Maka dari itu, turunlah ayat ini sebagai jaminan dari Allah dan supaya kepada Allah mereka mengabdi. (At Tafsir AI Wajiz 'ala Hamisil Qur'anil 'Azdim, 404)


Khazanah Pengetahuan

Qs. Al 'Ankabut, 29: 57


Pelajaran Penting dalam Kematian


”Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan." (QS Al-‘Ankabut, 29: 57)

Kematian bukanlah "bencana" yang harus dilupakan, melainkan pelajaran penting yang mengajarkan manusia kepada arti hidup yang sebenarnya. Dengan demikian, kematian seharusnya menjadi bahan pemikiran yang mendalam. Seorang muslim akan benar-benar merenungi kenyataan penting ini dengan kesungguhan dan kearifan. Mengapa semua manusia hidup pada masa tertentu dan kemudian mati?

Semua makhluk hidup tidak akan kekal. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan dan tidak mampu menandingi Kekuasaan Allah. Allah-Iah satu-satunya Pemilik kehidupan; semua makhluk hidup dengan kehendak Allah dan akan mati dengan kehendak-Nya pula, seperti dinyatakan dalam Al Qur'an QS. Ar-Rahman, 55: 26-27.

Setiap orang akan mati. Namun, tidak seorang pun dapat memperkirakan di mana dan kapan kematian akan menghampirinya. Tidak seorang pun dapat menjamin ia akan hidup pada saat berikutnya. Karena itu, seorang muslim harus bertindak seolah-olah mereka sebentar lagi akan didatangi kematian. Berpikir tentang kematian akan membantu seseorang meningkatkan keikhlasan dan rasa takut kepada Allah, dan mereka akan selalu menyadari akan apa yang sedang menunggunya, sesuatu yang pasti datangnya, tidak bisa ditunda tidak bisa pula di segerakan. (Harun Yahya. Nilai-Nilai Moral Al-Qur’an, 2004)


Tafsir At Tabari
Allah Swt menegaskan kepada orang-orang mukmin yang menjadi pengikut Nabi Muhammad saw; "Berhijrahiah kalian dari negeri syirik, dari Mekah ke negeri damai Madinah; Karena sesungguhnya Bumi-Ku sangatlah luas terbentang, bersabarlah kalian dalam rangka menyembah-Ku. Ikhlaskanlah kalian daIam taat kepada-Ku karena sesungguhnya kalian akan mati dan kembali kepada-Ku. Sesungguhnya setiap jiwa yang hidup akan merasakan kematian dan hanya kepada Kami lah setelah kematian itu semuanya akan dikembalikan." (Tafsir At-Tabari Jilid XVIII 2001; 435)


Tafsir Ibnu Kasir


lni adalah perintah dari Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya untuk hijrah dari negeri di mana mereka tak bisa melaksanakan agama ke bumi Allah yang luas. Bumi di mana mereka bisa menegakkan agama; mengesakan Allah dan menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman, Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman Sungguh, Bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku (saja) Karena itu, ketika posisi 'orang-orang yang lemah di Mekah semakin melemah, mereka melakukan hijrah ke negeri Habasyah agar mereka bisa melaksanakan agamanya dengan aman. Mereka mendapatkan orang-orang yang menyambutnya dengan baik di sana, yakni Ashamah An-Najasyi, Raja Habasyah. la menyambut dan memberikan pertolongan kepada mereka. la menjadikan mereka sebagai orang-orang yang istimewa di negerinya. Setelah itu, Rasulullah saw. dan sahabat-sahabat lainnya hijrah ke Madinah Munawwarah, Yatsrib yang suci,

Firman Allah, (Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan) Artinya di mana pun kamu sekalian berada, maut pasti akan menjemput. Maka taatlah kepada Allah Swt., seperti yang diperintahkan oleh-Nya. Hal itu lebih baik bagi kamu sekalian, sebab kematian adalah pasti dan sesuatu yang takvbisa dihindari. Kepada Allah-Iah tempat kembali dan tempat berlabuh. Barang siapa yang taat kepada-Nya. Dia akan membalasnya dengan balasan yang paling baik dan memberinya pahala yang paling sempurna. Sebab itulah Allah Swt. berfirman, (Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh, mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi (di dalam surga), yang mengalir di bawahnya sungai-sungai) Artinya Kami akan tempatkan mereka di tempat yang tinggi di surga, di bawahnya sungai mengalir dengan berbagai macam jenis; air, khamar, madu, dan susu. Mereka bisa membentuknya dan mengalirkannya sesuai dengan kehendak mereka.

Firman Allah, (Mereka kekal di dalamnya) adalah mereka tinggal di sana selamanya dan tidak ingin berbuat hal lain. Maksud firman Allah, (ltulah sebaik-baik balasan bagi orang yang berbuat kebajikan) adalah keindahan kamar-kamar ini merupakan balasan bagi perbuatan orang-orang yang beriman, ((yaitu) orang-orang yang bersabar) atas agama mereka. Mereka hijrah kepada Allah meninggalkan keluarga dan kerabat untuk mencari ridha Allah.

Abu Malik Al-Asy'ari menceritakan, Rasulullah saw. pernah bercerita kepadanya bahwa di surga terdapat kamar-kamar yang bisa dilihat sisi dalamnya dari Iuar dan sisi luarnya dari dalam. Allah menyediakan kamar-kamar itu untuk orang-orang yang dermawan, berkata baik, melaksanakan shalat dan puasa, dan melakukan shalat malam saat orangorang lain tidur. (AI-Misbah AI-Munir fi Tahzib Tafsir Ibnu Kasir, 1999: 831)


Hadis Shahih


Dari Abu Hurairah r.a. dia berkata. Rasulullah saw. bersabda “Sesungguhnya pada jintan hitam itu terdapat obat untuk segala macam penyakit kecuali kematian" (HR Muslim, 4104)

Thursday 2 November 2017

Setan Berusaha Menghalangi Manusia untuk Menyadari dan Berbuat Kebaikan


Tadabbur Surat Al Baqarah Ayat 44

۞أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٤٤ 

44. Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir


Asbabun Nuzul
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun berkenaan dengan segolongan Yahudi di Madinah. Di antara mereka ada yang berkata kepada saudara kandung, kerabat, dan saudara-saudara sesusunya dari kaum muslimin agar mereka tetap dalam agama Muhammad yang telah dianutnya dan menaatinya. Mereka menyuruh orang Iain, tetapi diri mereka tidak melakukannya. (Lubabun NuquI: 9)


Khazanah Pengetahuan

Setan Berusaha Menghalangi Manusia untuk Menyadari dan Berbuat Kebaikan


Di dalam Al-Qur‘an, Allah mengatakan bahwa setan sangatlah kufur dan suka melawan. Kita juga belajar dari AI-Qur‘an bahwa setan akan mendekati manusia dari setiap arah dan ia akan berusaha dengan segala cara untuk membawa manusia kepada kebejatan moral. Metode yang paling sering dilakukan setan dalam rencana jahatnya adalah menghalangl manusia dari melihat kebaikan dalam segala peristiwa yang menimpanya.

Dengan cara demikian, ia juga berusaha untuk menyesatkan manusia kepada pemberontakan dan kekufuran. Orang yang tidak mampu memahami keindahan akhlak Al Qur‘an akan jauh dari ajaran Islam dan mereka yang menghabiskan hidup mereka untuk mengejar kesiasiaan dan melupakan akhirat akan mudah jatuh ke dalam perangkap setan.

Seseorang harus melatih kesabarannya supaya ia dapat berusaha melihat kebaikan dalam semua peristiwa, untuk menunjukkan ketundukan dan kepercayaannya kepada Allah. Ketidakmampuan untuk melatih kesadaran seseorang hanya akan membawa kepada sikap yang salah (Iihat QS Al-Baqarah, 2: 268, Al-A’r'af, 7: 200-201).

”Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui." (QS AI-Baqarah, 2: 268). (Harun Yahya, Melihat Kebaikan di Segala Hal, 2004).


Tafsir At Tabari

Pada dasarnya para ahli tafsir sepakat bahwa (Mengerjakan kebajikan) berarti segala bentuk ketaatan kepada Allah Namun, ketaatan macam apa yang dimaksud kata (Mengerjakan kebajikan) dalam ayat ini? Para ahli tafsir berbeda pendapat; Menurut lbnu 'Abbas, (Mengerjakan kebajikan) dalam ayat ini adalah iman kepada Nabi Muhammad saw., masuk agamanya dan mengikuti ajarannya. Sedangkan menurut lbnu Juraij adalah shalat dan puasa. Adapun menurut As Saddi adalah taat kepada Allah. Sedangkan menurut Qatadah adalah taat dan takwa kepada Allah serta berbuat kebaikan.

Walaupun para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai makna kata (Mengedakan kebajikany) dalam ayat ini, menurut At Tabari, semuanya sepakat bahwa ayat ini merupakan teguran kepada kaum (Bani lsrail dan kaum mana pun termasuk Umat Isiam) yang menyuruh manusia kepada perkataan dan perbuatan yang diridhai AIIah, tapi mereka melupakan diri sendiri. Karena Itu menurut Ibnu Juraij sudah sepatutnya yang menyeru kepada kebaikan untuk terIebih dahulu mengamaikan.

Kalimat (Tidakkah kamumengerti?) pada akhir ayat ini adalah ceIaan, terhadap Bani lsrail, karena menyuruh orang Iain berbuat kebaikan, padahaI mereka sendiri tidak melakukan. Mereka meIarang orang Iain berbuat keburukan, tapi mereka sendiri suka meIakukan. Mereka menyeru manusia agar beriman kepada Nabi Muhammad dan tisaIahnya, namun mereka sendiri mengingkari. Tidakkah mereka menyadari betapa buruknya perbuatan itu. (Tafsir At-Tabari Jilid 1, 2001: 613-617)


Tafsir Ibnu Kasir


Dalam ayat ini Allah Swt. menegur Ahlul Kitab yang selalu memerintahkan kebaikan, tetapi tidak pernah melakukannya. Mereka telah memahami kebenaran yang dianjurkan Allah Swt., lalu mereka menyerukannya kepada orang lain tetapi mereka justru melakukan pembangkangan terhadap Allah Swt. Mereka lbarat orang buta tetapi memerintahkan orang lain untuk melihat.

Abdurrazzaq meriwayatkan dari Qatadah bahwa dalam ayat ini, Bani lsrail memerintahkan orang lain untuk selalu bertakwa kepada Allah Swt. dan melakukan kebaikan, Akan tetapi mereka sendiri tidak konsisten dengan ucapan mereka ltu. As-Saddi dan lbnu Juraij menegaskan Ahlul Kitab dan kaum munafik memerintahkan umat manusia agar menunaikan shalat, puasa, zakat, dan selalu menyerukanagar beramal shaleh, namun mereka sendiri tidak melakukan semua itu.

Muhammad bin lshaq meriwayatkan dari lbnu ’Abbas bahwa mereka justru lalai dan melupakan keadaan diri mereka yang telah melakukan pembangkangan terhadap syariat Allah SWT. Mereka mengingkari kenabian dan melanggar syariat yang ada dalam kitab Taurat. lntinya, mereka tidak konsisten dengan seruan mereka kepada orang lain. Dengan ayat ini, Allah Swt. mengecam tindakan yang mereka lakukan yang selain menyerukan amar makruf, tetapi mereka sendiri tidak membenahi sikap mereka. Melakukan amar maruf nahi mungkar adalah perbuatan mulia, tetapi menjadi tercela jika orang yang melakukannya tersebut justru meiakukan pembangkangan terhadap syariat yang mereka serukan (Al-Misbah Al-Munir fi Tahzib Tafsir lbnu Kasir, 1999: 46-47)


Hadis Shahih


Dari An Nawwas bin Sam'an, Ia berkata "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan? Beliau menjawab "Kebajikan itu adalah akhlak yang mulia sedang, dosa itu adalah apa yang berada di dalam dadamu sedang kamu merasa benci orang-orang mengetahuinya." (HR Muslim, 4632)