Saturday 11 November 2017

Siapa Yang Berwenang Dalam Pembatalan dan Eksekusi Basyarnas?




Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam pengaturannya secara lengkap dijelaskan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Saat terjadi pembatalan dan eksekusi keputusan arbitrase maka dikembalikan kepada pengaturan UU yang berlaku.

Dalam Pasal 61 diatur, “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Dan dalam Pasal 71 diatur, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”. Diperkuat dalam Pasal 72 Ayat (1) bahwa, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri”.

Jika melihat UU yang berlaku maka kewenangan keputusan terkait pembatalan dan eksekusi arbitrase diserahkan kepada pengadilan negeri. Hal ini berlaku pula awalnya bagi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang pengaturannya mengacu kepada pengaturan arbitrase pada umumnya sesuai UU. Polemik itu muncul saat dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Terdapat kewenangan baru bagi Pengadilan Agama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 49 UUPA yakni kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang Ekonomi Syariah.

Sejak UUPA terbaru disahkan, praktik Ekonomi Syariah di Indonesia mengalami perkembangan. Keluarnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjadi bukti bahwa perkembangan praktik syariah dalam lingkungan perbankan mulai mengalami peningkatan. Meskipun praktik perbankan syariah hanya salah satu contoh dari beberapa praktik ekonomi syariah yang dijelaskan oleh UU, yang lainnya seperti: lembaga keuangan mikro syari'ah; asuransi syari'ah; reasuransi syari'ah; reksa dana syari'ah; obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; sekuritas syari'ah; pembiayaan syari'ah; pegadaian syari'ah; dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan bisnis syari'ah.

Terkait penyelesaian sengketa, UUPS dalam Pasal 55 menyebutkan bahwa:

(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Maka penyelesaian senketa pada awalnya diserahkan kepada Peradilan Agama, namun tidak menjadi ketentuan mutlak tergantung kehendak para pihak. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat dilakukan di luar lingkungan Peradilan Agama, sebagaimana dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2) bahwa: Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:

a. musyawarah;

b. mediasi perbankan;

c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Namun penjelasan Pasal 55 Ayat (2) ini dianggap tidak berlaku alias tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Hal ini didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, sebab bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 agar adanya kepastian hukum. Awalnya Peradilan Agama dan Peradilan Negeri sama-sama menerima, memeriksa, dan memutus perkara ekonomi syariah. Dualisme kewenangan ini menjadi kerancuan dalam memastikan penyelesaian hukum, sehingga putusan MK menjadikan kepastian atas kewenangan absolut Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa Ekonomi Syariah.

Tapi bagaimana dengan jalur arbitrase yang kewenangan pembatalan dan eksekusi diserahkan kepada Peradilan Negeri? Bukankah penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut bagi Peradilan Agama? Polemik ini akhirnya diselesaikan pada tanggal 10 Oktober 2008 dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Dalam poin (4) menyebutkan bahwa, “Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syari’ah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari’ah, maka Ketua Pengadilan Agama lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syari’ah.”

Artinya, secara tidak langsung SEMA No. 8 Tahun 2008 secara tidak langsung menghilangkan substansi Pasal 61, 71 dan 72 UU No. 30 Tahun 1999 yang awalnya pembatalan dan eksekusi arbitrase syariah yang mengacu praktik arbitrase pada umumnya diserahkan kepada Peradilan Negeri lalu dirubah menjadi kewenangan Peradilan Agama.

Tapi rupanya peraturan ini tak berlaku lama, sebab keluarnya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 59 Ayat (3) menyebutkan bahwa, “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Ditegaskan kembali dalam penjelasan Pasal 59 Ayat (1) bahwa, “Yang dimaksud dengan “arbitrase” dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah.”

Hal ini yang menjadi alasan benturan hukum atas penyelesaian sengketa di arbitrase syariah. Polemik ini menimbulkan ketimpangan hukum, sehingga keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2010 tentang penegasan tidak berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.

Ketegangan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum (Peradilan Negeri dan Peradilan Tinggi) terjadi lagi meskipun keduanya merupakan dua lembaga peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung. Ketegangan ini ditandai dengan diterbitkannya surat nomor 57/Wk.MA.Y/VIII/2010 tertanggal 30 Agustus 2010 tentang Penegasan Berlakunya SEMA No. 8 Tahun 2010. Substansi surat wakil ketua Mahkamah Agung RI ini terdiri dari dua bagian:

1. Berlakunya Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 59 ayat (3) berikut penjelasannya, maka dengan sendirinya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah, telah kehilangan roh; dan

2. Atas dasar tersebut, dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah) secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, sebagaimana telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2010 dan bukan lagi dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam angka 4 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008.

SEMA No. 8 Tahun 2008 yang diterbitkan oleh Ketua Mahkamah Agung saat itu H. Bagir Manan rupanya tidak berlaku lagi semenjak beralihnya estafet kepemimpinan yang digantikan oleh H. Harifin Tumpa yang menerbitkan SEMA No. 8 Tahun 2010. Rupanya dinamika internal ini berlum berakhir, hingga beralih kembali estafet Kekuasaan MA yang dipegang oleh H. M Hatta Ali pada tanggal Desember 2016 menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. Dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa:

(1) Pelaksanaan putusan perkara ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

(2) Pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya, dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

(3) Tata cara pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dengan adanya PERMA No. 14 Tahun 2014 ini menegaskan bahwa proses pembatalan dan eksekusi arbitrase syariah menjadi kewenangan absolut pengadilan di bawah Peradilan Agama. Maka hal ini menjadi babak baru bagi Pengadilan di bawah Peradilan Agama untuk selanjutnya menangani setiap perkara sengketa arbitrase yang membutuhkan pembatalan dan eksekusi, tentunya penanganan ini dibutuhkan tata kelola yang maksimal baik dari segi SDM atau administrasi pengadilan. Tantangan yang perlu dijawab dan dijalankan bagi pengadilan di bawah Peradilan Agama di Indonesia.

0 comments:

Post a Comment