Sunday 29 September 2019

Dari Fitnah Pesantren, Pluralisme, hingga Misi Deradikalisasi





Oleh : Muhamad Afif Sholahudin, S.H

Film ‘The Santri’ sempat menjadi perbincangan hangat di sosial media, bukan karena prestasi film yang banyak diklaim oleh sang sutradara, namun karena sinopsis alur cerita dan akting para pemeran yang di luar dari cerminan judul film itu sendiri. Wajar jika tagar #BoikotFilmTheSantri muncul dalam trending karena trailer yang dipublikasikan jelas menyinggung banyak kehidupan pesantren di Indonesia, di mana Indonesia menjadi negara yang memiliki banyak pesantren dan santri yang menimba ilmu di dalamnya.

Tak perlu dibahas ulang mengenai sinopsis film ini, karena sudah banyak orang-orang me-review dan memberikan tanggapan. Sekian banyak komentar yang terdengar, hampir semuanya memberikan tanggapan negatif, mulai dari jenis film yang dipilih, alur cerita yang penuh kontroversi, dsb. Kecaman pun berdatangan dari kalangan santri dan ustadz pondok pesantren, tidak lain karena fitnah akting santri yang tidak pernah dicontohkan kebiasaan santri pesantren manapun. Bahkan kritikan pun dilontarkan beberapa sutradara terkenal yang lebih pantas berkomentar terkait produksi perfilman.

Betapa tidak, film yang disutradarai oleh seorang wanita non-muslim bernama Livi Zheng ini memasukkan adegan yang tidak pantas dipraktikkan oleh santri atau kemungkinan terjadi di lingkungan pesantren. Seperti khalwat (berdua-duaan), ikhtilat (bercampur baur yang tidak dianjurkan), dsb. Jelas tidak mencontohkan bagaimana akhlak santri sesungguhnya yang saling menjaga satu sama lain walau hanya urusan saling memandang lawan jenis. Hal seperti ini justru yang dikhawatirkan, budaya barat yang serba bebas hendak digambarkan dalam kehidupan pesantren yang seharusnya terjaga. 

Selain karena adegan yang dipertontonkan tidak sesuai hukum syara’, alur cerita film ini pun mengundang banyak keheranan setiap orang. Jika menurut KBBI, santri adalah orang yang mendalami agama Islam atau yang beribadat dengan sungguh-sungguh. Namun cuplikan film yang disajikan menunjukkan alur cerita bahwa santri terbaik akan diberangkatkan bekerja di Amerika Serikat. Hal ini sejalan dengan pernyataan sutradara bahwa film ini akan dipasarkan pula di Amerika sana. Wajar jika publik heran, mengapa memilih Amerika sebagai tujuan impian?

Yang dilakukan oleh santri-santri terbaik dikirimkan ke AS pun masih belum jelas, apakah di sana mereka akan mendalami agama Islam sebagaimana pengertian santri yang sesungguhnya, atau sebaliknya? Yang jelas menjadikan Amerika Serikat sebagai kiblat panutan santri di film ini adalah alur yang ingin disampaikan oleh sang sutradara. Padahal ada Mesir sebagai pusat pengetahuan Islam saat ini, atau Palestina sebagai tanah surga, atau Roma yang sudah dijanjikan kemenangannya. Mengapa harus Amerika yang jelas-jelas kiblat hedonisme dan liberalisme penghancur moral umat Islam?

Tidak cukup mempropagandakan Amerika sebagai kiblat cita-cita santri, rupanya ada adegan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang santri yakni memberikan tumpeng pada perayaan ibadah non muslim. Masalahnya adegan dilakukan di tempat ibadah mereka. Bukankah masuk ke dalam tempat ibadah lain dilarang dalam Islam? Apakah hal ini dijalankan atas dasar sikap toleransi kepada penganut agama lain? Sejak kapan toleransi yang melanggar hukum syara’ dibolehkan dalam Islam? Cuplikan itu pun menunjukkan tidak dalam kondisi darurat, bahkan sedang dalam proses ibadah mereka, artinya jelas itu ruang utama yang sering digunakan. 

Haram dalam Islam mencampuradukkan agama, atau berusaha mengkompromikan antara yang haq dan bathil. Sebab Islam sudah menjelaskan mana halal dan haram, kebaikan dan keburukan, jangan berusaha untuk disatukan. Sebagaimana Firman Allah SWT:

وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٤٢

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Baqoroh: 42)

Hal ini yang dikhawatirkan bagi umat Islam, jika pluralisme yang sempat diharamkan akan digiring kembali kepada opini yang dianggap sederhana, moderat, toleran, hingga disimpulkan sebuah kebolehan. Padahal Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah bersikap tegas mengharamkan Sepilis (Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme). Sebagian adegan film ini yang kebablasan berusaha menunjukkan narasi moderatisme yang indah padahal mengarah kepada pluralisme.

Islam sejatinya mengakui keberagaman dan pluralitas, perbedaan adalah sebuah keniscayaan, termasuk perbedaan keyakinan. Namun dalam masalah akidah dan ibadah Islam mempunyai ketentuan tersendiri, tidak bisa dicampuradukkan demi alasan saling menghargai dan menghormati. Lakum diinukum waliyadiin, bagimu agamamu bagiku agamaku. Jika dalam konteks sosial yang tidak berkaitan akidah dan ibadah maka dibolehkan, sepanjang tidak kebablasan dan saling merugikan.

Saya menilai ada unsur-unsur liberalisme yang dimasukkan dalam adegan sebagai cerminan kehidupan santri yang patut dicontoh, dan sengaja dimasukkan unsur-unsur pluralisme yang sangat membahayakan akidah. Dimunculkan (dalam trailer film) cuplikan pergaulan santri yang jauh dari realita dan sikap toleransi yang salah kaprah. Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi pesantren dan setiap orang.

Selain itu, penulis melihat ada motif deradikalisasi yang hendak dimunculkan bahkan sebelum peluncuran film ini. Disampaikan oleh Said Aqil dalam video trailer film tersebut, “…Film drama-action yang isinya mengandung nilai-nilai Islam yang santun, toleran, ramah, plural, dan bisa membawa budaya akhlakul karimah peradaban. Jauh dari Islam radikal, Islam ekstrem, apalagi Islam teror.”

Pesan bahwa tujuan film ini untuk mengenalkan nilai-nilai Islam yang dimaksud tidak lain tujuannya untuk memukul para penganut Islam radikal, ekstrem, dan teror yang sedang berkembang saat ini. Kita tahu bersama, isu radikal dan sebagainya hanyalah propaganda yang dimainkan oleh penguasa dan semua tuduhannya disematkan kepada umat Islam. Lebih khusus kepada mereka yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. 

Mari kita bahas sedikit tentang radikalisme. Pemerintah dengan mudah mengaitkan tindakan teror dan ekstrem disebabkan pemikiran radikal, sedangkan pemikiran radikal bersumber dari sebagian ajaran Islam. Hasilnya sebagian ajaran Islam, seperti jihad, khilafah, dll berusaha untuk dihapuskan dan dikriminalisasi. Muncul ketakutan masyarakat terhadap sebagian ajaran Islam karena mereka berhasil melakukan monsterisasi kepada ajaran tersebut. Padahal, apa salahnya menyebarkan ajaran Islam yang sesungguhnya? Mungkin karena khawatir menimbulkan konflik, ini alasan yang tidak logis.

Film ini berusaha menggiring opini bahwa nilai-nilai toleran dan plural yang dimaksud adalah sikap yang ‘benar’ sebagaimana berlawanan dengan sikap orang-orang yang berfikir radikal. Ini aneh, ibarat memaksa orang menganggap dirinya benar, tapi salah memilih pembanding dia dengan orang yang berbeda dengannya. Jadi, mereka memaksa bahwa ajaran toleran yang kebablasan adalah ‘benar’ karena praktik tersebut dibenci oleh orang-orang berpaham radikal. Sedangkan dari awal masyarakat sudah dipersepsikan bahwa pemikiran radikal adalah sesat. Aneh bukan?

Wajar jika banyak timbul penolakan terhadap film ini, mulai dari pejabat, pimpinan pondok pesantren, ulama besar, hingga sutradara film. Mereka memanfaatkan sikap anti-radicalism dengan menyematkan unsur pluralisme yang jelas bertentangan dengan Islam. Hal ini terlihat dari apa yang dikutip dari laman PBNU, bahwa Film ‘The Santri’ akan mengangkat nilai dan tradisi pembelajaran pondok pesantren yang berbasis kemandirian, kesederhanaan, toleransi, kecintaan terhadap tanah air, serta sikap anti terhadap radikalisme dan terorisme.

Terakhir, kembalikanlah santri kepada hakikat santri seutuhnya. Mereka tidak hanya muslim yang giat dalam beribadah dan menuntut ilmu, tapi mereka juga muslim yang punya tekad kuat dalam membela agama Islam. Lihat bagaimana resolusi jihad lahir oleh komando KH. Hasyim Asyari dengan mengerahkan para santri untuk melawan kafir penjajah. Jelas dorongan mereka adalah jihad, begitulah cerminan santri yang sebenarnya. Seandainya ada upaya untuk menghapus materi ‘jihad’, seharusnya santri menjadi garda terdepan menolaknya. Sebab itu adalah langkah perjuangan santri yang dikenang meninggalkan jejak kemerdekaan bagi indonesia. Biarkan sejarah itu tercatat selalu agar menjadi referensi terbaik bagi muslim saat ini ketika sedang berjuang membela Islam.

Mewaspadai agar tidak terkena bahaya adalah keharusan, sebab Islam mengajarkan menghindari bahaya lebih diutamakan. Upaya propaganda yang disematkan dalam film ‘The Santri’ adalah cara keji memutarbalikkan ajaran Islam seutuhnya. Begitupun kita harus waspada terhadap segala hal yang sudah direncanakan oleh musuh-musuh Islam agar kita mengikuti kemauan mereka. Sekulerisme, liberalisme, dan paham lain yang berasal dari luar Islam harus dicegah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ ١٢٠

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al Baqoroh: 120)

Semoga Allah SWT memberikan kekuatan dan kesabaran kepada umat Islam agar tidak terjebak kepada langkah-langkah syetan dan upaya kaum kafir untuk menjauhkan Islam dari umatnya. Wallahu a’lam bi Showab.




Sumber : https://mediaumat.news/dari-fitnah-pesantren-pluralisme-hingga-misi-deradikalisasi/

dan https://mahasiswabangkit.com/2019/09/26/dari-fitnah-pesantren-pluralisme-hingga-misi-deradikalisasi/

0 comments:

Post a Comment