Monday 14 October 2019

Takhrij Hadits Tentang Riba


Oleh: Muhamad Afif Sholahudin, S.H
(Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung Prodi Hukum Ekonomi Syariah)

Hadits Shahih Muslim No. 2995

Ø­َدَّØ«َÙ†َا Ù…ُØ­َÙ…َّدُ بْÙ†ُ الصَّبَّاحِ ÙˆَزُÙ‡َÙŠْرُ بْÙ†ُ Ø­َرْبٍ ÙˆَعُØ«ْÙ…َانُ بْÙ†ُ Ø£َبِÙŠ Ø´َÙŠْبَØ©َ Ù‚َالُوا Ø­َدَّØ«َÙ†َا Ù‡ُØ´َÙŠْÙ…ٌ Ø£َØ®ْبَرَÙ†َا Ø£َبُÙˆ الزُّبَÙŠْرِ عَÙ†ْ جَابِرٍ Ù‚َالَ Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُؤْÙƒِÙ„َÙ‡ُ ÙˆَÙƒَاتِبَÙ‡ُ ÙˆَØ´َاهِدَÙŠْÙ‡ِ ÙˆَÙ‚َالَ Ù‡ُÙ…ْ سَÙˆَاءٌ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabah dan Zuhair bin Harb dan Utsman bin Abu Syaibah mereka berkata: telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Abu Az Zubair dari Jabir dia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya." Dia berkata: "Mereka semua sama."

Ragam matan hadits riba dengan redaksi matan yang sama atau serupa adalah sebagai berikut.

Matan
Artinya
Mashadir Ashliyah
Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُؤْÙƒِÙ„َÙ‡ُ ÙˆَØ´َاهِدَÙ‡ُ ÙˆَÙƒَاتِبَÙ‡ُ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang yang makan riba, orang yang memberi makan riba, saksinya dan penulisnya.
Sunan Abu Daud No. 2895
Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُؤْÙƒِÙ„َÙ‡ُ ÙˆَØ´َاهِدَÙŠْÙ‡ِ ÙˆَÙƒَاتِبَÙ‡ُ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, yang memberi makan riba, kedua saksi dan penulisnya.
Sunan Tirmidzi No. 1127
Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُوكِÙ„َÙ‡ُ ÙˆَØ´َاهِدَÙ‡ُ ÙˆَÙƒَاتِبَÙ‡ُ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat para pemakan riba, yang membawakannya, yang menyaksikannya, dan yang menulisnya. 
Sunan Nasa’i No. 5015
Ø£َÙ†َّ رَسُولَ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ Ù„َعَÙ†َ آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُؤْÙƒِÙ„َÙ‡ُ ÙˆَØ´َاهِدِيهِ ÙˆَÙƒَاتِبَÙ‡ُ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, yang mengambilkannya, yang menyaksikannya dan penulisnya.
Sunan Ibnu Majah No. 2268
 Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ عَØ´َرَØ©ً آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُوكِÙ„َÙ‡ُ ÙˆَÙƒَاتِبَÙ‡ُ ÙˆَØ´َاهِدَÙŠْÙ‡ِ ÙˆَالْØ­َالَّ ÙˆَالْÙ…ُØ­َÙ„َّÙ„َ Ù„َÙ‡ُ ÙˆَÙ…َانِعَ الصَّدَÙ‚َØ©ِ ÙˆَالْÙˆَاشِÙ…َØ©َ ÙˆَالْÙ…ُسْتَÙˆْØ´ِÙ…َØ©َ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat sepuluh orang: pemakan riba, pemberi makannya, penulisnya, kedua saksinya, muhallil dan muhallal lahu, orang yang menolak membayar zakat, pembuat tato dan yang di tato."
Musnad Ahmad No. 601
 Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُؤْÙƒِÙ„َÙ‡ُ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba dan orang yang memberi makan dari hasil riba.
Sunan Darimi No. 2423
Dari teks matan hadits tercantum pada tabel di atas, diketahui bahwa hadits tersebut diriwayatkan secara lafzhi. Demikian juga jika dicermati di antara matan-matan hadits terkait Riba sebagaimana tercantum di atas, di dalamnya tidak terdapat ta’arudh.

Daftar Rawi Sanad

Penelitian sebuah hadits tidak bisa dilepaskan dari penelitian terhadap pembawa haditsnya dalam hal ini adalah seorang perawi, terutama terkait kredibiltas, integritas, dan validitas. Lima syarat disepakati oleh ulama muhadditsin. Dua di antaranya harus dipastikan dalam diri perawi. Syarat tersebut adalah adil dan dhabit. Perpaduan antara adil dan dhabit ini biasa disebut sebagai tsiqah. Untuk mengetahui keadilan dan kedhabitan seorang perawi, diperlukan tanshih (ketetapan) dari para ulama terhadap perawi tersebut.

Ketetapan ulama tersebut memiliki berbagai maratib (derajat). Derajat-derajat itu dibagi menurut kata yang digunakan untuk memvonis (mentanshih) seorang perawi tersebut. Maka dari itu, diperlukan ilmu jarh wa ta’dil untuk mengetahui derajat-derajat tersebut.

Rawi
Wafat
Jarh
Ta’dil
Thabaqah
Jabir bin ‘Abdullah bin ‘Amru bin Haram
78 H
-
Sahabat
S
Muhammad bin Muslim bin Tadrus
126 H
-
Maqbul
T
Husyaim bin Basyir bin Al Qasim bin Dinar
183 H
-
Tsiqah ‘Adil
TT
Muhammad bin Ash Shabbah
227 H
-
Tsiqah Hafish
TTT
Zuhair bin Harb bin Syaddad
234 H
-
Tsiqah Hafizh
TTT
Utsman bin Muhammad bin Ibrahim bin Utsman
239 H
-
Tsiqah Hafizh
TTT

Keterangan:

  • ·      Simbol: S (w. 80 H), T (w. 130 H), TT (w. 180 H), TTT (w. 230 H)
  • ·      Sahabat ialah orang yang bertemu rasulullah shallallahu 'alaihi wa salllam dan ia seorang muslim sampai akhir hayatnya.
  • ·    Tsiqah Tsiqah atau Tsiqah Hafizh ialah perawi yang mempunyai kredibilitas yang tinggi, yang terkumpul pada dirinya sifat adil dan hafalannya sangat kuat.
  • ·      Tsiqah / Mutqin / 'Adil, ialah perawi yang mempunyai sifat 'adil dan kuat hafalannya.
  • ·      Maqbul ialah perawi yang diterima periwayatannya dan dapat dijadikan sebagai hujjah.

Diagram Silsilah Sanad

Dari daftar rawi sanad yang sudah disusun, maka dengan mengacu pada tingkatan thabaqah dan tahun wafat para rawi, dapat dirumuskan diagram silsilah sanad sebagaimana berikut.





Hadits ini merupakan hadits yang disepakati keshahihannya oleh para ulama hadits dan diriwayatkan oleh banyak imam hadits, di antaranya:

  • ·      Imam Muslim dalam shahihnya, Kitab al-Musaqat, Bab La’ni akilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits No. 2995
  • ·      Imam Ahmad bin Hambal r.a., dalam musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin No. 13744
Selain itu, hadits ini juga memiliki syahid (hadits yang sama yang diriwayatkan melalui jalur sahabat yang berbeda), di antaranya dari jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud dan juga dari Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan oleh:

  • ·      Imam Turmudzi dalam jami’nya, Kitab Buyu’ An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits No. 1127
  • ·      Imam Nasa’i dalam sunannya, Kitab at-Thalaq, Bab Ihlal al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi Yahilluha Bihi, Hadits No. 3363
  • ·      Imam Abu Daud dalam sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba wa Mu’kilihi, hadits No. 2895
  • ·      Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya di banyak tempat, di antaranya pada hadits-hadits No. 3539, 3550, 3618, 4058, 4059, 4099, dan 4171
  • ·      Imam Ad-Darimi dalam sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba wa Mu’kilihi, hadits No. 2423

I.     Kehujjahan Hadits Riba
Memahami hadits tentu sebelumnya kita harus mendalami kehujjahan hadits, hal ini penulis amati dalam beberapa unsur, yakni: Jenis Hadits (berdasarkan jumlah rawi, matan, dan sanad), kualitas hadits (tashih dan i’tibar), dan Tathbiq hadits.

1.     Jenis Hadits

Berdasarkan jumlah rawi
Menurut jumlah rawi, Hadits terbagi kepada Hadits mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir adalah Hadits yang jumlah rawinya banyak dengan syarat beritanya mahshus (indrawi), tidak ada kesan dusta, dan tiap thabaqah jumlah rawi minimal lima orang. Hadits ahad adalah Hadits yang jumlah rawinya tidak banyak, yakni tiga setiap thabaqah (masyhur), dua setiap thabaqah (aziz), dan satu setiap thabaqah (gharib).
Berdasarkan kriteria tersebut, maka Hadits tentang Riba termasuk Hadits Ahad sebab tidak memenuhi syarat mutawatir yakni setiap thabaqah jumlah rawinya minimal lima.

Berdasarkan Matan
Dari segi bentuk matan, Hadits terbagi kepada Hadits qauli (ucapan), Hadits fi’li (perbuatan), dan Hadits taqriri (ketetapan). Dari segi idhafah matan, Hadits terbagi pada marfu’ (idhafah pada Nabi), mauquf, dan maqthu. Dan apabila tanda bentuk dan idhafahnya eksplisit disebut haqiqi, dan jika implisit disebut hukmi.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka hadits riba termasuk hadits marfu’, qauli, dan haqiqi. Marfu’ artinya hadits tersebut idhafahnya disandarkan langsung pada Nabi Saw. Qauli artinya adalah hadits yang merupakan ucapan Nabi Saw. Adapun haqiqi adalah hadits yang tanda bentuk dan idhafahnya eksplisit sabda Rasul Saw.

Berdasarkan Sanad
Dari segi bersambung tidaknya sanad, Hadits terbagi ke dalam muttashil dan munfashil. Hadits muttashil adalah Hadits yang sanadnya bersambung, yakni rawi murid dan rawi guru yang ada pada sanad bertemu (liqa’) karena hidup sejaman, setempat, dan seprofesi Hadits. Hadits munfashil adalah Hadits yang sanadnya terputus (inqitha’) yakni putus pada rawi pertama (mursal), putus pada mudawin dengan gurunya (mu’alaq), putus satu rawi dalam sembarang thabaqah (munqathi), dan putus dua rawi dalam dua thabaqah berturut-turut (mu’dhal).
Berdasarkan kriteria tersebut, hadits Riba adalah hadits muttashil karena semua thabaqah mulai dari sahabat sampai mudawinnya bersambung.
Dari segi keadaan sanad, Hadits terbagi kepada Hadits mu‘an‘an (terdapat ‘an dalam sanad), Hadits muannan (terdapat ‘ana ta’kid dalam sanad), Hadits aliy (jumlah rawi dalam sanad sedikit dengan rata-rata per thabaqah-nya satu atau dua orang), Hadits nazil (jumlah rawi dalam sanad banyak dengan rata-rata per thabaqah-nya tiga orang atau lebih), Hadits musalsal (ada persamaan sifat rawi dalam sanad), dan Hadits mudabbaj (ada dua rawi dalam sanad yang saling meriwayatkan).
Berdasarkan kriteria tersebut, hadits riba bisa dikatakan hadits muannan, hadits ‘aliy, dan hadits mudabbaj.

2.     Kualitas Hadits

Tash-hih
Berdasarkan kualitasnya, Hadits terbagi ke dalam Hadits maqbul dan mardud. Makbul adalah Hadits yang diterima sebagai hujjah dengan sebutan shahih dan hasan. Hadits mardud adalah Hadits yang ditolak sebagai hujjah dengan sebutan Hadits dh’aif. Hadits shahih adalah Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, sanadnya muttashil (liqa’), matannya marfu’ (idhafah pada Nabi), tidak ada illat (penambahan pengurangan dan penggantian), dan tidak ada kejanggalan (tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Hadits shahih, dan akal sehat). Hadits hasan sama seperti Hadits shahih namun rawinya tidak sampai tamm dhabit, tetapi hanya sampai qalil dhabit. Hadits dha’if adalah Hadits yang gugur satu syarat atau lebih dari syarat Hadits shahih atau hasan. Kaidah tersebut adalah kaidah dasar. Dalam tash-hih terdapat kaidah dalam kenaikkan kualitas, yaitu Hadits hasan dapat menjadi shahih apabila dikuatkan dengan muttabi’ (sanad lain) dan syahid (matan lain), yang kemudian disebut shahih li ghairihi. Begitu juga Hadits dha’if yang mardud (ditolak sebagai hujjah) dapat naik menjadi makbul yakni menjadi hasan li ghairihi apabila Hadits dha’if tersebut memiliki muttabi’ dan atau syahid, sepanjang dha’if-nya bukan maudhu’, matruk dan munkar.
Berdasarkan kaidah tersebut, Hadits Riba dapat disimpulkan merupakan Hadits makbul dengan kategori shahih, karena diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, sanadnya muttashil (liqa’), matannya marfu’ (idhafah pada Nabi), tidak ada illat (penambahan pengurangan dan penggantian), dan tidak ada kejanggalan (tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Hadits shahih, dan akal sehat).

I’tibar
Menentukan kualitas Hadits berdasarkan petunjuk jenis kitabnya (konvensi muhaditsin bahwa jenis kitab Hadits menjelaskan kualitas Haditsnya), penjelasan kitab kamus dan syarah, dan pembahsan kitab ilmu. Dengan i’tibar diwan dapat diketahui status Hadits Riba merupakan Hadits shahih karena terdapat dalam beberapa kitab shahih seperti Shahih Muslim dan Musnad Imam Ahmad, meski sebagiannya terdapat dalam kitab sunan.

3.     Tathbiq Hadits
Setelah diketahui keshahihan Hadits ini, perlu untuk ditelusuri pada aspek penerapannya karena Hadits makbul mungkin ma’mul bih dan mungkin ghair ma’mul bih. Kaidahnya adalah sebagai berikut:
1.      Jika Hadits makbul itu hanya satu atau banyak namun sama (baik lafzhi maupun ma’nawi), maka ma’mul atau ghair ma’mulnya ditentukan oleh muhkam atau mutasyabih-nya matan. Jika muhkam (lafazh dan maknanya jelas dan tegas) maka ma’mul bih. Namun jika mutasyabih (lafazh dan maknanya tidak jelas) maka ghair ma’mul bih.
2.      Jika makbul itu banyak namun tanaqudh (berbeda) atau ta’arudh (berlawanan) maka untuk menentukan ma’mul dan ghair ma’mul-nya harus ditempuh terlebih dahulu dengan thariqah jama’, kemudian tarjih, nasakh, dan tawaquf. Jika Hadits makbul itu yang ta’arudh bisa dikompromikan maka keduanya diamalkan dan disebut Hadits mukhltalif. Setelah ditarjih, maka yang unggul diamalkan (rajih) dan tidak unggul tidak diamalkan (marjuh). Dengan nasakh, maka yang wurud belakangan diamalkan (disebut nasikh) dan yang wurud duluan tidak diamalkan (disebut mansukh). Jika tidak bisa di-jama’, tarjih, dan nasakh, maka di-tawaquf-kan (mutawaqaff), artinya tidak diamalkan.
Berdasarkan kaidah di atas, maka Hadits Riba merupakan Hadits makbul yang ma’mul bih, karena banyaknya lafazh matan Hadits yang sama (baik lafzhi maupun ma’nawi), yang semuanya lafazh-nya muhkam (lafazh dan maknanya jelas dan tegas).


0 comments:

Post a Comment