Saturday 27 July 2019

Memulai Persiapan Mendidik Hafizh Qur'an



Persiapan adalah faktor penting dalam melakukan suatu aktivitas, terutama dalam menghafal Al Qur’an. persiapan harus disiapkan sematang mungkin agar proses menghafal dapat berjalan baik dan benar. Selain itu, persiapan adalah syarat utama untuk memperoleh hasil yang maksimal dan memuaskan. Namun ada hal lebih mendasar dari menyusun persiapan menghafal Al Qur’an, yakni meluruskan niat. 

Jika menghafal tanpa dilandasi niat yang ikhlas maka akan menjadi sia-sia belaka, dan niat yang ikhlas hanya ditujukan untuk meraih ridha Allah SWT. Seandainya niat sudah diluruskan maka kemauan dan hasrat yang tertanam dalam hatinya akan membuat setiap proses hafalannya terasa ringan walaupun melelahkan. Jika menghafal tidak dilandasi keikhlasan maka yang diharapkan hanya penghormatan dari orang lain, hasilnya akan lahir penyakit sombong, atau penyakit hati lainnya. Ikhlas adalah kunci kesuksesan yang sempurna dari setiap amal. 

Fudhail bin ‘Iyadh pernah bertutur nasehat, “Amal yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Jika amal itu ikhlas, tetapi tidak benar, maka tidaklah diterima. Bila amal itu benar, namun tidak ikhlas, juga tidak akan diterima, kecuali dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas artinya dilakukan hanya karena Allah. Adapun benar artinya ialah sesuai dengan sunnah (tuntunan dan petunjuk Rasulullah SAW).” 

Mulai dari hal yang paling mendasar, yakni dorongan anak agar semangat menghafal Al Qur’an. Lalu bentuk lingkungan yang dapat menjaga anak agar tetap menghafal qur’an. Jika sudah, buatlah sebuah pola pendidikan hafalan yang sesuai dengan anak, mulai dari cara menghafal, setoran, hingga muroja’ah. Bagaimanapun caranya, tujuannya tetap sama yakni hafal Al Qur’an. Ada yang memilih memasukkan anaknya ke pesantren tahfizh, atau mengikutsertakan pada program karantina tahfizh, ada pula yang membina di rumah privat dengan mengundang guru tahfizh. Sebagian besar yang berhasil mencetak hafizh di usia di bawah 7 tahun adalah mereka yang sejak kecil (bahkan sejak dalam kandungan) sudah dibina intensif oleh orangtuanya langsung. 

Para salaf pun dahulu selalu memperhatikan pendidikan menghafal (tahfizh) Al Qur’an bagi anak-anaknya. Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi menceritakan kepada kita tentang Imam an-Nawawi Rahimahullahu, beliau berkata, “Aku melihat beliau (Imam an-Nawawi) ketika masih berumur 10 tahun di Nawa. Para anak kecil tidak mau bermain dengannya dan ia pun berlari dari mereka seraya menangis, kemudian ia membaca Al Qur’an. Maka tertanamlah dalam hatiku rasa cinta kepadanya. Ketika itu bapaknya menugasinya menjaga toko, tetapi ia tidak mau berjualan ingin menyibukkan diri dengan Al Qur’an. Maka aku datangi gurunya dan berpesan kepadanya bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang yang paling alim dan zuhud pada zamannya serta bermanfaat bagi umat manusia. Dia pun berkata kepadaku, ‘Tukang ramalkah anda?’ Aku menjawab, ‘Tidak, tetapi Allah-lah yang membuatku berbicara tentang hal ini.’ Bapak guru itu kemudian menceritakan kepada orangtuanya, sehingga memperhatikan beliau dengan sungguh-sungguh sampai dapat khatam menghafal Al Qur’an ketika menjelang akil baligh.” 

Ya, orangtua adalah salah satu faktor mempengaruhi dorongan anak menghafal. Eh, belum tentu. Faktanya banyak orangtua yang masih sama mengejar hafalan, bahkan masih belajar membaca qur’an, tapi berhasil membuat anaknya hafizh 30 juz. Biasanya mereka menitipkan anaknya di pesantren tahfizh. Kalau ragu tertinggal dengan pelajaran yang seharusnya ditempuh di usianya, bisa memilih dengan sekolah Islam Terpadu (IT) atau Plus atau sejenisnya yang menyediakan program lulus hafal beberapa juz. 

Jangan lupakan keluarga sebagai faktor penting arah pendidikan anaknya. Rumah adalah madrasah utama, sedangkan orangtua adalah guru pertama. Dari rumah lahir seseorang yang akan tumbuh berkembang sesuai dengan pendidikan orangtuanya. Ketika orang tua berharap anaknya menjadi penghafal Al Qur’an, maka orangtuanya akan memberikan pendidikan sesuai dengan apa yang dicita-citakan. 

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Barang siapa yang tidak memperhatikan pendidikan tentang apa saja yang bermanfaat bagi anaknya dan membiarkan anaknya terlantar, sungguh dia telah melakukan kejahatan yang terbesar kepadanya. Sebagian besar hal-hal negatif pada anak-anak sebenarnya hanyalah disebabkan oleh faktor orang tua yang tidak memberikan perhatian, menelantarkan pendidikan, dan menjauhkan mereka dari kewajiban-kewajiban dan anjuran-anjuran agama. Orang tua telah menyia-nyiakan mereka di waktu kecil sehingga ketika besar mereka tidak dapat mendayagunakan diri mereka, dan orang tua pun tidak dapat merasakan manfaat dari mereka.” 

Usaha awal akan menentukan bagaimana hasil akhirnya. Berat dan ringan jangan diperhitungkan dulu di awal. Sebagaimana kita berbisnis tidak terlalu mempertimbangkan kerugian di awal. Terkadang salah orang tua menganggap pembelajaran tahfizh yang intensif seperti karantina adalah penekanan pembiasaan yang membuat orangtua prihatin melihat anaknya keberatan. Ketahuilah, dalam mengayuh sepeda pun demikian. Maka jangan persepsikan beratnya anak menghafal menjadi alasan untuk berhenti, justru semakin berat akan semakin banyak pahala yang didapatkan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: 

“Orang yang membaca Al Qur’an dengan baik adalah mereka yang bersama as-Safaratul Kiram (para malaikat yang mulia). Adapun orang yang masih belajar dan membaca Al Qur’an dengan susah payah adalah baginya dua pahala.” (HR. Bukhari) 

Menjadi hafizh tidak perlu ditargetkan 30 juz, plus dengan tahsin yang merdu, meskipun itu adalah tujuan ideal. Silahkan disesuaikan dengan metode yang ditempuh dan hasil yang diharapkan. Justru semakin banyak hafalan akan semakin sulit menjaganya, namun bukan berarti semakin dikit hafalan akan semakin mudah menjaganya. Banyak dan sedikit jumlah hafalan tidak menentukan tinggi rendahnya seseorang, bisa saja yang sedikit lebih banyak pahala karena sering diulang-ulang sedangkan yang banyak hafalannya lebih rendah karena sering dilupakan. Sudah capek-capek dihafal kok dengan mudahnya dilupakan. 

Tapi kalau ada yang menyediakan kesempatan menghafal 30 juz mengapa tidak? Semakin banyak hafalan akan semakin besar peluang mendapatkan kemuliaan Al Qur’an. Fastabiqul khoirot, berlomba-lombalah dalam kebaikan. Minimal kita berharap demikian kepada Allah SWT. Setinggi apapun harapan kita insyaAllah akan dikabulkany-Nya, asalkan kita selaraskan dengan ikhtiar maksimal. 

Dari Mu’adz bin Anas bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa membaca Al Qur’an dan mengamalkan kandungan isinya, niscaya pada Hari Kiamat Allah akan mengenakan kepada kedua orangtuanya sebuah mahkota yang cahayanya lebih indah daripada cahaya matahari di rumah-rumah dunia; maka apa pendapatmu tentang orang yang mengamalkan hal ini?” (HR. Abu Dawud) 

Terakhir, tetaplah berharap hanya kepada Allah walaupun sekeras apapun kita sudah berusaha. Berapapun uang yang sudah dikeluarkan, waktu yang sudah diberikan, juga perhatian yang sepenuhnya disampaikan. Selama tujuan kita mendidik hanya untuk mulia di mata manusia, maka jangan salahkan anakmu jika hasilnya justru tidak membekas. Bahkan mungkin saja tidak berhasil apapun. Padahal bisa saja anak yang tidak dilahirkan dari keturunan muslim namun bisa taat syariat dan hafal qur’an. Mengapa demikian? Karena petunjuk itu datangnya dari Allah SWT, bukan dari orang tua atau guru-guru tahfidz kepercayaan mereka. Ingatlah firman-Nya: 

إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ 

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qashash: 56) 

Maka mulailah dari sekarang kita memohon agar Dia berkenan menjadikan keturunan kita anak shalih dan shalihah serta menjadi para penghafal dan pengamal Al Qur’an. Maha Suci Allah Yang memiliki segala kemuliaan dari apa yang mereka ucapkan, Rabb semesta alam.

__________________
Bandung, 27 Juli 2019
Muhamad Afif Sholahudin, S.H

0 comments:

Post a Comment