Saturday 29 June 2019

Berbahagialah Mereka Yang Sudah 'Menyiapkan' Kuburannya


Ada perkataan indah yang disampaikan oleh Yahya bin Muadz Ar-Razi dan dikutip oleh Imam An Nawawi dalam kitabnya Nasha’ihul ‘Ibad, perkataannya berbunyi seperti ini: 

“Berbahagialah orang yang meninggalkan dunia sebelum dunia meninggalkannya, yang membangun kuburannya sebelum memasukinya, dan yang ridha terhadap tuhan-Nya sebelum berjumpa dengan-Nya.” 

Dijelaskan oleh Imam An-Nawawi bahwa yang dimaksud: “Berbahagialah orang yang meninggalkan dunia sebelum dunia meninggalkannya” adalah mereka yang menghabiskan harta untuk amal kebajikan sebelum harta itu Allah SWT cabut darinya. Dan yang dimaksud, “Yang membangun kuburannya sebelum memasukinya” adalah mereka yang memperbanyak amal shalih saat hidup di dunia sehingga ia bisa merasakan kedamaian di alam kubur saat kematiannya. Dan yang dimaksud, “Yang ridha terhadap tuhan-Nya sebelum berjumpa dengan-Nya” adalah mereka yang menjalankan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya sebelum menghadap Allah untuk mempertanggungjawabkan amalnya. 

Coba renungi lebih dalam sisa-sisa umur kita, apakah benar kita termasuk orang yang beruntung menerima kebahagiaan dunia? Saya sendiri pun kaget ketika melihat umur sendiri, "Kok begitu cepat ya waktu tak terasa umur sudah semakin tua." Hidup hanya dihabiskan untuk mencari harta, harta, harta. Banyaknya harta tidak menjamin kebahagiaan dunia, karena bahagia tidak bisa diukur oleh harta. Atau mungkin di antara kita banyak menghabiskan sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan untuk kemaksiatan. 

Ada yang sanggup membeli segelas kopi dengan harga puluhan ribu tapi begitu susah mengeluarkan selembar 5 ribuan untuk bersedekah. Ada yang begitu mudah dan sering membeli kamar hotel mewah dengan biaya jutaan semalamnya, tapi begitu susah ketika adzan berkumandang mengayuh kaki agar menuntunnya ke masjid padahal masuk masjid tidak bayar . Ada yang begitu mudah membangun rumah mewah, gedung bertingkat, tapi betapa berat bagi dia untuk menyumbang pembangunan masjid padahal lokasinya berada di dekat rumahnya. 

Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua perkara yang tidak disukai oleh anak Adam. Pertama, anak adam tidak menyukai kematian, padahal kematian itu lebih baik bagi seorang mukmin daripada fitnah. Kedua, anak adam tidak menyukai sedikitnya harta, padahal sedikitnya harta meringankan penghisaban.” (HR. Ahmad) 

Terlena dengan sedikitnya nikmat dunia, namun terlena dengan luasnya nikmat akhirat. Menyesal kita berjuang saat berjuang mati-matian untuk sesuatu yang tidak akan dibawa mati. Saat hari esok (kematian) itu tiba, barulah sadar bahwa yang kita lakukan hanyalah sebuah kesia-siaan yang berujung kepada penyesalan. Astagfirullahal‘adzim.. 

Allah SWT pernah memperingatkan kita dalam Firman-Nya: 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُلۡهِكُمۡ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَلَآ أَوۡلَٰدُكُمۡ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ وَأَنفِقُواْ مِن مَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنِيٓ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ وَلَن يُؤَخِّرَ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِذَا جَآءَ أَجَلُهَاۚ وَٱللَّهُ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ 

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Munafiqun: 9-11) 

Salah satu alasan utama manusia saat meninggal memohon agar bisa bersedekah adalah disebabkan sisa umurnya hanya dihabiskan untuk mencari dunia, sedangkan hanya harta yang ia punya untuk menyelamatkannya. Ilmu sedikit, ibadah pun tidak lama. Namun ketika harta banyak, tapi lupa untuk disyukuri dengan banyak bersedekah. 

Banyak orang berlomba-lomba membangun bangunan di dunia padahal hanya untuk hidup sementara saja, namun tidak banyak yang tertarik berlomba ‘membangun kuburan’ mereka dengan memperbanyak amal shalih untuk bekal di dalamnya. Padahal kuburan itulah rumah abadi kita, tempat tinggal di kehidupan kedua. Betapa banyak orang sibuk dengan aktivitasnya padahal kain kafannya sudah dirajut untuk kita. 

Banyak yang tidak mengerjakan perintah Allah dan justru mengerjakan larangan-Nya seakan-akan ia ia hanya bertemu dengan rabb-Nya di hari akhir nanti, padahal sejatinya pertemuan pertama yang ia jumpai akan ditanya apa saja yang dia lakukan di dunia. Terlena dengan dunia namun lupa akhirat. 

Seharusnya kita berharap sebagaimana harapan Abu Bakar kepada tuhan-Nya, “Jadikan dunia ini di genggamanku, bukan di hatiku.” Betul dan sesuai realitas. Bahwa dunia jika dalam genggaman mudah untuk diatur dan dilepas. Berbeda jika sudah melekat di hati, sulit untuk diatur dan sulit untuk dilepas. 

Banyaklah beramal sebagaimana kamu merasa pesimis dengan amalmu. Begitulah kira-kira nasehat sahabat terdahulu, “Hiduplah kalian di dunia sebagaimana kalian akan hidup selamanya, dan beribadahlah kalian di dunia sebagaimana kalian akan mati esok.” Mencari nikmat dunia tidak aka nada habisnya, maka jangan terlalu rakus karena mungkin masih ada hari esok. Namun merasa rakuslah ketika beramal karena mungkin ini adalah amalan terakhir kita. 

Agar kita tidak terjebak dengan perilaku buruk di atas, alangkah baiknya kita selalu merasa pesimis dan berkecil hati menilai diri sendiri dan amal bekal masing-masing. Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah bertutur nasehat: 

1. Kalau anda berjumpa dengan seseorang, anda lihat keutamaan dan keunggulan dirinya daripada anda, serayaberkata, “Bisa jadi Allah menjadikan dia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya daripada aku.” 
2. Kalau anda berjumpa dengan yang lebih muda, berkatalah, “Bisa jadi ia lebih baik daripada aku, karena ia lebih sedikit maksiat ketimbang aku.” 
3. Kalau anda berjumpa dengan yang lebih tua, berkatalah, “Bisa jadi ia lebih baik daripada aku, karena ia lebih lama beribadah ketimbang aku.” 
4. Kalau anda berjumpa dengan orang berilmu, katakanlah, “Bisa jadi ia lebih baik daripada aku, mendapat karunia yang tidak aku peroleh, mengetahui banyak hal yang tidak aku ketahui dan mengamalkan ilmunya.” 
5. Kalau anda berjumpa dengan orang bodoh/awam, berkatalah, “Bisa jadi ia lebih baik daripada aku, karena maksiat ia disebabkan ketidaktahuan dan ketidaksadarannya, sedangkan jika aku bermaksiat tentu dengan sepenuh pengetahuan dan kesadaranku.” 

Sikap rendah hati dan tahu diri, karena bisa jadi ada amal yang belum tentu sudah kita amalkan, tapi cukup kita anggap orang lain sudah mengamalkan. Dengan begitu, kita terpacu untuk berbuat amal kebaikan, meninggalkan yang buruk, karena kita menganggap diri kita kurang pahala tapi banyak dosa. Seandainya kita disibukkan dengan aktivitas-aktivitas penuh kebajikan, maka tak sempat waktu kita untuk mengerjakan keburukan. 

Tujuan kita bukan terlihat mulia di dunia, karena manusia bukanlah standar penilaian. Biarkan Allah yang menilai siapa diri kita, pantaskah dimasukkan di surganya. Benar kata imam Ali, “Jadilah anda besar (mulia) di mata Allah, dan kecil di mata manusia.” 


Paris Van Java, 29 Juni 2019
Bandung, 27 Syawwal 1440 H
Muhamad Afif Sholahudin


0 comments:

Post a Comment