Saturday 15 June 2019

One Belt One Road (OBOR) Perspektif Ekonomi dan Politik


Sebuah proyek prestisius digelontorkan oleh Cina, proyek yang menghubungkan perdagangan antara Asia, Afrika dan Eropa yaitu One Belt One Road. OBOR dianggap menjadi visi geoekonomis China paling ambisius dengan melibatkan 65 negara, dan melingkupi 70% populasi dunia. Konsep ini akan menelan investasi mendekati US $4Milyar, termasuk $900 juta yang telah diumumkan China. 

Inisiatif OBOR melibatkan 65 negara mulai dari Asia hingga ke Eropa. Dengan demikian, inisiatif ini akan menghubungkan negara-negara yang mewakili 55 persen produk nasional bruto (Gross National Product, GNP), 70 persen populasi global, dan 75 persen cadangan energy dunia. Sementara itu, Menteri Perdagangan Tiongkok mengumumkan bahwa dalam semester pertama tahun 2015 perusahaan perusahaan Tiongkok telah menandatangani 1.401 kontrak proyek di negara-negara yang masuk ke dalam kerangka Inistiatif OBOR. Nilar kontrak proyek tersebut setara dengan 37,6 miliar dollar Amerika Serikat dan mewakili 43,3 persen dari seluruh kontrak luar negeri yang ditandatangani oleh berbagai perusahaan Tiongkok dalam periode waktu yang sama. 

Pada 27 April 2019 lalu baru saja dilakukan penandatanganan 23 Memorandum of Understanding (MoU) antara sejumlah pebisnis Indonesia dan China dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt Road Initiative (BRI) di Beijing. Sejumlah pejabat teras Indonesia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Belt and Road Initiative (BRI) di Cina. Sejak 24 hingga 27 April 2019, Indonesia akan berupaya menawarkan 28 proyek strategis senilai Rp1.287 triliun untuk memperoleh pembiayaan dari institusi finansial di Cina. 

SEJARAH OBOR

Pada tahun 2013 pemimpin Tiongkok, Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang melakukan kunjungan ke 22 negara yang menandai karakter baru kebijakan luar negeri Tiongkok. Dari 22 negara yang dikunjungi oleh kedua pemimpin tersebut, 12 kunjungan dilakukan ke negara-negara yang menjadi tetangga dekat Tiongkok, yaitu Rusia, Turkemenistan, Kazakhtan, Uzbekistan, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Thailand, India dan Pakistan. 

Di Kazakhtan, Presiden Xi Jinping menyampaikan inisiatif “Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economic Belt)” dengan tujuan utama untuk menghubungkan Tiongkok hingga Eropa melalui jalur darat. Di Indonesia, Presiden Xi Jinping menyampaikan inisiatif “Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (The 21st Maritime Silk Road)” dengan tujuan utama untuk menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa melalui jalur transportasi laut. Dalam visi pemerintah Tiongkok, Sabuk Ekonomi Jalur Sutra akan menghubungkan Tiongkok, Asia Tengah, Rusia, dan Eropa (khususnya kawasan Baltik). Pada saat bersamaan, Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 akan terentang mulai dari pesisir Tiongkok hingga Eropa melalui Laut Tiongkok Selatan dan Samudera Hindia di satu sisi, dan dari pesisir Tiongkok hingga kawasan Pasifik Selatan melalui Laut Tiongkok Selatan 

Pemimpin Tiongkok menggagas satu mekanisme kerja sama multilateral yang dikenal dengan inistiatif One Belt One Road atau juga dikenal dengan Jalur Sutra Baru (New Silk Road Economic Belt) yang terdiri dari Jalur Sutra Ekonomi dan Jalur Sutra Maritim abad ke-21 (21st Maritime Silk Road). Jalur Sutra Ekonomi merujuk kepada Jalur Sutra kuno yang berfungsi sebagai jalur aktivitas perdagangan dan pertukaran budaya sepanjang 10.000km mulai dari Tiongkok hingga ke Roma. Catatan sejarah Jalur Sutra kuno ini dapat dilacak kembali hingga ke masa Dinasti Han (206 sebelum Masehi hingga tahun 220 Masehi) ketika Duta Besar Zhang Qian dikirim untuk membina hubungan persahabatan ke negara-negara di wilayah Barat Jauh Tiongkok. Sedangkan jejak sejarah Jalur Sutra Maritim dapat dilacak hingga ke masa Dinasti Song (960-1279), di mana kekaisaran Tiongkok memulai pelayaran ke kawasan Asia Tenggara yang pada saat itu dikenal dengan Nanyang. Pada masa ini, Dinasti Song mulai membangun hubungan luar negeri dengan kerajaan-kerajaan di kawasan Nanyang. 

Jalur Sutra Ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi Tiongkok dengan negara-negara di kawasan Asia Tengah. Upaya meningkatkan kerja sama ekonomi ini menjadi penting seiring dengan meningkatnya pengaruh politik global Tiongkok yang dipersepsikan sebagai potensi ancaman bagi negara-negara di Asia Tengah. Indikasi dari persepsi ini dapat kita lihat dari manuver-manuver politik yang dilakukan oleh negara-negara di kawasan ini dalam menjaga hubungannya dengan Rusia dan Tiongkok. 

Sementara itu Jalur Sutra Maritim bertujuan untuk memperbaiki hubungan Tiongkok dengan negara-negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan menekankan pada kerja sama di bidang keamanan jalur perdagangan maritim. Inisiatif Jalur Sutra Maritim abad ke- 21 bertujuan untuk menetralisir persepsi negatif negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan terhadap Tiongkok dengan menekankan pada kerja sama ekonomi yang meliputi kerja sama keuangan, proyek pembangunan infrastruktur (seperti pembangunan jalan dan rel kerata api), dan upaya meningkatkan kerja sama di bidang keamanan. Ide tentang Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 juga memberi penekanan pada pentingnya aspek maritim dari peningkatan kerja sama Tiongkok dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan melalui penguatan ekonomi maritim dan kerja sama teknis dan ilmiah di bidang lingkungan hidup. 

Selain itu, Pemimpin Tiongkok juga mempromosikan kerangka kerja sama ‘2+7’melalui gagasan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21. Secara singkat, kerangka kerja sama 2+7 adalah konsensus yang ditawarkan pemerintah Tiongkok mengenai dua isu dan tujuh proposal. Kedua isu tersebut adalah kepercayaan sebagai bagian dari prinsip bertetangga dengan baik antar negara-negara dan kerja sama ekonomi berdasarkan prinsip yang saling menguntungkan. Sedangkan tujuh proposal meliputi: 

  1. Penandatanganan perjanjian mengenai hidup bertetanggga dengan baik (good neighbor) antara Tiongkok dan ASEAN; 
  2. Meningkatkan efektifitas kesepakatan perdagangan bebas (free trade agreement, FTA) antara Tiongkok dan ASEAN serta mengintensifkan negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP); 
  3. Melakukan akselerasi proyek pembangunan infrastruktur bersama; 
  4. Memperkuat kerja sama dan pencegahan resiko keuangan regional; 
  5. Kerja sama di bidang maritim yang lebih erat; 
  6. Meningkatkan kolaborasi di bidang keamanan; dan 
  7. Meningkatkan hubungan antar-masyarakat (people-to-people) melalui kerja sama di bidang kebudayaan, ilmiah, dan perlindungan lingkungan hidup. 

Melihat visi tersebut, inisiatif OBOR merupakan visi pembangunan konektifitas lintas benua melalui jalur darat dan laut. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah Tiongkok menegaskan bahwa inisiatif OBOR merupakan kesempatan bagi berbagai Negara untuk mendapatkan keuntungan timbal-balik melalui pendanaan bersama pembangunan fasilitas infrastruktur yang melintasi kawasankawasan yang disebutkan di atas. Lebih spesifiknya, pemerintah Tiongkok menawarkan lima area prioritas kerja sama, yaitu (1) koordinasi kebijakan, (2) konektifitas fasilitas, (3) perdagangan bebas (unimpeded trade), (4) integrasi keuangan, dan (5) kerja sama di tingkat akar rumput. 


OBOR Agenda Keamanan Liberal Tiongkok 

Jika dilihat inisiatif OBOR secara keseluruhan, maka hal ini tidak terlepas dari upaya komprensif Tiongkok untuk mewujudkan keamanannya. Dalam kontek mewujudkan kepentingan keamanannya ini, Tiongkok tidak hanya semata-mata ingin mengamankan jalur laut di wilayah Laut Tiongkok Selatan tetapi juga mengupayakan jalur transportasi alternatif terhadap komoditas ekspor dan impor mereka melalui jalur darat dengan mencari akses menuju Teluk Benggala tanpa harus melalui Selat Malaka. Kebutuhan inilah yang menjadi latar belakang interaksi yang cukup tinggi antara Tiongkok dengan Myanmar, yang dapat menjadi pintu gerbang menuju Teluk Benggala dan Samudera Hindia. Analisis yang kurang lebih serupa juga dapat kita lihat dari peningkatan hubungan Tiongkok dengan Pakistan. Dengan meningkatkan kerja sama dengan Pakistan melalui proyek kerja sama pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan raya, rel kereta api, dan pipa gas, Tiongkok akan memiliki akses yang lebih terbuka menuju Teluk Persia dan kawasan Timur Tengah secara keseluruhan. Singkatnya, upaya Tiongkok untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara seperti Myanmar dan Pakistan bertujuan untuk memangkas waktu tempuh transportasi berbagai komoditas penting bagi mereka dan menjadikan hubungan perdagangan tidak lagi terlalu bergantung terhadap jalur tranportasi maritim yang selalu memiliki masalah keamanan. Uraian analisis di atas menunjukkan bahwa insiatif OBOR Tiongkok yang terdiri dari Jalur Sutra Ekonomi dan Jalur Sutra Maritim tidak terlepas dari upaya pemerintahan Tiongkok untuk mewujudkan kepentingan keamanannya. 

Dalam konteks inisiatif OBOR, pemerintahan Tiongkok menunjukkan bahwa upaya untuk mencapai kepentingan Tiongkok adalah dengan meningkatkan stabilitas regional melalui kerja sama yang lebih erat dengan negara-negara tetangganya. Langkah pertama untuk menciptakan stabilitas di kawasan yang memiliki makna penting bagi Tiongkok adalah melalui berbagai dialog dan pertemuan tingkat tinggi. Hal inilah yang menjadi alasan pemerintahan Tiongkok untuk meningkatkan hubungan bilateral negaranya dengan negaranegara lain menjadi ‘kemitraan strategis (strategic partnership)’. 

Inisiatif OBOR merupakan bagian integral dari upaya Tiongkok untuk menjaga stabilitas dalam negeri dan menciptakan perdamaian di kawasan, namun pada saat yang sama juga menunjukkan peningkatan pengaruh globalnya dan posisinya sebagai negara kuat di kawasan. Jika dielaborasi lebih detil, lingkungan strategis internasional Tiongkok dipengaruhi oleh beberapa perkembangan kontemporer yaitu 
  1. Pergeseran poros politik luar negeri Amerika Serikat ke Asia (beberapa contohnya adalah negosiasiasi TPP yang tengah digagas oleh Amerika Serikat; penguatan kerja sama Amerika Serikat dengan negara-negara ASEAN, seperti dukungan Amerika Serikat dalam proses demokratisasi di Myanmar serta kerja sama keamanan yang lebih dekat dengan Singapura, Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam); 
  2. Upaya Rusia untuk mengembalikan pengaruhnya di kawasan Asia Tengah; dan 
  3. Manuver negara-negara di kawasan Asia Tengah yang menunjukkan keengganan untuk bergantung kepada Tiongkok. 
Keseluruhan dari berbagai pekembangan kontemporer tersebut tidak memberi pilihan lain bagi Tiongkok selain berupaya untuk terlibat lebih aktif dalam politik internasional di kawasan sebagai kekuatan baru yang sedang bangkit. Namun pada saat yang bersamaan, Tiongkok berupaya menujukkan keterlibatan aktif tersebut dengan menggunakan bahasa yang lunak dan menggunakan narasi sejarah yang positif sebagai dasar bagi negaranegara agar terlibat dalam mekanisme kerja sama multilateral yang ditawarkan Tiongkok. 

Jika Amerika Serikat akan mencoba membendung Tiongkok di kawasan Asia Pasifik, maka Rusia tampaknya akan mencoba melakukan hal yang sama untuk kawasan Asia Tengah. Bagi Rusia, kawasan Asia Tengah merupakan halaman belakang dari politik internasionalnya. Rusia selalu menjadi patron untuk kawasan ini dan akan selalu memastikan sentralitas posisinya. Kebangkitan Tiongkok, dan terlebih lagi dengan adanya inisiatif OBOR yang akan meningkatkan pengaruh Tiongkok di Asia Tengah akan menjadi ancaman bagi hegemoni Rusia di kawasan ini. Tidak hanya di Asia Tengah, Rusia juga mulai merasa terancam di kawasan Siberia dan kawasan Timur Jauhnya seiring dengan makin banyaknya migrasi warga Tiongkok ke kedua kawasan tersebut. 

Di kawasan Asia sendiri, inisiatif OBOR Tiongkok juga dapat menimbulkan dilema tersendiri bagi India. Dalam konteks persaingan memperebutkan posisi hegemon di Asia, India mempersepsikan inisiatif OBOR sebagai strategi ‘untaian mutiara (string of pearls),’ yaitu upaya Tiongkok untuk membendung India di kawasan. Untuk menandingi inisiatif OBOR Tiongkok tersebut, India juga melansir gagasan mekanisme kerja sama multilateral yang dikenal dengan ‘Project Musam’. Melalui Project Musam ini India pada dasarnya berusaha memposisikan dirinya di dua level. Di level makro, India berupaya untuk menghubungkan dan membangun kembali komunikasi antara negara-negara yang berada di pesisir Samudera Hindia guna meningkatkan saling pemahaman melalui nilai-nilai budaya. Sedangkan di level mikro, proyek ini bertujuan untuk membangun budaya nasional India guna memposisikan dirinya dalam politik maritim regional. Walaupun kerja sama ekonomi antara Tiongkok dan India mengalami peningkatan di tahun tahun terakhir, namun pengamat di Tiongkok manyadari bahwa India memiliki intensi untuk menjadi kekuatan global yang memiliki peran penting dalam politik internasional. Hanya saja, India tidak akan bergantung kepada kekuatan ekonomi Tiongkok untuk mewujudkan intensinya tersebut, namundengan mengandalkan kekuatan militer Amerika Serikat. 

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa OBOR / BRI adalah salah satu upaya Tiongkok untuk menjadi adidaya Kawasan terutama di Asia dan Pasifik dan tidak mungkin OBOR adalah upaya Tiongkok untuk menjadi adidaya Internasional menggeser Amerika 


OBOR Penjajahan lewat Hutang 

Bagi China ada tiga keuntungan besar Proyek OBOR yaitu dengan tersalurnya dana cadangan devisa yang melimpah. Pertama, dana tersebut tetap produktif. Kedua, tersedia lapangan kerja baru untuk tenaga kerjanya yang juga melimpah. Ketiga, memperkuat pengaruh China dalam geopolitik global. 

Adapun bagi Indonesia dan negara yang telah melakukan kerja sama, lebih banyak buntungnya. Hal itu tampak dari beberapa jebakan yang sudah disiapkan China untuk mencengkeram negara tujuan kerja sama OBOR: 

Pertama, pinjaman itu tidak gratis. Proyek-proyek tersebut mempersyaratkan kerjasama dengan perusahaan China. Alat mesin, barang-barang produksi, semua dari China. Dan yang lebih penting lagi melibatkan tenaga kerja. Kerjasama semacam ini disebut sebagai Turnkey Project. Pemerintah setempat tinggal “menerima kunci,” karena semuanya sudah dibereskan China. 

Selain membanjirnya tenaga kerja China, proyek OBOR juga banyak menimbulkan petaka bagi negara bantuan. Fenomena ini disebut sebagai jebakan utang China. The China’s Debt Trap. 

Kedua, gagal bayar proyek diserahkan ke China. Pemerintah Srilanka terpaksa menyerahkan pelabuhan laut dalam Hambantota karena tidak bisa membayar utangnya. Banyak pengamat yang mengkhawatirkan di bawah kendali China, pelabuhan itu akan dipergunakan sebagai pangkalan kapal selam untuk mengontrol kawasan di Samudera Hindia, dan Laut China Selatan. 

Di Afrika, China juga berhasil mengambil-alih sebuah pelabuhan di Djibouti karena tidak bisa membayar utang. Langkah ini membuat kesal Amerika Serikat (AS) karena Djibouti menjadi pangkalan utama pasukan AS di Afrika. “Beijing mendorong negara lain mempunyai ketergantungan utang, dengan kontrak-kontrak yang tidak jelas, praktik pinjaman predator, kesepakatan korup yang membuat negara-negara lain terlilit utang,” kecam Menlu AS Rex Tillerson. 

Mengutip data Center for Global Development 2018 yang menyatakan terdapat 8 negara peserta BRI yang diprediksi gagal membayar pinjaman itu. Kedelapan negara itu adalah Djibouti, Kyrgyztan, Laos, the Maldives, Mongolia, Montenegro, Pakistan, dan Tajikistan. Tiga di antaranya telah melepas pelabuhan hingga tanahnya bagi pemerintah Cina sebagai ganti utang itu. Salah satunya bahkan dibangun pangkalan militer. 

Ketiga, wilayah jajahan baru. Pemerintah Indonesia jika tidak paham upaya kolonilisasi China melalui OBOR, serta tidak menyiapkan diri menolaknya maka nasib Indonesia bisa saja sial. Indonesia hanya akan menjadi keran bahan baku bagi produsen-produsen global. Kondisi tersebut dengan praktik VOC atau Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda jilid II. 

Keempat, penguasaan SDA dan ekonomi. Jika OBOR dibiarkan, dalam jangka waktu ke depan, Indonesia berpotensi besar dalam orbit ekonomi China. Terkurasnya kekayaan alam Indonesia, banjirnya produk China hingga mematikan produk lokal, menyempitnya lahan dan lapangan pekerjaan bagi anak bangsa ini, bisa terjadi. Indonesia yang kaya, akan menjadi miskin, pengangguran tidak teratasi maksimal, dan bahaya krisis lahan ekonomi untuk rakyat, akibat ekspansi ekonomi China. 

OBOR PENJAJAHAN GAYA BARU 

Sangat jelas bahwa OBOR ini membawa skema investasi asing, utang luar negeri, dan penjajahan gaya baru. Tak ayal kesemuanya itu jelas-jelas merugikan Indonesia. Karena itu penolakan harus tegas dan jelas oleh semua elemen umat Islam. Penolakan itu sangat beralasan sebab: 
Bahaya Investasi Asing 

Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam mengemukakan, sesungguhnya pendanaan proyek-proyek dengan mengundang investasi asing adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam. Investasi asing bisa membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkannya, juga merupakan jalan untuk menjajah suatu negara. 

Pinjaman (investasi asing) yang diberikan Cina, diikat dengan berbagai syarat seperti adanya jaminan dalam bentuk aset, adanya imbal hasil seperti ekspor komoditas tertentu ke Cina hingga kewajiban negara pengutang agar pengadaan peralatan dan jasa teknis harus diimpor dari Cina. Mengutip riset yang diterbitkan oleh Rand Corporation, China’s Foreign Aid and Government Sponsored Investment Activities, disebutkan bahwa utang yang diberikan oleh Cina mensyaratkan minimal 50 persen dari pinjaman tersebut terkait dengan pembelian barang dari Cina. 

Selain harus membayar bunga yang relatif tinggi, juga disyaratkan agar BUMN Indonesia yang menggarap proyek-proyek tersebut yang dibiayai oleh utang dari Cina harus bekerjasama dengan BUMN negara itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam berbagai proyek pengembangan infrastruktur di negara ini, kehadiran dan peran perusahaan-perusahaan Cina menjadi sangat dominan mulai dari perencanaan, pengadaan barang dan jasa hingga konstruksi (engineering, procurement, construction [EPC]). 

Secara ideologis, haluan ekonomi politik negeri ini sudah menjadi haluan ekonomi dan politik yang mengabdi kepada kepentingan bangsa lain, sepeti Amerika, Jepang, Eropa, dan juga Cina. Salamuddin Daeng, Peneliti Indonesia for Global Justice mengemukakan pandangannya bahwa kita bernegara, kita berkonstitusi hanya menyediakan suatu ruang, bahkan dalam bentuk yang paling asli, kita menyediakan tanah, gedung, jalan, infrastruktur, dan segala macamnya yang ada di negeri ini, semata-mata untuk memfasilitasi bangsa lain untuk mengeruk kekayaan negara kita. 
Bahaya Utang Luar Negeri 

Pembekakan Utang Luar Negeri dan Dalam Negeri akan membebani pembayaran cicilan pokok dan bunga yang juga makin tinggi. Makin besar jumlah hutang, jumlah kas negara yang tersedot untuk bayar utang makin besar. Akibatnya, kapasitas APBN untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat makin terbatas. 

Resiko terbesarnya ialah gagal bayar utang. Zimbabwe, Sri Lanka, dan negeri lainnya bisa menjadi contoh. Selain bisa membangkrutkan negeri ini, tentu utang itu disertai bunga alias riba yang diharamkan dalam Islam. Rasulullah Saw bersabda: 

“Jika zina dan riba telah tersebar luas di satu negeri, sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan adzab Allah bagi diri mereka sendiri” (HR al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabari) 

Selain itu, perekonomian yang dibangun atas pondasi riba tidak akan pernah stabil. Akan terus goyah bahkan terjatuh dalam krisis secara berulang. Akibatnya, kesejahteraan dan kemakmuran yang merata untuk rakyat serta kehidupan yang tentram akan terus jauh dari capaian. 
Bahaya Penjajahan Gaya Baru (Neo-Imprealisme) 

Metode baku negara kapitalisme, baik Barat dan Timur, yaitu penjajahan. Penjajahan dalam bentuk politik dan ekonomi. Negara yang dijajah akan dikeruk kekayaan alamnya, dijauhkan dari agamanya (Islam), dan eksploitasi besar-besaran. Penjajahan ini untuk melemahkan semangat kaum muslim bangkit kembali kepada Islam. 

Neo-imprealisme inilah yang sering tidak dipahami umat. Hal ini disebabkan uslub penjajahannya bisa bersifat halus tak kasat mata, misalnya bantuan, skema utang, kerja sama, dll. Ada pula yang kasat mata untuk mendudukan suatu wilayah dengan hegemoni militer. 

Sudah selayaknya negeri-negeri muslim menolak proyek OBOR ini, sebagai bentuk kolonialisasi China atas negeri-negeri muslim. Negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini, sudah selayaknya dikelola dengan aturan yang berasal dari Allah SWT, bukan justru penguasa bergandengan tangan dengan negara berideologi komunis, China, anti Tuhan. 

Penerapan syariah Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan akan membuat negeri negeri muslim menjadi negara yang berdaulat, mampu mensejahterakan rakyatnya dengan karunia sumber daya alam yang melimpah. Saatnya negeri ini hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyah ala minhaji nubuwwah, untuk menyelamatkan umat, mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat, dan hidup berkah dalam ridho-Nya, sebagaimana yang dipraktekkan pada masa Khulafaur Rasyidin.

1 comment:

  1. Kekejian yang mereka bangun akan menghadapi lawan yang setimpal.

    salam

    ReplyDelete