Friday 27 October 2017

Perlindungan HAKI Dilihat Dari Fiqh Muamalah Dihubungkan Dengan Fatwa MUI No. 5 Tahun 2005

Oleh: Muhamad Afif Sholahudin

Mengaitkan antara Hak atas Kekayaan Intelektual dengan fiqh muamalah mudahnya berangkat dari pengertian. HAKI merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada seseorang, sekelompok orang, maupun lembaga untuk memegang kuasa dalam menggunakan dan mendapatkan manfaat dari kekayaan intelektual yang dimiliki atau diciptakan. Menurut penulis, perlindungan seperti ini sepintas mengandung salah satu ciri khas budaya kapitalisme yang menjunjung tinggi hak-hak individu atas kepemilikan bersama.
Zaman dulu sesuatu yang tergolong biasa didapatkan namun saat ini dipandang memiliki nilai ekonomis. Seperti sebuah gagasan, mereka biasanya menggunakannya tanpa perlu memberi imbalan apapun kecuali doa dan dukungan atas gagasan yang sudah dilahirkan. Bahkan seringkali banyak yang mengambil keuntungan bukan dari sang penggagas namun mereka yang memanfaatkan gagasan tersebut. Tentu manusia yang mengalami pergeseran dan perubahan pola pikir dan pola sikap menuntut kemajuan atas kepentingan harta benda dan perniagaan.
Jika Hak Kekayaan Intelektual yang ada saat ini lebih luas pengertiannya sebagaimana yang telah diatur dalam hukum positif, seperti: Hak Cipta, Paten, Merek, Perlindungan Varietas Tanaman, Rahasia Dagang, Desain Industri, dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Sedangkan Islam memandang kekayaan intelektual berupa hasil gagasan dari pemikiran. Dalam khazanah kontemporer dikenal dengan nama Haq al-Ibtikar. Secara bahasa berarti kekhususan yang dimiiki untuk menciptakan, atau hak istimewa yang pertama kali diciptakan. Fathi Ad-Dhuraini mendefinisikannya dengan gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuan atau terpelajar dan semisalnya melalui pemikiran dan analisisnya, hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama dan belum ada seorang ilmuan pun yang mengemukakan sebelumnya.[1]
Oleh karena itu, islam lebih menitikberatkan pada hak cipta karena berkaitan dengan hasil gagasan baru, adapun masalah merek, paten, dsb maka pembahasan ini belum diatur jelas dalam khazanah islam. Namun demikian, Islam mengatur kepemilikan seseorang dari sesuatu yang dihasilkannya. Kepemilikan/hak milik dalam Islam disebut “al-Milku” yang berarti sifat penggabungan kekayaan oleh manusia lalu menjadikannya ekslusif bagi dirinya sendiri. Wahbah Az Zuhaili mendefinisikan bahwa Milik adalah keistimewaan (astishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan syar’i.
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa nomor 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)”. Fatwa ini keluar dilatarbelakangi maraknya pelanggaran HKI yang telah sampai pada tingkat sangat meresahkan, merugikan, dan membahayakan banyak pihak terutama pemegng hak, negara, dan masyarakat. Selain itu karena ada ajuan fatwa dari Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), karenanya butuh adanya pedoman bagu umat Islam di Indonesia terkait pengaturan tentang masalah ini.
Merujuk dari ketentuan hukum fatwa, bahwa Islam memandang HKI sebagai salah satu huquq maliyyah (hak kekayaan) yang mendapat perlindungan hukum (mashu) sebagaimana mal (kekayaan). HKI yang mendapat perlindungan hukum Islam sebagaimana di maksud fatwa adalah HKI yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. HKI dapat dijadikan obyek akad (al-ma’qud’alaih), baik akad mu’awadhah (pertukaran, komersial), maupun akad tabarru’at (nonkomersial), serta dapat diwakafkan dan diwariskan. Setiap bentuk pelanggaran terhadap HKI, termasuk namun tidak terbatas pada menggunakan, mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan, menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak, memalsu,membajak HKI milik orang lain secara tanpa hak merupakan kezaliman dan hukumnya adalah haram.
MUI dalam menjelaskan HKI tidak berbeda jauh dari pengertian HKI yang dimaksud dalam hukum positif. Yang dimaksud Kekayaan Intelektual adalah kekayaan yang timbul dari hasil olah piker otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia dan diakui oleh Negara berdasarkan peraturan perundangaundangan yang berlaku. Oleh karenanya, HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual dari yang bersangkutan sehingga memberikan hak privat baginya untuk mendaftarkan, dan memperoleh perlindungan atas karya intelektualnya. Sebagai bentuk penghargaan atas karya kreativitas intelektualnya tersebut Negara memberikan Hak Eksklusif kepada pendaftarannya dan/atau pemiliknya sebagai Pemegang Hak mempunyai hak untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya atau tanpa hak, memperdagangkan atau memakai hak tersebut dalam segala bentuk dan cara. Pengertian dari jenis-jenis HKI yang dirujuk pun tidak lepas dari Undang-unndang yang berlaku, seperti: Hak Perlindungan Varietas Tanaman (UU No 29 Tahun 2000), Hak Rahasia Dagang (UU No 30 Tahun 2000), Hak Desain Industri (UU No 31 Tahun 2000), Hak Desain Tata Letak Terpadu (UU No 3 Tahun 2000), Paten (UU No 14 Tahun 2001), Hak atas Merek (UU No 15 Tahun 2001), Hak Cipta (UU No 19 Tahun 2002).
Namun, hal penting yang harus diperhatikan adalah penilaian islam dalam setiap akad muamalah saat memenuhi syarat dari Hak Kekayaan Intelektual. Sebab, ada beberapa kriteria yang diatur dibatasi dalam Islam namun dibebaskan dalam hukum positif. Hal ini tidaklah dibatasi dalam undang-undang, begitupun dalam fatwa MUI hanya menyebutkan “tidak bertentangan dengan aturan Islam”. Maka, beberapa penjelas agar tidak bertentangan dengan aturan Islam misalnya:
a.      Tidak mengandung unsur-unsur haram didalamnya seperti khamar, riba, judi, daging babi, darah, dan bangkai.
b.     Tidak menimbulkan kerusakan di masyarakat seperti pornografi, kekerasan, mengajak umat untuk berbuat dosa merusak lingkungan dan lain sebagainya.
Tidak bertentangan dengan syariat Islam secara umum seperti pembuatan berhala yang akan disembah manusia, gambar-gambar yang merusak akhlak, buku-buku yang mengajarkan ajaran sesat, penyimpangan-penyimpangan manhaj, mengajak kepada kesyirikan dan yang lainnya.
Selain dari segi materi (zat) karya cipta, maka tidak dilindunginya sebuah karya cipta juga berhubungan cara mendapatkan karya cipta tersebut. Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa Islam tidak melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan yang haram dan melindungi hak milik yang diperoleh dengan jalan yang halal. Berciri jenis-jenis yang dilindungi oleh Islam, yaitu:
a.      Diambil dari sumber yang tidak ada pemiliknya, misalnya barang tambang, menghidupkan tanah mati, berburu, mencari kayu bakar.
b.     Diambil dari pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal, misalnya harta rampasan, dan pengambilan zakat.
c.      Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti misalnya dalam jual beli dan berbagai bentuk perjanjian,
d.     Diambil secara sah dari pemiliknya dan tidak ada iwadh misalnya hadiah.
e.      Diambil tanpa diminta, misalnya harta warisan.
Jenis-jenis harta tersebut dikaitkan dengan hak cipta maka setiap karya cipta yang diperoleh dengan cara yang haram maka ia menjadi haram untuk digunakan. Sebagaimana harta yang diperoleh dengan cara yang haram. Implikasinya bahwa karya cipta yang diperoleh dengan cara yang haram maka tidak dilindungi sebagai hak dalam Islam.[2]
Jika dikaitkan dengan sumber hukum Islam, maka didapatkan bahwa kekayaan hasil pemikiran seseorang lebih baik disebarluaskan karena seorang muslim dituntut berfikir dan didorong dari hasil pemikirannya untuk didakwahkan dan disebarluaskan sebagai kemajuan pemikiran Islam. Bahkan hal ini yang dijadikan peletak dasar majunya keilmuan Islam di Masa Abbasiyah.
Memang pada awalnya iklim orang Indonesia menawarkan sesuatu yang berbeda dari iklim barat. Para penemu atau pencipta di Indonesia sangat berbesar hati apabila ciptaannya diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain. Para pelukis, pemahat, dan pematung di Bali sangat gembira apabila karya ciptanya ditiru orang lain.[3] Terlepas dari itu semua kiranya Indonesia sudah saatnya mencermati kembali segi-segi yang berkaitan dengan perlindungan HKI ini dalam sebuah sistem.[4]
HKI dalam Islam dibatasi dengan syariat Islam. Seperti tidak boleh mengajukan perlindungan gagasan baru yang berkaitan dengan khamr, karena khamr hukumnya haram, kecuali gagasan yang mendukung keharaman khamr. Atau produk teknologi yang berfungsi merusak lingkungan atau mengandung unsur pornografi. Islam punya batasan yang khusus tentang merusak lingkungan dan pornografi, meskipun batasan ini berbeda dengan batasan yang diatur dalam hukum positif.
Sebelum lahirnya pengakuan dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dalam hukum nasional kita, sebenarnya Islam telah lebih dahulu mengakui adanya  kekayaan  intelektual setiap manusia. Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan, tidak ada agama selain Islam dan tidak ada kitab selain Alquran yang demikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya dan memuji orang-orang  yang  menguasainya.[5] Suatu  petunjuk  yang  sangat  agung  dari  Alquran dalam hal ini adalah bahwa ia memberi penghargaan pada Ulu al-Albâb, kaum cendekiawan dan kaum intelektual, sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:
Hai  orang-orang  beriman apabila  kamu  dikatakan  kepadamu, "Berlapanglapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan  untukmu.  dan  apabila  dikatakan,  "Berdirilah  kamu",  maka berdirilah,  niscaya  Allah  akan  meninggikan  orang-orang  yang  beriman  di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan  Allah  Maha  mengetahui  apa  yang  kamu  kerjakan. (Q.s. al-Mujâdalah [58]: 11)
Penghargaan  terhadap  ilmu  pengetahuan  ini  diperkuat juga  oleh Hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi:
Apabila  anak  Adam  meninggal  dunia,  maka  terputuslah  seluruh  amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak salih yang mendoakannya. (HR. Abû Dâwûd)
Hadis tersebut memberikan pengertian bahwa hasil karya itu adalah hasil usaha manusia dan merupakan sumber manfaat baik bagi dirinya maupun bagiorang  lain.  Dengan  memanfaatkan  hasil  kreativitas orang  yang  berilmu  berartimelanjutkan  amal  salihnya yang  tidak  akan  mungkin  hilang bersama  dengan kematiannya.  Pemahaman  terhadap intellectual property  ini  pada  dasarnya merupakan pemahaman terhadap hak atas kekayaan yang timbul atau lahir dari hasil  kerja  intelektualitas  manusia. Banyak  karya  yang  dihasilkan  dari  intelektualitas manusia, baik melalui daya cipta,  rasa, maupun karsanya. Oleh karena itu, perlu diperhatikan dengan serius, sebab karya manusia ini  telah  dihasilkan dengan suatu pengorbanan tenaga, pikiran, waktu, dan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.[6]
Hasil dari sesuatu yang penuh dengan pengorbanan yang demikian sudah tentu  menjadikan  sebuah  karya  yang  dihasilkannya  memiliki  nilai  yang  patut dihargai.  Ditambah lagi  dengan adanya manfaat  yang dapat dinikmati, dan dari sudut ekonomi karya-karya tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Jadi, Hak atas Kekayaan Intelektual dapat termasuk kekayaan atau harta dalam ekonomi Islam, terutama ditarik dari sisi ciri-ciri dan cara perolehannya. Islam mendorong hasil intelektual untuk kemajuan ilmu pengetahuan, namun kepentingan ekonomis akan tergantung dari tujuan penggunaan kekayaan tersebut. Dalam kehidupan era modern saat ini, hak individu dijaga sehingga menuntut hasil karya intelektual pun akan dijaga. Hal ini tidak bertentangan dengan Islam, asalkan tidak keluar dari koridor hukum syara’.




[1] Hak Kekayaan Intelektual dalam hukum Islam, http://saifudiendjsh.blogspot.co.id/2013/10/hak-kekayaan-intelektual-dalam-hukum.html, diakses 14 Mei 2017
[2] Hak Kekayaan Intelektual dalam Islam, http://jubahhukum.blogspot.co.id/2017/04/hak-kekayaan-intelektual-dalam-hukum.html, diakses pada 15/5/17
[3] Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelekual, hlm. 22
[4] M Musyafa’, “Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Ekonomi Islam”, Jurnal Al-Iqtishad, 5:1, (Jayapura, September 2012), 44
[5] Yusuf Qaradhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, diterjemahkan oleh Abdul Hayyi Al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Inssani Press, 1998), h. 90.
[6] Ibid, Hlm 46

0 comments:

Post a Comment