Sunday 19 February 2012

Penerapan Syariat Islam Membutuhkan Negara!

Perdebatan tentang perlu tidaknya menerapkan syariat Islam secara formal dalam suatu negara tidaklah muncul kecuali setelah merasuknya ide demokrasi di negeri-negeri muslim. Perdebatan ini terus berlangsung sampai sekarang. Di Indonesia, perdebatan ini terangkat oleh isu gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Dengan makin melemahnya pemahaman kaum muslim, pemikiran yang lebih menonjol adalah tidak perlu melegal-formalkan syariah dalam bingkai negara, cukup dalam tataran individual saja.

Ditambah dengan merebaknya kasus terorisme yang melibatkan sebagian kaum muslimin, ketakutan terhadap legalisasi syariah dalam negara semakin meluas. Tidak hanya kalangan non muslim, bahkan ada di antara para ulama dan cendekiawan muslim ikut menyuarakan penolakan. 

Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, menyatakan, syariat Islam tak perlu diberlakukan di tingkat negara, namun cukup diamalkan oleh orang Islam.

"Pada level masyarakat, silakan syariat dilaksanakan. Nonsense beragama tanpa menjalankan syariat. Tapi syariat tidak perlu diberlakukan di level negara," kata Hasyim. Lebih lanjut menurutnya, di dalam negara bangsa yang beragam seperti Indonesia, pemaksaan penerapan syariat Islam di tingkat negara justru akan menimbulkan persoalan yang bisa memecah keutuhan negara.

Mengenai konsep totalitas Islam (kaffah) yang menjadi jargon kelompok Islam tertentu, Hasyim berpendapat totalitas dalam menjalankan ajaran Islam itu harus dilekatkan pada individu, bukan institusi (ANTARA News, 27 Juli 2007)

Secara terpisah, cendekiawan Islam Azyumardi Azra menilai penerapan syariat Islam secara resmi oleh negara dinilai tidak tepat. Azyumardi sepakat bahwa setiap Muslim harus mencintai syariat Islam dan menerapkannya pada kehidupan mereka, apalagi hasil survei menyebutkan mayoritas masyarakat Indonesia mendukung pelaksanaan syariat.

Tetapi, ia menolak jika syariat diterapkan sebagai hukum positif oleh negara. Menurutnya, nilai-nilai syariat cukup diperkenalkan kepada negara sebagai salah satu sumber hukum dan itu sudah berjalan baik. Sudah banyak muamalah bagian dari syariat yang telah diadopsi oleh negara, seperti perkawinan yang telah diadopsi dalam UU Perkawinan (ANTARA News, 27 Juli 2007).

Pendapat serupa dikatakan juga oleh Luthfi Assyaukani dalam Koran Tempo 24 April 2001. Ia menyatakan, yang harus diperjuangkan sekarang ini bukanlah bagaimana menerapkan hukum Islam secara formalistik, tapi memasukkan norma-norma (baca; moralitas) Islam ke dalam hukum positif Indonesia.

Dalam Islam, perdebatan dalam suatu perkara sebenarnya sah-sah saja selama berlandaskan kepada dalil-dalil yang kuat. Pendapat tanpa dalil dalam pandangan Islam tidak memiliki nilai apa-apa. Maka kalau sekedar pendapat pribadi yang didasarkan pada logika semata, sementara dalil dan fakta tidak mendukung, otomatis pendapat tersebut tertolak.

Kewajiban Muslim Terikat dengan Hukum Syara’

Seorang muslim ketika menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, beriman kepada Al Qur’an sebagai kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, terikatlah ia dengan konsekuensi dari keimanan tersebut. Ia harus menjadikan Allah sebagai satu-satunya tuhan yang ia sembah, ia tunduk dan taat terhadap aturan yang Allah gariskan. Iman kepada Rasulullah mengharuskan ia untuk mencintai dan menjadikannya sebagai teladan. Ia menjaga agar selalu mengikuti apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya melalui Al Qur’an dan hadist. Ia menjadikan keduanya sebagai pedoman dalam hidup. Apa yang diperintahkan Allah dan Rasul ia kerjakan dan apa yang dilarang ia tinggalkan.

“…apa yang dibawa oleh Rasul kepada kalian maka ambillah, dan apa saja yang dilarangnya maka tinggalkanlah.” (TQS. Al Hasyr:59).

Begitu pun keimanan terhadap hari akhir, mengharuskan seorang muslim untuk terikat dengan hukum-hukum Allah karena ia yakin bahwa suatu saat ia akan menemui tuhannya dan akan mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. Ia akan ditanya hujah ketika beramal atau tidak beramal dengan hukum Allah. 

Dari keimanan yang kuat semacam ini, lahirlah ketaatan yang kuat kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang semacam ini akan berusaha untuk mengerjakan apa saja yang Allah perintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Ia tidak mencari-cari alasan untuk menolak dan menghindar. Ia tidak menjadikan akalnya sebagai standar perbuatannya, karena ia telah menjadikan akalnya tunduk kepada aturan Allah.

Cakupan Syariat Islam

Kelengkapan Din Islam memantapkan Islam sebagai satu-satunya sistem hidup yang berasal dari Allah Swt, Pencipta seluruh makhluk, Yang Mahaadil dan Maha Mengetahui. Ajarannya yang terperinci, lengkap, dan mampu menjawab seluruh problem umat manusia sepanjang zaman telah dijamin sendiri oleh Allah Swt:

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (TQS an-Nahl [16]: 89).

Al-Quran dan Sunah Nabi memuat hukum-hukum yang lengkap tentang ibadah, berpakaian, makanan, minuman, hukum-hukum tentang ekonomi-perdagangan, harta, distribusi harta, ghanimah, fa’i, jizyah, kharaj, tentang peradilan tindakan kriminal, hudud, ta’zir, persaksian, pembuktian (bayyinaat), mahkamah, hingga ke perkara jihad, gencatan senjata, mobilisasi, perjanjian damai, atau utusan/delegasi. Belum lagi perkara-perkara yang menyangkut pendidikan, aturan sosial, keluarga/rumah tangga, dan seterusnya. Semua itu berupa sistem hukum yang cakupannya meliputi seluruh bentuk perbuatan manusia, baik antara manusia satu dengan yang lain, antara rakyat dan negara, antara negara Islam dengan negara lain, antara muslim dan nonmuslim, antara hamba dengan Allah SWT sebagai al-Khalik.

Para ulama dan fukaha terdahulu ataupun sekarang senantiasa memenuhi kitab-kitab hukum/fikih karangan mereka dengan seluruh pembahasan-pembahasan tadi. Dimulai dari bab Thaharah, sampai bab Peradilan, Jihad, atau Imamah (Ulil Amri).

Seluruh hukum yang telah ditetapkan Allah dalam Al Qur’an dan sunnah Rasul-Nya mengikat setiap muslim untuk menjalankannya. Maka ketika Allah mewajibkan kita berpuasa dengan perintah-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [٢:١٨٣]


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah : 183)

maka kita wajib menjalankannya. Mestinya sama juga kita wajib menjalankan ketika Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang ” (QS. Al Baqarah : 178).

Kedua ayat ini sama-sama menggunakan kata “kutiba” yang berarti diwajibkan. Mengapa kita menjalankan yang kewajiban berpuasa sedangkan kewajiban qishash tidak? Memang kewajiban qishash saat ini tidak dapat kita jalankan karena institusi pelaksananya yaitu negara tidak ada, namun ayat ini sama mengandung sebuah kewajiban sehingga mestinya institusi untuk menegakkan hukum ini menjadi wajib ada.

Allah telah memerintahkan kita untuk menjalankan Islam secara total atau yang kita sebut kaffah. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.” (Al Baqarah :208)

Imam Jalaluddin Al Mahalliy dan Imam Jalaluddin As Suyuthi dalam tafsir Jalalain juz 1 mengatakan makna kata kaafah adalah ke dalam seluruh syariatnya tanpa terkecuali. 

Hamka, dalam tafsir Al Azhar juz II memberikan penjelasan yang lebih detil :

“Maka dapatlah kita tafsirkan ayat ini bahwasanya kita kalau telah mengakui beriman, dan telah menerima Islam sebagai agama, hendaklah seluruh isi Al Qur’an dan tuntunan Nabi diakui dan diikuti. Semuanya diakui kebenarannya, dengan mutlak. Meskipun misalnya belum dikerjakan semuanya, sekali-kali jangan dibantah! Sekali-kali janganlah diakui ada satu peraturan lain yang lebih baik dari peraturan Islam…Hendaklah di negeri-negeri Islam, agar umatnya menjalankan peraturan-peraturan Islam.Jangan sampai peraturan-peraturan dan hukum yang berasal dari Islam ditinggalkan, lalu diganti dengan hukum barat…”

Bila ada pendapat bahwa totalitas dalam menjalankan ajaran Islam itu harus dilekatkan pada individu, dan bukan institusi, kita harus lihat dulu apakah memang benar, Islam dapat diterapkan secara kaafah tanpa ada institusi yang menerapkannya.

Pada saat Islam menetapkan hukum syara’ untuk individu, Islam juga menetapkan satu metode untuk menjamin hukum syara’ itu diterapkan. Ini disebabkan tingkat ketaqwaan individu berbeda-beda. Bila tidak ada kekuatan yang “memaksa”, maka individu dapat melanggar hukum dengan mudah. 

Sebagai contoh, ketika Islam melarang individu meminum khamr, maka larangan ini tidak dapat berlaku bagi semua orang jika negara tidak mengeluarkan kebijakan melarang peredaran khamr dan menerapkan sanksi hukum terhadap peminum khamr. Rasulullah saw bersabda :

“Barangsiapa meminum khamr, maka deralah.”

Diriwayatkan dari Imam Muslim bahwa Ali bin Abi Thalib berkata,”Nabi saw mendera peminum khamr 40 kali.”

Pada dasarnya, Islam tidak dapat dijalankan secara sempurna tanpa adanya peraturan yang menjamin pelaksanaan suatu hukum syara’. Shalat atau zakat misalnya. Sekalipun ini adalah kewajiban individu, namun mudah sekali bagi individu yang kurang ketakwaannya untuk meninggalkan kewajiban ini sebagaimana yang kita lihat sekarang. Bila ada negara, maka negara akan membuat aturan untuk membuat orang-orang yang tidak mengerjakan shalat atau zakat kembali menunaikannya, yaitu dengan dakwah dan sanksi hukum.

Tidak dapat dikatakan, daripada berusaha mendirikan negara lebih baik bila berdakwah agar masyarakat menjadi bertakwa dan mau menjalankan hukum syara’. Dakwah seperti ini memang wajib dikerjakan, namun tidak akan menuntaskan masalah. Ini terkait dengan sifat alami pada manusia, selalu ada yang baik dan yang buruk. Bahkan pada masa Nabi pun, ada orang-orang yang berbuat maksiat.

Peraturan tanpa sanksi hukum ibarat macan tanpa gigi. Sebagai rahmatan lil alamiin, Islam menghendaki sebanyak-banyaknya manusia kelak akan masuk surga. Islam tidak membatasi surga hanya bagi orang-orang tertentu, yaitu orang-orang yang selalu bertakwa dan tidak pernah melakukan kekhilafan. Itulah sebabnya Islam menerapkan peraturan sanksi untuk orang-orang yang melanggar hukum syara’. Aturan ini akan menjaga orang-orang yang sedang turun keimanannya untuk tidak sampai bermaksiat karena takut kepada peraturan yang ada. Karena itulah, umat Islam harus memiliki sebuah negara yang dapat menjamin terlaksananya semua hukum yang dituntut oleh Allah SWT untuk kita jalankan.

Juga, para ulama salaf sepakat mengenai wajibnya mengangkat dan mewujudkan pemerintahan dalam bentuk Khilafah Islam. Baik kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah maupun Syi’ah, Khawarij, bahkan Mu’tazilah. Semuanya berpendapat bahwa umat ini harus mempunyai seorang imam yang menerapkan syariat Islam. Sementara itu, hukum mengangkatnya adalah wajib. ( Imam asy-Syaukani, Nayl al-Authar, Jilid VIII, halaman 265)

Kenyataan dari sirah Rasulullah saw. telah menunjukkan bahwa ajaran Islam sama sekali tidak dibatasi pada pribadi-pribadi pemeluknya. Bahkan, beliau menjadikannya sebagai asas Negara. Hal ini tercantum dalam Piagam Madinah (watsiqah Madinah) yang dijadikan peraturan umum antara kaum muslim dan nonmuslim di kota Madinah:

“Bahwasanya apabila di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya adalah kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah saw. dan bahwasanya Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini.”

Sikap Kaum Muslim

Upaya mengembalikan akidah dan hukum syariat Islam sebagai konstitusi dan undang-undang dalam kehidupan masyarakat di dalam sebuah negara Islam adalah merupakan usaha mulia yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Lebih dari itu, merupakan kewajiban dari Allah Swt. bagi kita. Oleh karena itu, kini saatnya ujian iman bagi kaum muslim, turut memperjuangkan Islam demi kebahagiaan dunia-akhiratnya atau netral bahkan menentangnya. Allah Swt. mengingatkan kita:

﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوْا إِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ أُمِرُوْا أَنْ يَكْفُرُوْا بِهِ وَيُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَ لاً بَعِيدًا﴾

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (QS an-Nisaa’[4]: 60).

0 comments:

Post a Comment