Oleh: Muhamad Afif Sholahudin
Mengaitkan antara Hak atas Kekayaan Intelektual dengan fiqh muamalah mudahnya berangkat dari pengertian. HAKI merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada seseorang, sekelompok orang, maupun lembaga untuk memegang kuasa dalam menggunakan dan mendapatkan manfaat dari kekayaan intelektual yang dimiliki atau diciptakan. Menurut penulis, perlindungan seperti ini sepintas mengandung salah satu ciri khas budaya kapitalisme yang menjunjung tinggi hak-hak individu atas kepemilikan bersama.
Mengaitkan antara Hak atas Kekayaan Intelektual dengan fiqh muamalah mudahnya berangkat dari pengertian. HAKI merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada seseorang, sekelompok orang, maupun lembaga untuk memegang kuasa dalam menggunakan dan mendapatkan manfaat dari kekayaan intelektual yang dimiliki atau diciptakan. Menurut penulis, perlindungan seperti ini sepintas mengandung salah satu ciri khas budaya kapitalisme yang menjunjung tinggi hak-hak individu atas kepemilikan bersama.
Zaman dulu sesuatu yang tergolong biasa didapatkan namun saat ini
dipandang memiliki nilai ekonomis. Seperti sebuah gagasan, mereka biasanya
menggunakannya tanpa perlu memberi imbalan apapun kecuali doa dan dukungan atas
gagasan yang sudah dilahirkan. Bahkan seringkali banyak yang mengambil
keuntungan bukan dari sang penggagas namun mereka yang memanfaatkan gagasan
tersebut. Tentu manusia yang mengalami pergeseran dan perubahan pola pikir dan
pola sikap menuntut kemajuan atas kepentingan harta benda dan perniagaan.
Jika Hak Kekayaan Intelektual yang ada saat ini lebih luas
pengertiannya sebagaimana yang telah diatur dalam hukum positif, seperti: Hak
Cipta, Paten, Merek, Perlindungan Varietas Tanaman, Rahasia Dagang, Desain
Industri, dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Sedangkan Islam memandang
kekayaan intelektual berupa hasil gagasan dari pemikiran. Dalam khazanah
kontemporer dikenal dengan nama Haq al-Ibtikar. Secara bahasa berarti
kekhususan yang dimiiki untuk menciptakan, atau hak istimewa yang pertama kali
diciptakan. Fathi Ad-Dhuraini mendefinisikannya dengan gambaran pemikiran yang
dihasilkan seorang ilmuan atau terpelajar dan semisalnya melalui pemikiran dan
analisisnya, hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama dan belum ada
seorang ilmuan pun yang mengemukakan sebelumnya.[1]
Oleh karena itu, islam lebih menitikberatkan pada hak cipta karena
berkaitan dengan hasil gagasan baru, adapun masalah merek, paten, dsb maka
pembahasan ini belum diatur jelas dalam khazanah islam. Namun demikian, Islam
mengatur kepemilikan seseorang dari sesuatu yang dihasilkannya. Kepemilikan/hak
milik dalam Islam disebut “al-Milku” yang berarti sifat penggabungan kekayaan
oleh manusia lalu menjadikannya ekslusif bagi dirinya sendiri. Wahbah Az
Zuhaili mendefinisikan bahwa Milik adalah keistimewaan (astishash) terhadap
sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan
tasharruf secara langsung kecuali ada halangan syar’i.
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa nomor 1/MUNAS
VII/MUI/15/2005 tentang “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)”. Fatwa
ini keluar dilatarbelakangi maraknya pelanggaran HKI yang telah sampai pada
tingkat sangat meresahkan, merugikan, dan membahayakan banyak pihak terutama
pemegng hak, negara, dan masyarakat. Selain itu karena ada ajuan fatwa dari
Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), karenanya butuh adanya pedoman bagu
umat Islam di Indonesia terkait pengaturan tentang masalah ini.
Merujuk dari ketentuan hukum fatwa, bahwa Islam memandang HKI
sebagai salah satu huquq maliyyah (hak kekayaan) yang mendapat
perlindungan hukum (mashu) sebagaimana mal (kekayaan). HKI yang
mendapat perlindungan hukum Islam sebagaimana di maksud fatwa adalah HKI yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam. HKI dapat dijadikan obyek akad (al-ma’qud’alaih),
baik akad mu’awadhah (pertukaran, komersial), maupun akad tabarru’at
(nonkomersial), serta dapat diwakafkan dan diwariskan. Setiap bentuk
pelanggaran terhadap HKI, termasuk namun tidak terbatas pada menggunakan,
mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan,
menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak,
memalsu,membajak HKI milik orang lain secara tanpa hak merupakan kezaliman dan
hukumnya adalah haram.
MUI dalam menjelaskan HKI tidak berbeda jauh dari pengertian HKI
yang dimaksud dalam hukum positif. Yang dimaksud Kekayaan Intelektual adalah
kekayaan yang timbul dari hasil olah piker otak yang menghasilkan suatu produk
atau proses yang berguna untuk manusia dan diakui oleh Negara berdasarkan
peraturan perundangaundangan yang berlaku. Oleh karenanya, HKI adalah hak untuk
menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual dari yang
bersangkutan sehingga memberikan hak privat baginya untuk mendaftarkan, dan
memperoleh perlindungan atas karya intelektualnya. Sebagai bentuk penghargaan
atas karya kreativitas intelektualnya tersebut Negara memberikan Hak Eksklusif
kepada pendaftarannya dan/atau pemiliknya sebagai Pemegang Hak mempunyai hak
untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya atau tanpa hak,
memperdagangkan atau memakai hak tersebut dalam segala bentuk dan cara. Pengertian
dari jenis-jenis HKI yang dirujuk pun tidak lepas dari Undang-unndang yang
berlaku, seperti: Hak Perlindungan Varietas Tanaman (UU No 29 Tahun 2000), Hak
Rahasia Dagang (UU No 30 Tahun 2000), Hak Desain Industri (UU No 31 Tahun
2000), Hak Desain Tata Letak Terpadu (UU No 3 Tahun 2000), Paten (UU No 14
Tahun 2001), Hak atas Merek (UU No 15 Tahun 2001), Hak Cipta (UU No 19 Tahun
2002).
Namun, hal penting yang harus diperhatikan adalah penilaian islam
dalam setiap akad muamalah saat memenuhi syarat dari Hak Kekayaan Intelektual.
Sebab, ada beberapa kriteria yang diatur dibatasi dalam Islam namun dibebaskan
dalam hukum positif. Hal ini tidaklah dibatasi dalam undang-undang, begitupun
dalam fatwa MUI hanya menyebutkan “tidak bertentangan dengan aturan Islam”. Maka,
beberapa penjelas agar tidak bertentangan dengan aturan Islam misalnya:
a.
Tidak
mengandung unsur-unsur haram didalamnya seperti khamar, riba, judi, daging
babi, darah, dan bangkai.
b.
Tidak
menimbulkan kerusakan di masyarakat seperti pornografi, kekerasan, mengajak
umat untuk berbuat dosa merusak lingkungan dan lain sebagainya.
Tidak bertentangan dengan syariat Islam secara umum seperti
pembuatan berhala yang akan disembah manusia, gambar-gambar yang merusak akhlak,
buku-buku yang mengajarkan ajaran sesat, penyimpangan-penyimpangan manhaj,
mengajak kepada kesyirikan dan yang lainnya.
Selain dari segi materi (zat) karya cipta, maka tidak dilindunginya
sebuah karya cipta juga berhubungan cara mendapatkan karya cipta tersebut.
Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa Islam tidak melindungi kepemilikan harta
benda yang diperoleh dengan jalan yang haram dan melindungi hak milik yang
diperoleh dengan jalan yang halal. Berciri jenis-jenis yang dilindungi oleh
Islam, yaitu:
a.
Diambil
dari sumber yang tidak ada pemiliknya, misalnya barang tambang, menghidupkan
tanah mati, berburu, mencari kayu bakar.
b.
Diambil
dari pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal, misalnya harta
rampasan, dan pengambilan zakat.
c.
Diambil
secara sah dari pemiliknya dan diganti misalnya dalam jual beli dan berbagai
bentuk perjanjian,
d.
Diambil
secara sah dari pemiliknya dan tidak ada iwadh misalnya hadiah.
e.
Diambil
tanpa diminta, misalnya harta warisan.
Jenis-jenis harta tersebut dikaitkan dengan hak cipta maka setiap
karya cipta yang diperoleh dengan cara yang haram maka ia menjadi haram untuk
digunakan. Sebagaimana harta yang diperoleh dengan cara yang haram.
Implikasinya bahwa karya cipta yang diperoleh dengan cara yang haram maka tidak
dilindungi sebagai hak dalam Islam.[2]
Jika dikaitkan dengan sumber hukum Islam, maka didapatkan bahwa
kekayaan hasil pemikiran seseorang lebih baik disebarluaskan karena seorang
muslim dituntut berfikir dan didorong dari hasil pemikirannya untuk didakwahkan
dan disebarluaskan sebagai kemajuan pemikiran Islam. Bahkan hal ini yang
dijadikan peletak dasar majunya keilmuan Islam di Masa Abbasiyah.
Memang pada awalnya iklim orang Indonesia menawarkan sesuatu yang
berbeda dari iklim barat. Para penemu atau pencipta di Indonesia sangat
berbesar hati apabila ciptaannya diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain.
Para pelukis, pemahat, dan pematung di Bali sangat gembira apabila karya
ciptanya ditiru orang lain.[3] Terlepas
dari itu semua kiranya Indonesia sudah saatnya mencermati kembali segi-segi
yang berkaitan dengan perlindungan HKI ini dalam sebuah sistem.[4]
HKI dalam Islam dibatasi dengan syariat Islam. Seperti tidak boleh
mengajukan perlindungan gagasan baru yang berkaitan dengan khamr, karena khamr
hukumnya haram, kecuali gagasan yang mendukung keharaman khamr. Atau produk
teknologi yang berfungsi merusak lingkungan atau mengandung unsur pornografi.
Islam punya batasan yang khusus tentang merusak lingkungan dan pornografi,
meskipun batasan ini berbeda dengan batasan yang diatur dalam hukum positif.
Sebelum lahirnya pengakuan dan perlindungan hak atas kekayaan
intelektual dalam hukum nasional kita, sebenarnya Islam telah lebih dahulu
mengakui adanya kekayaan intelektual setiap manusia. Yûsuf
al-Qaradhâwî menyatakan, tidak ada agama selain Islam dan tidak ada kitab
selain Alquran yang demikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong
untuk mencarinya dan memuji orang-orang
yang menguasainya.[5] Suatu petunjuk
yang sangat agung
dari Alquran dalam hal ini adalah
bahwa ia memberi penghargaan pada Ulu al-Albâb, kaum cendekiawan dan kaum
intelektual, sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:
Hai orang-orang beriman apabila kamu
dikatakan kepadamu, "Berlapanglapanglah
dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. dan
apabila dikatakan, "Berdirilah kamu",
maka berdirilah, niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (Q.s. al-Mujâdalah [58]: 11)
Penghargaan terhadap ilmu
pengetahuan ini diperkuat juga oleh Hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi:
Apabila anak Adam
meninggal dunia, maka
terputuslah seluruh amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak salih yang mendoakannya. (HR. Abû Dâwûd)
Hadis tersebut memberikan pengertian bahwa hasil karya itu adalah
hasil usaha manusia dan merupakan sumber manfaat baik bagi dirinya maupun
bagiorang lain. Dengan
memanfaatkan hasil kreativitas orang yang
berilmu berartimelanjutkan amal
salihnya yang tidak akan
mungkin hilang bersama dengan kematiannya. Pemahaman
terhadap intellectual property
ini pada dasarnya merupakan pemahaman terhadap hak
atas kekayaan yang timbul atau lahir dari hasil
kerja intelektualitas manusia. Banyak karya
yang dihasilkan dari
intelektualitas manusia, baik melalui daya cipta, rasa, maupun karsanya. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan dengan serius, sebab karya manusia ini telah
dihasilkan dengan suatu pengorbanan tenaga, pikiran, waktu, dan biaya
yang dikeluarkan tidak sedikit.[6]
Hasil dari sesuatu yang penuh dengan pengorbanan yang demikian
sudah tentu menjadikan sebuah
karya yang dihasilkannya
memiliki nilai yang
patut dihargai. Ditambah
lagi dengan adanya manfaat yang dapat dinikmati, dan dari sudut ekonomi
karya-karya tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Jadi, Hak atas Kekayaan Intelektual dapat termasuk kekayaan atau
harta dalam ekonomi Islam, terutama ditarik dari sisi ciri-ciri dan cara
perolehannya. Islam mendorong hasil intelektual untuk kemajuan ilmu
pengetahuan, namun kepentingan ekonomis akan tergantung dari tujuan penggunaan
kekayaan tersebut. Dalam kehidupan era modern saat ini, hak individu dijaga
sehingga menuntut hasil karya intelektual pun akan dijaga. Hal ini tidak
bertentangan dengan Islam, asalkan tidak keluar dari koridor hukum syara’.
[1] Hak
Kekayaan Intelektual dalam hukum Islam, http://saifudiendjsh.blogspot.co.id/2013/10/hak-kekayaan-intelektual-dalam-hukum.html,
diakses 14 Mei 2017
[2] Hak
Kekayaan Intelektual dalam Islam, http://jubahhukum.blogspot.co.id/2017/04/hak-kekayaan-intelektual-dalam-hukum.html,
diakses pada 15/5/17
[3] Saidin, Aspek
Hukum Hak Kekayaan Intelekual, hlm. 22
[4] M
Musyafa’, “Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Ekonomi Islam”, Jurnal
Al-Iqtishad, 5:1, (Jayapura, September 2012), 44
[5] Yusuf
Qaradhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,
diterjemahkan oleh Abdul Hayyi Al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Inssani Press,
1998), h. 90.
[6] Ibid,
Hlm 46
0 comments:
Post a Comment