Pernahkah seorang ayah mengeluh kerja banting tulang padahal pendapatannya nanti tidak bisa masuk perut sedikitpun karena dihabiskan untuk istrinya yang sedang kritis di rumah sakit. Pernahkan seorang ibu meminta bayaran kepada anaknya karena telah memberikan ratusan liter susu secara cuma-cuma saat bayinya masih dipangkuannya. Pernahkah melihat banyak relawan yang terjun ke medan bencana untuk menolong korban meskipun mereka harus merelakan sisa-sisa tenaga dan harta yang mereka miliki saat itu. Semua bergerak karena rasa cinta tuk rela berkorban. Itulah mengapa Allah swt ciptakan hati agar manusia mengerti arti pengorbanan akan diberikan untuk sesuatu yang dicintainya.
Lalu pantaskah seorang muslim mendudukkan pengorbanan kepada manusia diatas pengorbanan kepada tuhan-Nya. Sadarkah dibalik rasa kita mencintai seseorang ada dzat yang memberikan jalan kita menemukan cintanya. Nikmat tak harus diberikan dengan hasil memuaskan, ada kalanya kita diselamatkan dari proses terberat adalah nikmat yang sangat dibutuhkan. Gaji seorang ayah tidak akan diterima meskipun sudah banyak berkorban badan jika bukan karena jalan yang diberikan Allah swt. Susu yang diberikan seorang ibu tidak akan bisa diberikan meskipun sudah rela berkorban jika bukan karena kehendak-Nya. Maka pengorbanan yang terbaik harusnya diberikan kepada Allah swt, sebab Dia lah yang memberikan rasa cinta dan benci di hati manusia agar kita berani menjadi relawan.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang." (QS Maryam : 96)
"Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al Mumthahanah: 7)
Tugas kita selaku manusia di dunia adalah beribadah (QS. Adz Dzariyat: 56), sebab tidak lain tujuan ibadah adalah untuk mendapatkan ridha-Nya. Ibadah adalah sebuah aktivitas pengabdian, tak ada yang mudah dalam pengabdian karena pengabdian butuh pengorbanan. Pengorbanan itu merelakan kepentingan pribadi untuk kepentingan sesuatu yang dicintainya. Seandainya dakwah menjadi suatu kecintaan maka segala kepentingan yang lain akan dikesampingkan, meskipun itu berat tetap akan dilakukan.
Dakwah adalah sebuah kewajiban, bagian dari ibadah, menjalankannya harus dengan rasa keimanan dan penuh kesabaran. Rugi bukanlah suatu ukuran dalam menjadi relawan, karena yang menggerakkan adalah hati, bukan materi. Maka dakwah butuh relawan, yakni mereka yang digerakkan oleh hati dan dikuatkan dengan iman sejati, bukan standar materi lalu hasilnya malah membuat dia merugi. Bentuklah diri kita sebagai makhluk yang sudah ditakdirkan untuk beribadah, layaknya barang dagangan yang harus diserahkan kepada pembeli karena sudah dibelinya. Bukankah Allah swt telah berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.(Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kalian lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 111)
Banyak diantara manusia menggunakan kacamata dunia untuk menilai untung-rugi, padahal seorang muslim taat seharusnya menggunakan kacamata akhirat untuk menilai sesuatu. Seandainya bisnis hanya orientasi untung-rugi, hasilnya hanya berupa materi yang tidak akan kekal dibawanya hidup. Namun jika diubah orientasinya menjadi surga-neraka, hasilnya akan abadi hingga kehidupan kita yang kedua nanti. Semua berawal dari kacamata manusia, dunia atau akhirat. Seandainya dakwah dijalankan dengan kacamata dunia, rugi materi hingga tenaga yang mereka dapatkan. Berbeda dengan kacamata akhirat, uang dihabiskan waktu diluangkan hingga badan dikorbankan pun takkan ada rugi yang dirasakan.
Ingat, dakwah butuh kekuatan dan keikhlasan. Istiqomah adalah kunci keberhasilan dakwah, adapun terbukanya pintu hati seseorang sehingga mampu mendapatkan hidayah bukanlah karena kita namun atas kehendak-Nya. Kita hanya dapat menyampaikan, sendiri maupun berjama'ah. Dakwah menyampaikan kebenaran, menjalankannya akan terasa kenikmatan yang berbeda. Bukan kenikmatan pujian atau harta, justru kenikmatan cacian dan makian yang datang menghampiri. Sebab, jalan kebenaran adalah berat, penuh dengan onak dan duri. Manisnya tiada yang dapat mengetahuinya kecuali yang merasakannya.
Dakwah Islam memiliki tujuan yang mulia yakni menegakkan Islam. Inilah thoriqoh mabda Islam selain menerapkan dan menjaga penerapannya. Tegaknya Islam adalah sebuah keniscayaan, memperjuangkannya sebuah keharusan. Bukan sembarang pengorbanan tapi harus dilandasi kesungguhan dan ketaatan. Teringat yang dituliskan Dr. Najih Ibrahim, dalam kitabnya Risalah ila kulli man ya'malu lil Islam, bahwa "Ketahuilah, agama ini hanya tegak di atas pundak orang-orang yang memiliki azam yang kuat. Ia tidak akan tegak di atas pundak orang-orang yang lemah dan hanya suka berhura-hura. Tak akan pernah!"
Maka bagi pengemban dakwah, pengorbanan adalah hal biasa. Dunia lahan mereka berdakwah, akhirat saat mereka tuk istirahat. Ujian dan cobaan adalah keseharian, nikmatnya tak dapat digantikan. Ada tingkatan iman yang tidak bisa dicapai oleh seorang hamba dengan amalnya. Ia hanya akan mencapainya dengan ujian dan cobaan. Allah swt berkehendak untuk meningkatkan imannya maka Allah pun menetapkan ujian dan menolongnya untuk bersabar dan teguh menghadapinya. Jadi, ini merupakan rahmat dari-Nya bagi sang hamba.
Jalan dakwah ini yang membuat Keluarga Yasir disiksa namun Rasul janjikan surga baginya. Jalan ini yang membuat tubuh Anas bin Nadhar tercincang di perang Uhud dalam keadaan berseri-seri sampai mendapatkan kemuliaan, "Seandainya ia bersumpah dan memohon sesuatu kepada Allah, niscaya Allah mengabulkannya". Jika bukan karena dorongan iman yang kuat, niscaya Mundzir bin Umair tidak akan dikenal sebagai Al-Mu'niq lil Maut, karena dia pertama kali terbunuh sebagai syahid dalam peristiwa Bi'ru Ma'unah. Jika bukan karena kesabaran atas siksa yang dirasakan Bilal bin Rabah dari tangan Umayyah bin Khalaf dan algojo-algojonya, niscaya ia tidak mendapat gelar, "Bilal penghulu kita".
Mereka memberanikan diri menyatakan dirinya Muslim agar hidayah mampu terpancar dari keberaniannya. Bagi mereka tak ada yang lebih baik selain menjadi bagian umat terbaik, menyeru kebaikan dan Amar Ma'ruf nahi munkar. Bukankah perkataan terbaik adalah perkataan seruan kepada Allah swt, sebagaimana dalam firman-Nya:
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim." (QS. Al Fushilat: 33)
Mereka para penyeru kebenaran akan terus bersaing dengan para penyeru kebatilan. Diamnya para penyeru kebaikan akan memberikan jalan bagi para para penyeru kebathilan, itulah pentingnya mempertahankan volunteer dakwah agar tetap diisi oleh orang-orang yang yakin dengan janji-Nya. Yang haq akan tetap hidup, yang bathil akan musnah, itulah janji Allah swt (QS. Al Isra: 81).
Prof. Dr. M Rawwas Qol'ahji dalam kitabnya Qira'ah Siyasiyah li Sirah Nabawiyah mengatakan, "...Setiap kali para penyeru kebatilan itu telah kehabisan hujjah dan argumentasi, serta bumi terasa hancur di hadapan mereka, sehingga mereka tidak lagi mampu berpikir logis dan membuat argumentasi yang memuaskan, maka mereka akan beralih kepada penggunaan kekerasan dan teror untuk membungkam mulut para penyeru kebenaran. Mereka menyangka bahwa dengan menyebarkan debu hitam kelam mereka akan mampu memadamkan cahaya kebenaran. Mereka tidak tahu bahwa hal itu justru menambah panas cahaya kebenaran, dan sinarnya akan menerangi hati semua orang."
Berat atau ringan beban dakwah tergantung seberapa besar ketangguhan kita menghadapinya, namun sadari beban itu hanyalah sesaat. Mungkin akan selesai hanya sampai kita mati, kalau kita mati besok mungkin dakwah kita hanya sampai besok. Jangan sampai tak terasa singkatnya nikmat di dunia membuat lamanya siksaan kita di akhirat, padahal hal itu bisa dicegah jika kita mulai melangkah dari sekarang.
Betapa sedikitnya orang-orang yang yakin dengan jalan dakwah ini dibandingkan orang-orang yang enggan. Janganlah kita yakin diri kita akan selamat karena dakwah kita padahal belum seberapa daripada dakwah para nabi terdahulu. Janganlah kita aggap diri kita layak istirahat disaat Nabi Nuh berdakwah selama 500 tahun. Janganlah kita anggap dakwah kita cukup berat disaat Nabi Ibrahim dipaksa untuk dibakar hidup-hidup, Nabi Yunus dipaksa dilemparkan dari kapal, dan Nabi Muhammad saw. diusir bahkan diancam dibunuh karena mendakwahkan Islam di depan Ka'bah yang isinya 360 berhala. Maka, cukuplah kita terus menerus berdakwah hingga Allah memenangkan jalan dakwah ini atau kita mati karena memperjuangkannya.
"Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf: 108)
Bandung, 14 Rajab 1439 H / 31 Maret 2018
Muhamad Afif Sholahudin
0 comments:
Post a Comment