Isu LGBT di Indonesia mulai memanas setelah adanya permohonan Judicial Review terhadap tiga pasal KUHP tentang Zina dan LGBT yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Diantara pemohon agenda sidang Nomor 46/PUU-XIV/2016 berasal dari Aliansi Cinta Keluarga (AILA), para akademisi, dkk yang menginginkan revisi Pasal 284 tentang perzinahan, Pasal 285 tentang perkosaan, dan Pasal 292 tentang pencabulan anak. Selama persidangan justru menuai perbedaan pendapat atau dissenting opinion, sebab Ketua MK Arief Hidayat menyatakan bahwa pasal-pasal KUHP yang dimohonkan untuk diujimaterilkan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Adapun yang dimohonkan uji materi terhadap isi KUHP berupa pembuatan ketentuan perundang-undangan yang baru. Seperti dalam Pasal 284 tentang perzinahan, awalnya hanya terbatas dalam kaitan pernikahan maka diperluas dengan tanpa melalui ikatan pernikahan. Pasal 285 tentang perkosaan, awalnya terbatas laki-laki kepada perempuan diperluas menjadi bisa dialami oleh wanita dan laki-laki. Adapun Pasal 292 tentang pencabulan sesama jenis kepada anak, awalnya dibatasi hanya dilakukan oleh yang cukup umur kepada sesama kelamin yang belum cukup umur diubah agar tidak dibatasi umur sehingga bisa mencegah pencabulan yang dilakukan oleh siapapun.
Langkah memperjuangkan aturan tegas bagi pasal zina dan LGBT dalam hukum positif Indonesia rupanya belum surut sampai di situ. Alasan lima hakim menolak permohonan akhirnya dijelaskan oleh juru bicara resmi MK, Fajar Laksono, bahwa substansi permohonan dimaksud sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru yang mengubah secara mendasar baik subjek yang dapat dipidana, perbuatan yang dapat dipidana, sifat melawan hukum perbuatan tersebut, maupun sanksi/ancaman pidananya (kompas.com, 18/12/2017). Sedangkan wewenang untuk membuat delik atau tindakan pidana baru diserahkan kepada DPR, sebagaimana dijelaskan UUD 1945 Pasal 20 ayat (1) dan (2) yang menyatakan kekuasan pembentukan undang-undang ada pada DPR dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Oleh karena itu, menurut penulis ada beberapa alasan mengapa sejak awal mereka salah alamat:
- MK berfungsi melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dengan UUD 1945 apakah sejalan atau tidak (inkonstitusional). Jadi MK tidak memiliki kewenangan membuat norma baru sebab kewenangan itu hanya dimiliki oleh DPR dan Pemerintah sebagai Positive Legislator.
- Mengenai kriminalisasi dan dekriminalisasi perbuatan tidak dapat dilakukan oleh MK, hal tersebut termasuk salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang yang dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
- Salah satu argument pemohon bahwa pasal-pasal yang diuji sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga harus dirubah. Padahal tidak sesuai dengan perkembangan zaman bukan berarti bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, lebih tepat sejak awal jika hal ini diajukan kepada DPR.
Jadi memang begitulah hidup dalam sistem hukum demokrasi, akan semakin berbelit karena urusan hukum diserahkan kepada logika akal manusia. Meskipun begitu, penulis mengira mungkin ada beberapa tuntutan yang memang mendorong mereka melakukan hal ini. Dari kacamata hukum positif, mungkin mereka memandang karena:
- MK berkedudukan setara dengan UU sehingga dikira kekuatan hukumnya sama, padahal MK hanya menilai saja, itupun keputusannya hanya sebatas mencabut atau membatalkan sehingga hasilnya tidak mempunyai kekuatan hukum; atau
- MK pernah berkali-kali menyatakan norma UU Konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau sebaliknya. Namun ada pengecualian bagi MK tidak boleh masuk wilayah kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy) karena hukum pidana berbeda dengan hukum lainnya.
Bandung, 14 Februari 2018
Muhamad Afif Sholahudin
0 comments:
Post a Comment