Thursday 26 March 2020

Serba Dilema Hadapi Corona, ‘Drama’ atau Realita?


Sampai saat ini pemerintah belum berani menyatakan lockdown, apa sebabnya? Banyak analisis yang mengungkapkan fakta dan data yang akan terjadi jika memaksakan lockdown. Satu sisi informasi dari pemerintah pusat yang terbatas tidak sebanding dengan derasnya informasi publik daerah-daerah rawan virus menyebar. Kekhawatiran tidak dapat terbendung karena belajar dari beberapa negara tetangga yang berhasil dan gagal dalam menangani wabah ini.


Sikap yang baru diambil oleh pemerintah barulah menerapkan social distancing, yakni pengurangan jumlah aktivitas di luar rumah dan interaksi dengan orang lain. Namun keterbatasan informasi yang sengaja dikurangi oleh pemerintah ditakutkan menimbulkan respon yang macam-macam sepertinya tidak efektif, karena fakta dilapangan masyarakat mempertanyakan keraguan pemerintah memberlakukan lockdown.


Media memberitakan fakta dilapangan, jumlah pasien positif corona bertambah setiap harinya. Tercatat Sabtu, 21 Maret kemarin berjumlah 450 orang dinyatakan positif dan 38 pasiennya meninggal. Kehebohan muncul karena beberapa daerah yang dipandang aman kini mulai menunjukkan angkanya. Wajar jika masyarakat melalui banyak media menyuarakan lockdown hingga beberapa kali menjadi trending topic di twitter. Keraguan pemerintah pun hingga berbuntut kepada kritik kementrian yang dianggap layak untuk dicopot jabatannya.


Masyarakat menunggu langkah kongkrit dan tanggap dalam menangani masalah ini. Data lokasi penyebaran yang ditutupi saja dianggap melanggar Pasal 154 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Saat daerah hendak mengambil kewenangannya dalam penanganan wabah sebagaimana UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, ditanggapi pemerintah pusat dengan pemusatan penanganan di pemerintah pusat. Sikap ini membuat masyarakat bingung dan tak terkendali, cukup sudah “drama politik” ini dimainkan di hadapan rakyat.


Pemerintah sampai saat ini masih harus menutup diri dari keputusan lockdown, sampai kapan? Padahal negara tetangga seperti Malaysia saja yang belum ada korban meninggal memilih opsi lockdown lebih cepat. Apa mungkin pemerintah mempertimbangkan hal lain seputar ekonomi, sebab kekacauan sektor ini sudah terlihat nyata. Mulai dari bursa efek yang semakin anjlok, hingga menurunnya nilai rupiah mencapai Rp. 15 ribu lebih per dolar.


Prediksi Rizal Ramli, tanpa corona pun ekonomi Indonesia tahun 2020 bakal anjlok ke angka 4 persen. Alasannya karena mabuk hutang dan salah urus kebijakan. Ditambah gagal bayar, ibarat pemain tinju yang sudah babak belur masih tetap mau ikut pertandingan.


Saran beliau, stop proyek infrastruktur besar. Hal ini khawatir menjadi beban pengembangan sektor lain yang saat ini sangat dibutuhkan. Infrastruktur yang selalu dibiayai dengan pinjaman yang besar, padahal pemberlakuannya bermasalah, bahkan tingkat pemakaiannya rendah. Maka bisa diberlakukan realocate seperti: sektor kesehatan, makanan, dan daya beli untuk miskin.


Rasa dilema itupun tidak hanya dihadapi oleh pemerintah, namun masyarakat juga merasakan hal yang sama. Saat beberapa pimpinan daerah mengeluarkan himbauan aturan memberhentikan sementara aktivitas di berbagai sektor, ada beberapa sektor lain yang tidak melakukan pemberlakuan tersebut. Masih diuntungkan jika perusahaan yang bergerak dalam pelayanan masyarakat masih berjalan dengan prosedur kehati-hatian, namun bagaimana dengan masyarakat kecil yang berharap sesuap nasi dari kebiasaan berjualan di keramaian?


Misalkan para ojek online yang orderannya pasti berkurang karena mobilitas pekerja di hari efektif semakin menurun. Bagaimana dengan pedagang-pedagang kaki lima, penjual koran yang biasa menyebar di lampu merah, atau penjual mainan di sebelah sekolah. Dalam ekonomi saja dampaknya mungkin meluas, belum lagi dampak sektor lainnya.


Mari kita buat gambaran seandainya lockdown benar-benar dinyatakan oleh presiden. Wilayah yang termasuk karantina akan dijaga oleh petugas kesehatan dan kepolisian, dibatasi agar tidak ada masyarakat yang keluar masuk. Yang sakit akan diisolasi di tempat yang lebih besar khawatir rumah sakit tidak cukup menampungnya, lalu siapa yang harus menanggung segala kebutuhan masyarakat yang dikarantina?


Diatur dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Pasal 5 ayat 1 bahwa karantina wilayah diselenggarakan oleh pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah. Pada poin keempat terkait kebutuhan dasar masyarakat yang ditanggung oleh pemerintah pusat, hal ini tentu akan memberatkan pemerintah. Apa benar ini faktor berat yang dipertimbangkan oleh pemerintah?


Jika DKI Jakarta sudah memperkirakan situasi terburuk kebijakan lockdown, begitupun Jawa Barat melalui gubernurnya sudah melakukan simulasi terkait kondisi nanti. Keputusan ada di pemerintah pusat. Mungkin mulai saat ini masyarakat diajak berfikir, seandainya pemerintah memberlakukan lockdown maka perekonomian akan terancam, dan jika tidak memberlakukan lockdown maka jutaan nyawa manusia akan menjadi taruhan.


Segera Lockdown Sebelum Shutdown!


Jika faktor kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi adalah pertimbangan berat, maka pernyataan Menteri Perdagangan kemarin seharusnya bisa membuat keputusan itu bulat. Kementrian Perdagangan, Agus Suparmanto, sudah memastikan stok komoditas pangan akan aman selama beberapa bulan kedepan, di tengah meluasnya penyebaran virus corona. (ekonomi.bisnis.com 13/3/2020)


Belajar dari China yang memberlakukan lockdown dengan segera, hasilnya sampai pada ujung perjuangan, hari pertama tanpa penambahan kasus. Serius dalam mengambil keputusan, dan matang dalam mempersiapkan berbagai keadaan. Sebab Korea Selatan tanpa memberlakukan lockdown dapat tertangani karena belajar dari kasus epidemi sebelumnya. Apakah kita tidak belajar dari Italia? Yakinlah, perang melawan corona dapat menjadi perang yang lebih berbahaya dari pedang dagang manapun.


Sudah saatnya Indonesia serius dalam memilih kebijakan yang seharusnya dipriorotaskan saat kondisi genting seperti ini. Harus segera ada keputusan tegas agar tidak terlalu lama berada di posisi ‘lampu kuning’. Jika ingin diberlakukan lockdown maka seharusnya jauh hari difikirkan, bukan malah santai, ketika diperingatkan oleh “Harvard” direspon oleh Menkes dengan tanggapan penghinaan. Patutkah sikap seperti itu saat sekarang waktunya untuk menyesal?


Wabah ini adalah ujian berat bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia, maka seriuslah dalam mengatasinya. Tinggalkan kepentingan politik manapun, hapus semua kebencian koalisi, bersama lawan corona! Hoax banyak tersebar, sayangnya malah dimanfaatkan untuk melawan musuh politik.


Ketegasan pemerintah mampu menghapus ‘drama’ masyarakat netizen yang liar. Siapa yang memancing itu? Jangan sampai justru yang memulai adalah dari lingkungan pemerintah itu sendiri. Akhirnya sekalipun lockdown diberlakukan, kepercayaan itu sudah hilang, keos yang akan muncul kedepan.


Wajar jika masyarakat menganggap itu ‘drama’ politik pemerintah kala dituntut serius menangani kasus ini. Patutkah situasi ‘dilema’ saat ini masih terfikirkan peluncuran kartu Pra-kerja yang nilainya sekitar 10T? Demi kesehatan bisakah pemerintah mulai tegas menyetop ekspor masker besar-besaran ke China? Masihkah dana besar digelontorkan demi proyek ibu kota baru, sedangkan nyawa warganya dipertaruhkan karena kekurangan alokasi dana yang dibutuhkan?


Saat wabah menyerang bukan langkah protektif yang ditegaskan, tapi malah insentif sektor pariwisata yang digalakkan. Saat sudah semakin parah, pemerintah sibuk menyiapkan anggaran untuk influencer padahal bisa dimaksimalkan untuk tenaga medis dan alat yang memadainya.


Bukankah malu saat video tenaga medis kita viral di dunia karena mereka memakai APD saja seadanya dengan jas hujan. Berikan ketegasan yang bisa meyakinkan, agar masyarakat yang masih menganggap ini ‘biasa’ tidak memperburuk suasana. Edukasi masyarakat, jangan sampai mereka tidak peduli seolah ada dan tidaknya virus corona tidak berdampak pada kehidupan mereka.


Sadarlah. Para pahlawan bangsa yang mempertaruhkan nyawanya di rumah sakit adalah bukti keseriusan perlawanan kita, maka jangan sia-siakan pengorbanan mereka. Di DKI Jakarta saja terhitung 25 tenaga medis positif corona, dan satu meninggal karenanya. (detik.com, 20/3) Mungkin angka ini akan terus bertambah kedepannya.


Kerahkan semua yang bisa digerakkan, jangan cuma kepedulian rakyat terlihat saat musim pemilu saja. Sewaktu pileg hampir tiap partai sanggup membagikan kaos gratis, beda tanggap saat ini bahkan tidak ada satupun partai yang sanggup membagikan satu masker ke tiap warganya. Wardah, yang bukan parpol, sanggup menyumbangkan 40 Miliar untuk kebutuhan medis menangani corona. Pemerintah seharusnya mampu mendorong para pemodal untuk turun tangan membantu penanganan.


Berikan kemudahan bagi mereka yang hendak menyembuhkan, karena masyarakat dihantui dengan biaya pemeriksaan yang tinggi, hingga perawatan yang masyarakat miskin tak sanggup mengganti biayanya. Buat opsi yang masuk akal, jangan sampai ada daerah yang kurang tempat untuk menampung pasien. Tidak ada yang bisa menjamin terinfeksi sampai harus melakukan penanganan self isolation karena tidak ada biaya untuk mendapatkan perlakuan yang seharusnya.


Menarik hasil prediksi penyebaran Covid-19 oleh tim peneliti ITB bahwa di Indonesia virus pandemi ini akan berakhir pada pertengahan April 2020. Hal ini dilakukan berdasarkan hasil simulasi dan permodelan sederhana Pusat Permodelan Matematika dan Simulasi (P2MS) ITB dengan pendekatan model matematika. (republika.co.id)


Ramadhan sebentar lagi, tentu segala hal yang memperburuk keadaan tidak kita harapkan. Berikan insentif lebih untuk para dokter, maksimalkan kepemilikan peralatan medis bagaimanapun caranya. Segera perluas akses diagnostic, lakuakn serius tes massal, karena ada banyak yang dinyatakan positif corona tanpa gejala atau disebut asimptomatik.


Siapapun dapat mengira kalau penanganan pemerintah berupa ‘drama’ atau realita, yang terpenting semua elemen mampu berperan menjadi pahlawan. Berdiam diri saja di rumah mampu menyelamatkan nyawa, sisanya percayakan pada mereka yang berkewajiban menangani situasi seperti ini.


Muhamad Afif Sholahudin, S.H
Supervisor of ILPAF (Islamic Law Policy Analysis Forum)

Sumber: https://www.kompasiana.com/afif114/5e7b341a097f367548582a82/serba-dilema-hadapi-corona-drama-atau-realita


0 comments:

Post a Comment