Monday 1 January 2018

Diskursus Pengelolaan Wakaf dalam Pengembangan Ekonomi Umat



Wakaf sebagai salah satu instrumen pemberdayaan masyarakat terkait pemerataan distribusi kekayaan dalam ekonomi Islam. Kemanfaatannya tak hanya berlaku bagi waqif (orang yang berwakaf) dalam pemenuhan aspek ibadah semata, tapi efek social-morality yang tumbuh dari praktek wakaf pun dapat orang lain rasakan. Sistem pemberdayaan ini mungkin hanya ada dalam Islam, meskipun non muslim mungkin bisa saja memiliki konsep kedermawanan (philanthrophy) tetapi ia cenderung 'seperti' hibah atau infaq yang jelas berbeda dengan wakaf.

Potensi pemberdayaan ini mengalami perkembangan seiring tahapan modernisasi ekonomi yang terjadi belakangan ini. Lahirnya Undang-undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menunjukkan dorongan pemerintah mendukung pengembangan wakaf di Indonesia.

Sikap itu terlihat dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004. Berjalannya pengelolaan wakaf di Indonesia mengalami perkembangan dari teori hingga praktiknya. Oleh karena itu, diskursus wakaf hingga saat ini masih terbuka dan perlu perbaikan sebagai evaluasi pelaksanaan wakaf kedepannya yang lebih baik lagi.

Ada satu poin penting yang menjadi diskursus pengembangan wakaf di Indonesia, yakni pengelolaan wakaf tunai (cash waqf) sebagai salah satu metode dalam pelaksanaan wakaf. Sebagian masih memperdebatkan dasar hukum kebolehannya, karena dilihat dari hukum asalnya wakaf dilaksanakan dengan menahan harta yang sifatnya kekal (tidak boleh berkurang) untuk kemanfaatan umat.

Sedangkan sebagian lain yang membolehkan dengan bermuara kepada al-mashalih al-mursalah (kemaslahatan universal) sebagai langkah distribusi pendapatan dan kekayaan. Kebolehan ini yang diakomodir oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya yang membolehkan praktik wakaf tunai karena sejalan dengan prinsip maqashid asy-syariah dan beberapa pendapat ulama mu'tabar.
Namun penulis disini tidak akan detail membahas hal itu, karena pembahasan ini mengenai diskursus pengelolaan wakaf, bukan diskursus pengertian wakaf. Di Indonesia sendiri, berdasarkan amanat UU Wakaf dibentuklah Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga yang bertujuan memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. Meskipun secara yuridis bersifat independen, namun sumber alokasi pembiayaannya masih dibawah alokasi kementrian agama di Indonesia. Kita akan lihat beberapa aspek penting tentang pengelolaan wakaf, diantaranya: potensi wakaf di Indonesia, strategi pengoptimalan wakaf, dan tantangan kemanfaatan wakaf.

Berdasarkan data dari Kementrian Agama bidang pemberdayaan wakaf, hingga 18 Maret 2016, potensi tanah wakaf di Indonesia sebesar 3,7 miliar m2 dengan potensi ekonomi sebesar Rp. 370 trilyun. Selain itu, berdasarkan identifikasi Bank Indonesia tahun 2016, luas tanah wakaf di Indonesia adalah 4.359.443.170 m2 terdiri dari 435.768 lokasi dengan rincian 287.160 lokasi bersertifikat dan 148.608 lokasi belum bersertifikat. Potensi wakaf ini baru digali dari jenis wakaf tanah, sedangkan jenis wakaf lainnya masih tersedia dengan potensi yang hampir sama besarnya.

Dalam pengelolaan potensi yang besar, butuh semacam pengoptimalisasian langkah dalam menopang pemberdayaan wakaf bagi masyarakat. Langkah itu berupa:

Pertama, optimalisasi sosialisasi dan edukasi wakaf. Tak hanya sekedar mendakwahkan ibadah wakaf, juga konsep, hikmah dan manfaat wakaf dalam menopang kesehatan perekonomian bangsa. Biarpun masyarakat menilai nadzir yang diinginkan, namun tetap pencarian potensi yang belum tergali dan dimanfaatkan secara optimal harus disampaikan.

Pengelolaan wakaf secara tradisional masih menjadi pilihan mudah yang dilirik beberapa kalangan, beberapa hasil diantaranya dikelola oleh nadzir individual yang direkrut bukan berdasarkan keahlian manajerial dan profesionalisme sehingga tata kelola yang buruk dan kurang produktif bisa berakibat berubahnya tujuan wakaf hingga aset tidak terjaga atau hilang. Kemungkinan ini bisa saja terjadi jika tidak adanya bimbingan oleh pengelola wakaf yang bertanggungjawab atau kurangnya kontrol dari waqif dalam mengamati aset wakafnya.

Apalagi paradigma masyarakat yang terbatas menganggap wakaf hanya dalam bentuk tanah saja dan dipergunakan untuk kepentingan keagamaan berupa masjid saja. Padahal pengelolaan aset wakaf dapat berupa entitas hukum yang mampu memproduksi barang dan jasa sosial untuk kemaslahatan umat.

Kedua, optimalisasi pemanfaatan harta wakaf untuk menghasilkan kemanfaatan yang lebih luas. Jika dalam bentuk tanah maka potensi pemanfaatannya lebih besar untuk alokasi beberapa sektor, seperti sektor pendidikan, kesehatan, perdagangan, agrobisnis, pertanian, dan kebutuhan publik lainnya. Pengembangan itu bersifat inovatif dan berkelanjutan, seperti di Indonesia yang dilaksanakan oleh Dompet Dhu'afa. Ia berhasil mengembangkan wakaf tunai dalam bentuk Layanan Kesehatan Cuma-Cuma, sekolah unggulan dan gratis untuk kaum dhu'afa, dsb.

Ketiga, optimalisasi institusi pengelola wakaf yang amanah dan profesional. Budaya good corporate governance harus dibangun sehingga hasilnya lebih transparan dan akuntabel. Dengan begitu kepercayaan masyarakat untuk menyerahkan harta wakafnya semakin meningkat. Meskipun banyaknya nazhir yang menjadi pesaing BWI, seperti Rumah Wakaf Indonesia, Tabung Wakaf Indonesia, Global Wakaf, Wakaf Al-Azhar, dll.

Pemerintah Arab Saudi misalnya, belakangan ini mulai menerapkan pengelolaan harta wakaf melalui sistem perusahaan. Begitu juga adanya "Bank Wakaf" di Bangladesh. Begitupun di mesir, Universitas Al-Azhar di Kairo mampu Eksis lebih dari 1.000 tahun karena keahliannya mengelola wakaf tanah, gedung, lahan pertanian, serta wakaf tunai yang mampu membiayai secara operasional pendidikannya selama berabad-abad tanpa bergantung banyak kepada pemerintah maupun pembayaran mahasiswanya.

Keempat, reoptimalisasi pemanfaatan aset wakaf yang sudah termanfaatkan. Di beberapa kota di Timur Tengah seperti Mekkah, Kairo dan Damaskus muncul kebutuhan untuk meninjau ulang sejumlah aset wakaf tetap seperti masjid yang pada waktu diwakafkan hanya satu lantai. Masjid-masjid seperti itu banyak yang dibongkar atau direnovasi untuk dibangun kembali dengan penambahan beberapa lantai. Seperti lantai pertama untuk masjid, lantai kedua untuk tempat belajar madrasah, lantai ketiga untuk ruang serbaguna, dan seterusnya.

Dalam sebuah riwayat dikutip bahwa Sultan Mamalik Azh-Zhahir Barquq pernah mewakafkan sebuah rumah untuk dijadikan sebagai biro, yang digunakan untuk membacakan Al-Quran kepada anak-anak yatim di Qal'ah Al-Jabal. Qal'ah Jabal adalah sebuah benteng yang menjadi kantor pusat pengendalian wilayah Mesir, Syam dan semua wilayah yang tunduk pada kekuasaannya pada saat itu. Artinya, pengembangan aset wakaf yang telah ada harus dioptimalisasikan agar lebih termanfaatkan, seperti Dewan Perwakafan pada masa Bani Utsmaniyah yang mendirikan masjid raya, berbagai perpustakaan, berbagai rumah sakit, jalan raya, sumur-sumur, tempat pemandian, dan berbagai sekolahan.

Di Indonesia sendiri model wakaf yang telah berkembang antara lain terdapat di daerah Semarang, yaitu pengembangan dana wakaf untuk pembangunan Yayasan Sultan Agung di Semarang dan pengelolaan bidang pendidikan dan kesehatan. Pengembangan potensi wakaf produktif dalam bentuk pendidikan yang cukup populer hingga saat ini dan bahkan diakui oleh seluruh masyarakat Indonesia adalah Pondok Pesantren Gontor.

Selanjutnya sebagai wakaf alternatif, lembaga Gerakan Wakaf Pohon (GWP) yang berpusat di Bandung memiliki dua tujuan sekaligus, yaitu pemberdayaan ekonomi komunitas petani dan memelihara ligkungan hidup, melalui gerakan penanaman pohon jarak yang dapat menghasilkan sumber energi biologis (biodiesel) dan melalui penanaman pohonpohon penghijau di tepi-tepi jalanan kota. GWP menerima wakaf uang dari masyarakat muslim uang tersebut disimpan di Bank Syari'ah sebagai investasi, dan hasil dari keuntungan uang tersebut dimanfaatkan untuk membeli benih pohon produktifyang diberikan kepada petani yang menanam, memelihara, dan memanfaatkan hasilnya.

Berjalannya pengelolaan wakaf di Indonesia ditemui berbagai tantangan. Wakaf tunai yang menjadi wacana pembaruan pun sebenarnya sudah mulai digalakkan, hanya pelaksanaannya yang masih belum optimal. Penjelmaan wacana wakaf tunai sudah mulai tampak dalam produk-produk funding lembaga keuangan syariah dan Lembaga Amil Zakat. Contohnya, Wakaf Tunai Dompet Dhu'afa Republika, Wakaf Tunai PKPU dan Waqtumu (Wakaf Tunai Muamalat) yang diluncurkan Baitulmal Muamalat (BMI).

Belajar dari Bangladesh, melalui Social Investment Bank Limited (SIBL) mereka menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, melalui mekanisme produk funding baru yang berupa sertifikat wakaf tunai (Cash Waqf Certificate) yang akan dimiliki oleh pemberi dana tersebut. Dalam instrumen keuangan baru ini, sertifikat wakaf tunai merupakan alternatif pembiayaan yang bersifat sosial dan bisnis.

Jadi, prospek wakaf di Indonesia yang begitu besar harus dikelola dengan sistem pemberdayaan yang produktif. Potensi lebih dari Rp. 3 miliar tiap tahunnya membuka arena diskursus pemgembangan wakaf di Indonesia. Butuh inovasi dan keterbukaan dalam penataannya, karenanya konsep baru yang inovatif dan berkelanjutan butuh dilahirkan agar hasil pengelolaan aset wakaf di Indonesia mampu berada di puncak dibanding negara-negara yang lebih rendah kekuatannya.

Sumber: https://www.kompasiana.com/afif114/59c76ca3981827057a2c23d2/diskursus-pengelolaan-wakaf-dalam-pengembangan-ekonomi-umat

0 comments:

Post a Comment