Oleh: Muhamad Afif Sholahudin, S.H
(Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung Prodi Hukum Ekonomi Syariah)
Hadits Shahih Muslim No. 2995
(Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung Prodi Hukum Ekonomi Syariah)
Hadits Shahih Muslim No. 2995
ØَدَّØ«َÙ†َا Ù…ُØَÙ…َّدُ بْÙ†ُ الصَّبَّاØِ ÙˆَزُÙ‡َÙŠْرُ بْÙ†ُ
Øَرْبٍ ÙˆَعُØ«ْÙ…َانُ بْÙ†ُ Ø£َبِÙŠ Ø´َÙŠْبَØ©َ Ù‚َالُوا ØَدَّØ«َÙ†َا Ù‡ُØ´َÙŠْÙ…ٌ Ø£َØ®ْبَرَÙ†َا
Ø£َبُÙˆ الزُّبَÙŠْرِ عَÙ†ْ جَابِرٍ Ù‚َالَ Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ
عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُؤْÙƒِÙ„َÙ‡ُ ÙˆَÙƒَاتِبَÙ‡ُ ÙˆَØ´َاهِدَÙŠْÙ‡ِ
ÙˆَÙ‚َالَ Ù‡ُÙ…ْ سَÙˆَاءٌ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabah dan Zuhair bin Harb dan Utsman bin Abu Syaibah mereka berkata: telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Abu Az Zubair dari Jabir dia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya." Dia berkata: "Mereka semua sama."
Ragam matan hadits riba dengan redaksi
matan yang sama atau serupa adalah sebagai berikut.
Matan
|
Artinya
|
Mashadir Ashliyah
|
Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ
عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُؤْÙƒِÙ„َÙ‡ُ ÙˆَØ´َاهِدَÙ‡ُ ÙˆَÙƒَاتِبَÙ‡ُ
|
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat
orang yang makan riba, orang yang memberi makan riba, saksinya dan
penulisnya.
|
Sunan Abu Daud No. 2895
|
Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ
عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُؤْÙƒِÙ„َÙ‡ُ ÙˆَØ´َاهِدَÙŠْÙ‡ِ ÙˆَÙƒَاتِبَÙ‡ُ
|
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat
pemakan riba, yang memberi makan riba, kedua saksi dan penulisnya.
|
Sunan Tirmidzi No. 1127
|
Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ
عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُوكِÙ„َÙ‡ُ ÙˆَØ´َاهِدَÙ‡ُ ÙˆَÙƒَاتِبَÙ‡ُ
|
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat para
pemakan riba, yang membawakannya, yang menyaksikannya, dan yang
menulisnya.
|
Sunan Nasa’i No. 5015
|
Ø£َÙ†َّ رَسُولَ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ
عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ Ù„َعَÙ†َ آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُؤْÙƒِÙ„َÙ‡ُ ÙˆَØ´َاهِدِيهِ
ÙˆَÙƒَاتِبَÙ‡ُ
|
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat
pemakan riba, yang mengambilkannya, yang menyaksikannya dan penulisnya.
|
Sunan Ibnu Majah No. 2268
|
Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ
عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ عَØ´َرَØ©ً آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُوكِÙ„َÙ‡ُ ÙˆَÙƒَاتِبَÙ‡ُ
ÙˆَØ´َاهِدَÙŠْÙ‡ِ ÙˆَالْØَالَّ ÙˆَالْÙ…ُØَÙ„َّÙ„َ Ù„َÙ‡ُ ÙˆَÙ…َانِعَ الصَّدَÙ‚َØ©ِ
ÙˆَالْÙˆَاشِÙ…َØ©َ ÙˆَالْÙ…ُسْتَÙˆْØ´ِÙ…َØ©َ
|
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat
sepuluh orang: pemakan riba, pemberi makannya, penulisnya, kedua saksinya,
muhallil dan muhallal lahu, orang yang menolak membayar zakat, pembuat tato
dan yang di tato."
|
Musnad Ahmad No. 601
|
Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ
عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ آكِÙ„َ الرِّبَا ÙˆَÙ…ُؤْÙƒِÙ„َÙ‡ُ
|
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat
pemakan riba dan orang yang memberi makan dari hasil riba.
|
Sunan Darimi No. 2423
|
Dari teks matan hadits tercantum pada tabel
di atas, diketahui bahwa hadits tersebut diriwayatkan secara lafzhi.
Demikian juga jika dicermati di antara matan-matan hadits terkait Riba
sebagaimana tercantum di atas, di dalamnya tidak terdapat ta’arudh.
Daftar Rawi Sanad
Penelitian sebuah hadits tidak bisa dilepaskan dari penelitian terhadap
pembawa haditsnya dalam hal ini adalah seorang perawi, terutama terkait
kredibiltas, integritas, dan validitas. Lima syarat disepakati oleh ulama
muhadditsin. Dua di antaranya harus dipastikan dalam diri perawi. Syarat
tersebut adalah adil dan dhabit. Perpaduan antara adil dan
dhabit ini biasa disebut sebagai tsiqah. Untuk mengetahui
keadilan dan kedhabitan seorang perawi, diperlukan tanshih (ketetapan)
dari para ulama terhadap perawi tersebut.
Ketetapan ulama tersebut memiliki berbagai maratib (derajat).
Derajat-derajat itu dibagi menurut kata yang digunakan untuk memvonis
(mentanshih) seorang perawi tersebut. Maka dari itu, diperlukan ilmu jarh
wa ta’dil untuk mengetahui derajat-derajat tersebut.
Rawi
|
Wafat
|
Jarh
|
Ta’dil
|
Thabaqah
|
Jabir bin ‘Abdullah bin ‘Amru bin Haram
|
78 H
|
-
|
Sahabat
|
S
|
Muhammad bin Muslim bin Tadrus
|
126 H
|
-
|
Maqbul
|
T
|
Husyaim bin Basyir bin Al Qasim bin Dinar
|
183 H
|
-
|
Tsiqah ‘Adil
|
TT
|
Muhammad bin Ash Shabbah
|
227 H
|
-
|
Tsiqah Hafish
|
TTT
|
Zuhair bin Harb bin Syaddad
|
234 H
|
-
|
Tsiqah Hafizh
|
TTT
|
Utsman bin Muhammad bin Ibrahim bin
Utsman
|
239 H
|
-
|
Tsiqah Hafizh
|
TTT
|
Keterangan:
- · Simbol: S (w. 80 H), T (w. 130 H), TT (w.
180 H), TTT (w. 230 H)
- · Sahabat ialah orang yang bertemu rasulullah
shallallahu 'alaihi wa salllam dan ia seorang muslim sampai akhir
hayatnya.
- · Tsiqah Tsiqah atau Tsiqah Hafizh ialah perawi yang mempunyai kredibilitas yang
tinggi, yang terkumpul pada dirinya sifat adil dan hafalannya sangat kuat.
- · Tsiqah / Mutqin / 'Adil, ialah perawi yang mempunyai sifat 'adil dan
kuat hafalannya.
- · Maqbul ialah perawi yang diterima periwayatannya dan dapat dijadikan sebagai
hujjah.
Diagram
Silsilah Sanad
Dari daftar rawi sanad yang sudah disusun, maka dengan mengacu pada
tingkatan thabaqah dan tahun wafat para rawi, dapat dirumuskan diagram
silsilah sanad sebagaimana berikut.
Hadits ini merupakan hadits yang disepakati
keshahihannya oleh para ulama hadits dan diriwayatkan oleh banyak imam hadits,
di antaranya:
- · Imam Muslim dalam shahihnya, Kitab al-Musaqat,
Bab La’ni akilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits No. 2995
- · Imam Ahmad bin Hambal r.a., dalam
musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin No. 13744
Selain itu, hadits ini juga memiliki syahid
(hadits yang sama yang diriwayatkan melalui jalur sahabat yang berbeda), di
antaranya dari jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud dan juga dari Ali bin Abi
Thalib, yang diriwayatkan oleh:
- · Imam Turmudzi dalam jami’nya, Kitab Buyu’
An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits No. 1127
- · Imam Nasa’i dalam sunannya, Kitab at-Thalaq,
Bab Ihlal al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi Yahilluha Bihi,
Hadits No. 3363
- · Imam Abu Daud dalam sunannya, Kitab Al-Buyu’,
Bab Fi Aklir Riba wa Mu’kilihi, hadits No. 2895
- · Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya di
banyak tempat, di antaranya pada hadits-hadits No. 3539, 3550, 3618, 4058,
4059, 4099, dan 4171
- · Imam Ad-Darimi dalam sunannya, Kitab
Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba wa Mu’kilihi, hadits No. 2423
I. Kehujjahan Hadits Riba
Memahami hadits tentu sebelumnya kita harus mendalami kehujjahan hadits,
hal ini penulis amati dalam beberapa unsur, yakni: Jenis Hadits (berdasarkan
jumlah rawi, matan, dan sanad), kualitas hadits (tashih dan i’tibar),
dan Tathbiq hadits.
1. Jenis Hadits
Berdasarkan
jumlah rawi
Menurut jumlah rawi, Hadits terbagi kepada Hadits mutawatir dan ahad.
Hadits mutawatir adalah Hadits yang jumlah rawinya banyak dengan syarat
beritanya mahshus (indrawi), tidak ada kesan dusta, dan tiap thabaqah
jumlah rawi minimal lima orang. Hadits ahad adalah Hadits yang jumlah rawinya
tidak banyak, yakni tiga setiap thabaqah (masyhur), dua setiap thabaqah
(aziz), dan satu setiap thabaqah (gharib).
Berdasarkan kriteria tersebut, maka Hadits tentang Riba termasuk Hadits Ahad
sebab tidak memenuhi syarat mutawatir yakni setiap thabaqah
jumlah rawinya minimal lima.
Berdasarkan
Matan
Dari segi bentuk matan, Hadits terbagi kepada Hadits qauli
(ucapan), Hadits fi’li (perbuatan), dan Hadits taqriri
(ketetapan). Dari segi idhafah matan, Hadits terbagi pada marfu’
(idhafah pada Nabi), mauquf, dan maqthu. Dan apabila tanda
bentuk dan idhafahnya eksplisit disebut haqiqi, dan jika implisit
disebut hukmi.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka hadits riba termasuk hadits marfu’,
qauli, dan haqiqi. Marfu’ artinya hadits tersebut
idhafahnya disandarkan langsung pada Nabi Saw. Qauli artinya adalah
hadits yang merupakan ucapan Nabi Saw. Adapun haqiqi adalah hadits yang
tanda bentuk dan idhafahnya eksplisit sabda Rasul Saw.
Berdasarkan
Sanad
Dari segi bersambung tidaknya sanad, Hadits terbagi ke dalam muttashil
dan munfashil. Hadits muttashil adalah Hadits yang sanadnya
bersambung, yakni rawi murid dan rawi guru yang ada pada sanad bertemu (liqa’)
karena hidup sejaman, setempat, dan seprofesi Hadits. Hadits munfashil
adalah Hadits yang sanadnya terputus (inqitha’) yakni putus pada rawi
pertama (mursal), putus pada mudawin dengan gurunya (mu’alaq),
putus satu rawi dalam sembarang thabaqah (munqathi), dan putus
dua rawi dalam dua thabaqah berturut-turut (mu’dhal).
Berdasarkan kriteria tersebut, hadits Riba adalah hadits muttashil
karena semua thabaqah mulai dari sahabat sampai mudawinnya bersambung.
Dari segi keadaan sanad, Hadits terbagi kepada Hadits mu‘an‘an
(terdapat ‘an dalam sanad), Hadits muannan (terdapat ‘ana
ta’kid dalam sanad), Hadits aliy (jumlah rawi dalam sanad sedikit
dengan rata-rata per thabaqah-nya satu atau dua orang), Hadits nazil
(jumlah rawi dalam sanad banyak dengan rata-rata per thabaqah-nya tiga
orang atau lebih), Hadits musalsal (ada persamaan sifat rawi dalam
sanad), dan Hadits mudabbaj (ada dua rawi dalam sanad yang saling
meriwayatkan).
Berdasarkan kriteria tersebut, hadits riba bisa dikatakan hadits muannan,
hadits ‘aliy, dan hadits mudabbaj.
2. Kualitas Hadits
Tash-hih
Berdasarkan kualitasnya, Hadits terbagi ke dalam Hadits maqbul
dan mardud. Makbul adalah Hadits yang diterima sebagai hujjah
dengan sebutan shahih dan hasan. Hadits mardud adalah
Hadits yang ditolak sebagai hujjah dengan sebutan Hadits dh’aif.
Hadits shahih adalah Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah,
sanadnya muttashil (liqa’), matannya marfu’ (idhafah
pada Nabi), tidak ada illat (penambahan pengurangan dan penggantian),
dan tidak ada kejanggalan (tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Hadits shahih,
dan akal sehat). Hadits hasan sama seperti Hadits shahih namun
rawinya tidak sampai tamm dhabit, tetapi hanya sampai qalil
dhabit. Hadits dha’if adalah Hadits yang gugur satu syarat atau
lebih dari syarat Hadits shahih atau hasan. Kaidah tersebut
adalah kaidah dasar. Dalam tash-hih terdapat kaidah dalam kenaikkan
kualitas, yaitu Hadits hasan dapat menjadi shahih apabila
dikuatkan dengan muttabi’ (sanad lain) dan syahid (matan lain),
yang kemudian disebut shahih li ghairihi. Begitu juga Hadits dha’if
yang mardud (ditolak sebagai hujjah) dapat naik menjadi makbul
yakni menjadi hasan li ghairihi apabila Hadits dha’if tersebut
memiliki muttabi’ dan atau syahid, sepanjang dha’if-nya
bukan maudhu’, matruk dan munkar.
Berdasarkan kaidah tersebut, Hadits Riba dapat disimpulkan merupakan
Hadits makbul dengan kategori shahih, karena diriwayatkan oleh
rawi yang tsiqah, sanadnya muttashil (liqa’), matannya marfu’
(idhafah pada Nabi), tidak ada illat (penambahan pengurangan dan
penggantian), dan tidak ada kejanggalan (tidak bertentangan dengan al-Qur’an,
Hadits shahih, dan akal sehat).
I’tibar
Menentukan kualitas Hadits berdasarkan petunjuk jenis kitabnya (konvensi
muhaditsin bahwa jenis kitab Hadits menjelaskan kualitas Haditsnya),
penjelasan kitab kamus dan syarah, dan pembahsan kitab ilmu. Dengan i’tibar
diwan dapat diketahui status Hadits Riba merupakan Hadits shahih
karena terdapat dalam beberapa kitab shahih seperti Shahih Muslim dan Musnad
Imam Ahmad, meski sebagiannya terdapat dalam kitab sunan.
3. Tathbiq Hadits
Setelah diketahui keshahihan Hadits ini, perlu untuk ditelusuri pada
aspek penerapannya karena Hadits makbul mungkin ma’mul bih dan
mungkin ghair ma’mul bih. Kaidahnya adalah sebagai berikut:
1. Jika Hadits makbul itu hanya satu
atau banyak namun sama (baik lafzhi maupun ma’nawi), maka ma’mul
atau ghair ma’mulnya ditentukan oleh muhkam atau mutasyabih-nya
matan. Jika muhkam (lafazh dan maknanya jelas dan tegas) maka ma’mul
bih. Namun jika mutasyabih (lafazh dan maknanya tidak jelas) maka ghair
ma’mul bih.
2. Jika makbul itu banyak namun tanaqudh
(berbeda) atau ta’arudh (berlawanan) maka untuk menentukan ma’mul
dan ghair ma’mul-nya harus ditempuh terlebih dahulu dengan thariqah
jama’, kemudian tarjih, nasakh, dan tawaquf. Jika
Hadits makbul itu yang ta’arudh bisa dikompromikan maka keduanya
diamalkan dan disebut Hadits mukhltalif. Setelah ditarjih, maka
yang unggul diamalkan (rajih) dan tidak unggul tidak diamalkan (marjuh).
Dengan nasakh, maka yang wurud belakangan diamalkan (disebut nasikh)
dan yang wurud duluan tidak diamalkan (disebut mansukh). Jika
tidak bisa di-jama’, tarjih, dan nasakh, maka di-tawaquf-kan
(mutawaqaff), artinya tidak diamalkan.
Berdasarkan kaidah di atas, maka Hadits Riba merupakan Hadits makbul
yang ma’mul bih, karena banyaknya lafazh matan Hadits yang sama (baik lafzhi
maupun ma’nawi), yang semuanya lafazh-nya muhkam (lafazh dan
maknanya jelas dan tegas).
0 comments:
Post a Comment