Sunday, 4 February 2018

Pengaruh Pergaulan Bebas dan LGBT Terhadap Sistem Sosial Pespektif Islam



Mengukur Larangan Gaul Bebas Dalam Islam

Sejatinya istilah pergaulan bebas tidak dikenal dalam Islam, sebab Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk pergaulan. Pergaulan bebas tidak lain muncul karena sekulerisme dalam kehidupan yang memberikan kebebasan manusia untuk hidup tanpa diatur oleh agama. Kapitalisme yang menjadi paradigma dominan negara-negara di dunia melahirkan empat hak bagi tiap individu untuk bisa mengekspresikan dirinya. Empat hak individu tersebut diantaranya: Kebebasan kepemilikan, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, dan kebebasan bertingkah laku. Empat kebebasan ini merupakan esensi terbentuknya Hak Asasi Manusia sebagai pelindung kebebasan individu di negara-negara yang menganut sistem demokrasi. 

Berfokus pada kebebasan bertingkah laku, dalih ini yang sering digunakan oleh para pelaku individu agar bisa mengekspresikan sikapnya yang selama ini ditentang oleh aturan agama dan norma yang berlaku. Ide ini yang kerap banyak menghasilkan penyimpangan sosial, seperti pacaran, pencabulan, seks bebas, homoseksual, mabuk (khamr), dsb. Mirisnya, perilaku menyimpang seperti ini tidak hanya menimpa orang lain, bahkan keluarganya sendiri pun terusik sampai ada yang menjadi korban dari ide rusak seperti ini. Penyebabnya tidak lain semua berakar dari cara pandang sekulerisme yang menjangkit tiap individu. Hasilnya pelemahan keluarga terus berkembang sehingga pengrusakan generasi timbul secara sistematis bagi kelamnya masa depan bangsa.

Islam mengajarkan setiap manusia wajib terikat kepada hukum syara’, sebagaimana kaidah hukum asal perbuatan (mukallaf) terikat kepada hukum syara’. Maka tingkah laku manusia harus sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT. Jika diketahui melanggar maka akan berdosa dan dijatuhi hukuman. Kepatuhan kepada hukum syara’ adalah konsekuensi keimanan yang harus dipenuhi seorang muslim, jika ada yang menyimpang maka harus diingatkan dan diluruskan. Disinilah letak keistimewaan Islam dalam menjaga masyarakat dengan menumbuhkan kebiasaan amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat. 

Ada beberapa alasan mengapa zina merupakan sesuatu yang sangat berbahaya, harus dihilangkan dan diberikan tindakan kepada mereka pelaku zina. Alasan itu diantaranya:

Pertama, Zina adalah dosa besar ketiga setelah dosa terbesar syirik kepada Allah SWT dan membunuh (QS. Al Furqan: 68). Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW ditanya tentang dosa besar. Beliau menjawab : “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan padahal Dia yang telah menciptakanmu.” Kemudian apalagi? Beliau menjawab : “Engkau membunuh anakmu karena takut makan bersamamu.” Kemudian apalagi? Beliau menjawab : “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.” (HR. Bukhari : 2475 dan Muslim : 58).

Oleh karena itu, betapa Allah SWT benci dengan para pelakunya sampai ditegaskan kepada mereka hanya boleh menikah dengan sesama pelaku zina atau orang musyrik lainnya (QS. An Nur: 3)

Kedua, Zina adalah suatu perbuatan durhaka kepada Allah SWT yang menimbulkan efek ketagihan untuk mengulanginya, bahkan dapat menjadi penyakit menular sehingga semakin banyak orang yang meniru perilaku buruknya. Hal ini terjadi tidak lain karena pelaku tidak akan cukup puas hingga mereka melakukan propaganda yang menghasut orang lain agar terjerumus ke dalam lubang yang sama. Padahal mereka paham bahwa perilaku tersebut adalah bentuk perilaku haram dan hina, seandainya sadar pasti akan membuat pelakunya merasa malu. 

Ketiga, Zina adalah perbuatan buruk yang kelak oleh umat manusia akan dianggap biasa. Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan pada Qatadah, “Sungguh aku akan memberitahukan pada kalian suatu hadits yang tidak pernah kalian dengar dari orang-orang sesudahku. Kemudian Anas mengatakan,

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا 

"Di antara tanda-tanda hari kiamat adalah: sedikitnya ilmu dan tersebarnya kebodohan, diminumnya khamr, merebaknya perzinaan." (HR. Bukhari dan Muslim). 

Makna "merebaknya perzinahan" adalah zina tersebar dan dianggap biasa sehingga orang-orang yang berzina tidak lagi sembunyi-sembunyi karena banyaknya orang yang melakukan zina. (Disarikan dari Fathul Baari).

Jika suatu saat umat ini akan menganggap zina sebagai suatu hal yang tabu, bukankah ini suatu hal yang berbahaya? Ibarat perbuatan membunuh atau mencuri dianggap oleh orang-orang merupakan perbuatan buruk termasuk kejahatan dan pelakunya harus diberi hukuman, bahkan jika sekiranya diketahui ada tempat pusat pembunuhan atau pencurian pasti dalam waktu singkat tempat seperti itu akan diringkus oleh pihak yang berwajib. Lalu bagaimana dengan perzinahan? Bersetubuh asalkan suka-sama suka dianggap hal wajar, bahkan orang-orang tahu dimana tempat pusat perzinahan, sayangnya tidak banyak menganggapnya buruk sehingga perilaku rusak seperti ini akan semakin berkembang. 

Kejadian maraknya pergaulan bebas adalah cerminan maksiat yang semakin subur di masyarakat. Islam memandang maksiat adalah perbuatan yang harus dihilangkan dan pelakunya harus diberi hukuman. Tugas ini tidak dibebankan kepada para pelakunya saja, namun terdapat peran seorang muslim untuk tanggungjawab kepada muslim lainnya dalam hal mengingatkan, mencegah dan memperbaiki kerusakan yang ada. Maksiat seperti zina adalah produk terbanyak dari statistik pergaulan bebas yang menimpa kaum muda, tanpa sadar sesungguhnya mereka telah mengundang datangnya malapetaka. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Jika zina dan riba telah merebak di suatu kaum, maka sungguh mereka telah membiarkan diri mereka ditimpa azab Allah.” (HR. Al-Hakim). 

Oleh karena itu, Islam tidak memberikan ruang bagi terjadinya maksiat khususnya perzinahan. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan langkah preventif dan kuratif. Penyuluhan tentang bahaya pergaulan bebas terus disampaikan sebagai upaya preventif atau dengan mencegah perbuatan yang dilarang oleh agama dan norma yang berlaku. Kaum muda butuh ditanamkan banyak ilmu-ilmu agama mulai dari lingkungan keluarga hingga sekolah. Tak cukup penyadaran agama, segala hal yang mendorong untuk memunculkan hasrat berbuat zina harus dihapuskan, seperti tontonan yang mengandung pornografi atau kebiasaan membuka aurat bagi wanita di tempat umum. Jika tetap bersikeras melanggar maka dilakukan langkah kuratif berupa tindakan hukum yang sesuai dengan jenis penyimpangannya. Khusus perzinahan Islam mempunyai aturan hudud atau hukum pidana yang telah diatur dalam Al Qur’an dan disanksikan kepada mereka pelaku zina berupa hukuman rajam (dilempar batu) bagi pelaku muhshan (telah menikah) atau hukuman cambuk 100 kali bagi pelaku ghoiru muhshan (belum menikah) ditambah pengasingan setahun. Terdapat dua hikmah dari penegakkan pidana Islam, yakni jawabir sebagai penebus dosa bagi pelaku; dan zawajir memberikan efek jera kepada pelaku dan menimbulkan rasa takut pada orang lain agar tidak melakukan perbuatan serupa.

Islam membatasi interaksi antar manusia, baik sesama jenis maupun berlainan. Pembatasan ini yang menjadi dasar pengaturan pergaulan dalam Islam, termasuk tingkah laku seseorang baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Islam melahirkan kehidupan sosial yang terjaga karena pengaturan akan interaksi yang tegak berdasarkan keimanan kepada Allah SWT. Manusia akan lebih mudah mengontrol karena ketundukan kepada hukum syara’ adalah upaya mengesampingkan hawa nafsu dan penilaian akal manusia yang serba terbatas. 


Menyoal LGBT dalam Ruang Keislaman

Siapapun jika melihat LGBT dari sisi kacamata sosial merupakan bentuk penyimpangan sosial yang digerakkan secara masif melalui propaganda-propaganda yang diluncurkan. Kenyataan pelaku LGBT di Indonesia memang ada, namun bukan berarti mengakui keberadaan sama dengan menerima kebenaran suara mereka. 

Allah SWT sangat membenci perbuatan seperti ini sampai disebut di dalam Al Qur’an dengan sebutan fahisyah (perbuatan keji) (QS. Al Ankabut: 28), atau munkar (ditolak keras) (QS. Al Ankabut: 29), dan pelakunya disebut mufsidin (perusak) (QS. Al Ankabut: 30), atau mujrimin (pelaku criminal) (QS. Al A’raf: 74), atau qowmun musrifun (orang-orang yang melampaui batas) (QS. Al A’raf: 81). Diantara alasan mengapa dalam Islam menilai LGBT termasuk perilaku menyimpang, karena:

Pertama, tidak sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki naluri untuk melestarikan keturunan. Selain itu hakikat diciptakannya laki-laki dan perempuan adalah untuk kelangsungan jenis manusia dengan segala martabat kemanusiaannya (QS. An Nisa: 1). Islam mengajarkan hubungan seksualitas yang terjadi antara mereka hanya dibolehkan ketika sudah terjadi akad pernikahan, maka diluar itu adalah bentuk penyimpangan yang harus dihindari. Maka jika terjadi perilaku LGBT yang menimbulkan gairah seksualitas terhadap sesama jenis, maka hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang normal. Dampaknya bisa berefek kepada kepunahan umat manusia, sebab tujuan melestarikan keturunan itu dilanggar.

Kedua, LGBT merupakan perbuatan kaum Nabi Luth yang dilaknat dan diancam musibah oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Dilaknat orang yang melakukan perbuatan kaum nabi luth (homoseksual)” (HR. Tirmidzi dan Ahmad dari Ibn Abbas). Laknat Allah SWT tidak hanya melahirkan dosa atas kebencian-Nya, namun ditimpakannya azab kepada kaumnya berupa gempa dan hujan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi (QS. Hud: 82). Musibah itu mereka terima dikarenakan mereka mendustakan apa yang telah disampaikan Nabi Luth as dan tidak menggubris larangannya, bahkan sampai mengusirnya (QS. An Naml: 56). 

Para psikiater menganggap dalam Menganggap LGBT adalah sebuah penyakit bukanlah diskriminasi, justru bentuk pelurusan makna yang bermaksud untuk menyelamatkan si pasien. Oleh karena itu, bagi para pelakunya yang sudah terlanjur menderita gangguan tersebuat maka harus direhabilitasi terlebih dahulu, sampai sembuh total dan tidak ada ketertarikan terhadap perilaku sebelumnya. Namun jika mereka enggan bahkan dengan berani propaganda seolah menunjukkan bahwa mereka bangga menjadi bagian dari perilaku menyimpang tersebut, maka Islam memberikan aturan tegas terhadap pelakunya. Sanksinya dibunuh terkhusus pelaku lesbian, gay, dan biseksual. Sedangkan transgender jika tidak sampai melakukan penyimpangan seksual maka hukumannya cukup ta’zir, tidak sampai dihukum mati. 

Rasulullah SAW sangat membenci lelaki mukhannats dan wanita mutarajjilah, biasa kita sebut sebagai banci atau waria. Bahkan beliau perintahkan untuk diusir dari rumah-rumah kalian, begitupun akhirnya sahabat Umar mengeluarkannya. Lalu bagaimana dengan orang yang mempunyai kelamin ganda? Islam pun mengaturnya, dalam fiqh disebut khuntsa. Realitanya khuntsa dibedakan menjadi dua: Pertama, Khuntsa musykil, yakni orang yang memiliki kelamin ganda dan keduanya berfungsi atau tidak punya kelamin sama sekali. Kedua, Khuntsa Ghoiru Musykil, yakni memiliki kelamin ganda tetapi secara definitif jelas. Menurut Imam As Suyuthi, untuk menentukan khuntsa ghoiru musykil cukup mudah, tinggal lihat ke arah mana alat kelaminnya lebih dominan berfungsi. Adapun khuntsa musykil dibedakan dua fase, jika saat sebelum baligh mengeluarkan kencing dari alat kelamin laki-laki maka dihukumi laki-laki, begitupun sebaliknya. Namun jika setelah baligh maka dilihat kondisi yang tampak menonjol. Jika terlihat berani, tumbuh jenggot, maka dari sifat kejantanan itu disimpulkan dia adalah laki-laki. Adapun jika terlihat menstruasi, hamil, kesenderungan seksualnya kepada pria maka disimpulkan dia adalah wanita. Jadi, berdasarkan penjelasan Imam As Suyuthi bahwa istilah khuntsa dalam fiqh digunakan dalam konotasi khuntsa musykil, bukan dipaksakan dipaksakan oleh orang liberal yang menamakannya sebagai “Fiqh Waria” padahal jelas-jelas tidak diajarkan dalam Islam.


Islam Mengatur Sistem Sosial

Sistem sosial islam dibangun berdasarkan akidah Islam. Pelaksanaannya berupa perintah dan larangan yang diturunkan dalam wahyu-Nya untuk kebaikan kita semua (QS. Al Anbiya: 107). Dalam mengatur kehidupan sosial, Islam memiliki beberapa prinsip khusus dalam menilai manusia dan keberadaannya dalam suatu masyarakat. Kesalahan masyarakat yang menolak Islam saat ini disebabkan karena mereka hanya memandang sebagian dari aturan Islam yang paripurna dan harus dimengerti keseluruhannya, maka kesadaran dirinya atas hal itu akan membuat mereka menerima Islam dan seperangkat aturannya untuk mengatur kehidupan. Diantara prinsip dasar pengaturan sosial Islam itu yakni:

Pertama, Islam memandang manusia adalah makhluk Allah SWT, diciptakan dengan bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At Tin: 4). Secara fisik manusia mempunyai kewajiban pemenuhan hajatul udlawiyah atau kebutuhan jasmani dan secara non fisik mempunyai gharizah atau kebutuhan naluri. Hajatul udlawiyah biasanya memiliki tiga ciri-ciri, yakni: muncul dalam diri seseorang, membutuhkan jenis dan kadar tertentu pula, dan jika tidak terpenuhi akan menimbulkan kerusakan organ tubuh, penyakit hingga kematian. Adapun gharizah memiliki tiga ciri-ciri, yakni: muncul karena adanya rangsangan dari luar, tidak dapat dihilangkan namun bisa dialihkan, dan jika tidak dipenuhi hanya menimbulkan gejolak bathiniyah. Gharizah ini dibedakan menjadi tiga jenis: Gharizah Naw (naluri melestarikan keturunan), Gharizah Baqa (naluri mempertahankan diri), dan Gharizah Tadayyun (naluri ketundukan kepada sesuatu). 

Kedua, Islam memandang manusia diciptakan secara berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi (QS. Adz Dzariyat: 49). Ditumbuhkan pada mereka rasa saling tertarik tidak lain bertujuan untuk melestarikan keturunan/biologisnya. Allah menciptakan diantara keduanya secara adil, semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Ada hak dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan, semuanya menyesuaikan jenis yang ada. Keduanya dinilai sama di hadapan Allah SWT, sebab yang membedakan dihadapan-Nya hanyalah ketakwaannya (QS. Al Hujarat: 13). 

Ketiga, Allah SWT menciptakan antara laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang berbeda, sesuai dengan kemampuan yang menjadi kewenangannya. Salah jika menempatkan kesetaraan dalam hak dan kewajiban antara keduanya, sebab secara fisik tubuh dan mental mereka berbeda. Islam menugaskan tanggungjawab anak kepada perempuan karena mendidik anak merupakan kewajiban seorang ibu, hanya dia yang bisa melahirkan dan menyusui anaknya dengan penuh kasih sayang atas pengorbanannya selama mengandung bayi. Begitupun laki-laki diberikan tugas untuk mencari nafkah, Allah berikan fisik yang kuat dan sifat kejantanan yang dibutuhkan saat berhubungan sosial di lingkungan kerja. Keduanya memiliki kapasitas yang berbeda, maka menempatkan posisi peran dan tugas yang sama akan menimbulkan kerusakan sosial, apalagi menukar tugas asalnya dengan lawan jenisnya merupakan kesalahan fatal. 

Keempat, Islam mengatur pola hubungan antar sesama manusia secara rinci, baik dalam kehidupan umum maupun kehidupan khusus. Diantara pengaturan yang berkaitan dengan hal ini diatur oleh hukum syara’, seperti:

  1. Islam memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya (QS. An Nur: 30-31), menjauhi perbuatan yang mendekati zina (QS. Al Isra: 32).
  2. Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian sempurna yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangannya. Dan hendaklah mereka mengulurkan pakaiannya sehingga mereka dapat menutupi tubuhnya (QS. Al Ahzab: 59)
  3. Islam mewajibkan perempuan untuk ditemani mahramnya pada saat safar selama lebih dari sehari semalam tanpa ditemani mahramnya, tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suaminya, melarang khalwat dengan laki-laki kecuali disertai mahramnya, melarang tabarrruj (menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada bukan mahramnya) (QS. An Nur: 60), melarang ikhtilath (bercambur baur dengan yang bukan mahramnya) dan diusahakan agar setiap ada kepentingan untuk berkumpul maka posisinya terpisah dengan jama’ah yang laki-laki (infishol). 
  4. Islam membolehkan aktivitas dengan yang bukan mahramnya dalam batasan tertentu, seperti dalam muamalah, pendidikan, dan kesehatan. Itupun dengan batasan tidak memunculkan interaksi yang berlebihan, hal itu ditekankan supaya tidak memunculkan fitnah dan tidak menumbuhkan rasa jinsiyyah (hasrat seksual) yang memicu terjadinya kerusakan pada masyarakat. 
  5. Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya, atau jalan-jalan bersama. Sebab, tujuan kerjasama dalam hal ini agar wanita dapat segera mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, disamping untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.

Sistem sosial Islam tumbuh karena aturan yang bersumber dari keimanan kepada Allah SWT. Pola pergaulan yang islami akan melahirkan kehidupan sosial yang aman dan berkualitas. Adanya sistem sosial Islam mampu melahirkan orang-orang bersyakhsiyah (kepribadian) Islam. Proses itu tidak hanya dibentuk oleh individu muslim yang patuh terhadap aturan Islam, namun juga peran keluarga, masyarakat dan negara harus muncul di sana. Islam mengatur masalah keluarga secara mendetail, sebab sekolah pertama bagi anak adalah keluarga, guru pertamanya adalah ibunya. Ilmu tentang Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah sudah dijabarkan dalam Islam secara rinci, seperti mendidik anak, hak dan kewajiban suami atas istri, begitupun sebaliknya. 

Kondisi saat ini tentu akan sulit bagi kita untuk membayangkan bagaimana sistem sosial Islam dapat berjalan, sebab banyak generasi sekarang sejak dini sudah disuguhi dengan berbagai macam kerusakan moral, bahkan mereka sendiri pelakunya. Maka sudah seharusnya kita perbaiki pola sosial yang ada saat ini untuk dirubah menjadi pola yang islami agar semakin terjaga dan tidak mengundang bencana disebabkan banyaknya maksiat yang dikerjakan. 

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy Syuura: 30)

Maka, segala bentuk penyimpangan sosial adalah bentuk kerusakan dari pelaksanaan aturan yang rusak pula. Seharusnya perbuatan semacam zina dan LGBT dicegah dan diberikan tindakan tegas berupa hukuman. Namun sebaliknya, justru perilaku menyimpang seperti ini malah dilindungi oleh negara. putus sudah harapan kita ditaruh kepada sistem demokrasi liberal yang mengancam martabat manusia melalui kerusakan sosialnya. Manusia hanya mampu menggantungkan harapannya  kepada Islam agar bisa menebar kebaikan sebab Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. 

Wallahu a’lam bishowab.

Bandung, 3 Februari 2018
Muhamad Afif Sholahudin

0 comments:

Post a Comment