“Terlalu, bila seorang muslim menjauhkan keinginan dari
tegaknya Syariat Islam”. Sebelum terlanjur di cap kafir oleh Allah, keinginan
menolak syariat islam haruslah disingkirkan dari hati para muslim. Janganlah
kelak menyesal lantaran di vonis anti “hukum Allah” oleh Islam.
Dalam hal ini ada pandangan masa lalu, masa Buya Hamka dan
M. Natsir masih di kandung hayat, keduanya merupakan tokoh Islam abad itu yang
banyak berpesan pentingnya jihad ‘menegakkan hukum Islam’. Bacalah hingga
tuntas, kata demi kata terangkum dalam bentuk kalimat sempurna, menyuarakan
tegakknya ‘Hukum Islam di Indoensia’.
“dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. [Al-Maidah
Ayat : 49]
“. Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” [Al-Maidah Ayat : 47]
Ini hujjah, bahwa selain hukum Allah, adalah produk
jahiliyah, tidak bisa di gunakan sebagai dasar kehidupan ber-masyarakat,
apalagi bila sengaja dilahirkan sikap sikap anti terhadap perintah-perintah
Allah, misalnya membangkang ayat ayat Quran dengan menafsirkan pada makna lain.
Isu Negara Islam Indonesia, radikalisme, dan terorisme yang
ditayangkan hampir setiap hari di media massa nasional setidaknya mampu
membentuk opini di masyarakat—khususnya mereka yang awam terhadap gerakan
Islam, untuk mencurigai setiap hal yang berkaitan dengan aktivitas keislaman.
Di kampung-kampung, pasca hebohnya pemberitaan tentang NII, masyarakat menaruh
kecurigaan terhadap gerakan-gerakan yang selama ini menuntut diberlakukannya
sistem Islam dalam pemerintahan, tegaknya syariat Islam, dan menuntut
dihentikannya kezhaliman global yang dipertontonkan AS dan sekutu-sekutunya.
Apalagi, dalam pemberitaan selalu digambarkan bahwa mereka yang terlibat dalam
NII dan terorisme menggunakan atribut-atribut seperti jilbab panjang dan
bercadar bagi perempuan, celana cingkrang, berjanggut dan jidat hitam bagi
laki-laki.
Tak hanya itu, isu ini juga sukses membuat aktivis parpol
Islam sibuk menangkis tudingan bahwa mereka bukan bagian dari NII. Klarifikasi
terhadap tudingan bahwa mereka bukan bagian dari NII sah-sah saja. Tapi,
setidaknya klarifikasi itu tidak diiringi dengan kata-kata yang terkesan sok
dan arogan, dengan mengatakan bahwa gagasan negara Islam adalah “ide kampungan”.
Katakanlah tak setuju dengan ide negara Islam atau label negara Islam,
setidaknya tak perlu mengeluarkan kata-kata yang terkesan arogan dan merasa
paling paham soal konsep bernegara. Apalagi, isu NII ini kuat dugaan adalah
rekayasa intelijen yang ingin memberangus ide-ide Islam.
Saat ini, umat dihadapkan pada elit-elit politik Islam yang
terkesan mengidap inferiority complex alias minder dengan identitas Islam.
Mereka selalu mengelak jika dituding ingin menegakkan syariat Islam.
Seolah-olah syariat Islam adalah boomerang yang bisa menghancurkan karir
politiknya, merusak reputasinya, bahkan menghambat laju popularitasnya. Islam
tak lagi dianggap sebagai identitas yang menjual dalam panggung politik. Karena
itu, bagi mereka politik identitas atau politik aliran sudah ketinggalan zaman.
Koor ini disambut meriah oleh para politisi dan pengamat politik sekular. Gaung
soal partai terbuka dianggap lebih modern dan tidak kampungan. Untuk terlihat
matching sebagai partai terbuka dan modern, acara-acara pun diselenggarakan di
hotel-hotel mewah. Logika sederhana mengatakan, di tengah umat yang dihimpit
oleh kemiskinan, apakah pantas mengadakan acara bermegah-megahan?
Atas nama persatuan dan kesatuan, siasat politik dan
toleransi, banyak elit-elit politik Islam yang menghindar jika dituding sebagai
bagian dari kelompok yang mempunyai agenda penegakkan syariat Islam dalam
konteks berbangsa dan bernegara. Seolah-olah “cap” sebagai penegak syariat akan
melunturkan citra politiknya dan membuatnya terasing dari pentas politik.
Terkait dengan hal ini, Mohammad Natsir, tokoh Partai
Masyumi, menyatakan : “Orang yang tidak mau mendasarkan negara itu kepada
hukum-hukum Islam dengan alasan tidak mau merusakkan hati orang yang beragama
Islam, sebenarnya (dengan tidak sadar atau memang disengaja) telah berlaku
zhalim kepada orang Islam sendiri yang bilangannya di Indonesia 20 kali lebih
banyak, lantaran tidak menggugurkan sebagian dari peraturan-peraturan agama
mereka (agama Islam). Ini berarti merusakkan hak-hak mayoritas, yang sama-sama
hal itu tidak berlawanan dengan hak-hak kepentingan minoritas, hanya
semata-mata lantaran takut, kalau si minoritas itu “tidak doyan”. Ini namanya
“staatkundige”, demokrasi tunggang balik.”
Nasehat bagi mereka yang “takut atau terkesan malu-malu”
untuk menegakkan syariat Islam juga disampaikan Buya Hamka. Dalam Tafsir
Al-Azhar, Hamka menyatakan :
“Sebagai Muslim, janganlah kita melalaikan hukum Allah.
Sebab, di awal surah Al-Maaidah sendiri yang mula-mula diberi peringatan kepada
kita ialah supaya menyempurnakan segala ‘uqud (janji). Maka, menjalankan hukum
Allah adalah salah satu ‘uqud yang terpenting diantara kita dengan Allah.
Selama kita hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita,
tidaklah boleh sekali-kali kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di
dalam alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Moga-moga tercapai
sekadar apa yang kita dapat capai. Karena Tuhan tidaklah memikulkan beban
kepada kita suatu beban yang melebihi dari tenaga kita. Kalau Allah belum
jalan, janganlah kita berputus asa. Dan kufur, zhalim, fasiklah kita kalau kita
pecaya bahwa ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah.
Jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang,
Adakah kamu, hai umat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang
kekuasaan, akan menjalankan hukum syariat Islam dalam negara yang kamu kuasai
itu? Janganlah berbohong dan mengolok-olokkan jawaban. Katakan terus terang,
bahwa cita-cita kami memang itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang
digariskan Tuhan dalam Al-Qur’an itu kita pungkiri?
Dan kalau ditanya orang pula, tidaklah demikan dengan kamu
hendak memaksakan agar pemeluk agama lain yang digolongkan kecil (minoritas)
dipaksa menuruti hukum Islam? Jawablah dengan tegas, “Memang akan kami
paksa mereka menuruti hukum Islam. Setengah dari hukum Islam terhadap golongan
pemeluk agama yang minoritas itu ialah agar mereka menjalankan hukum Taurat,
ahli Injil diwajibkan menjalankan hukum Injil. Kita boleh membuat undang-undang
menurut teknik pembikinannya, memakai fasal-fasal dan ayat suci, tapi dasarnya
wajiblah hukum Allah dari Kitab-kitab Suci, bukan hukum buatan manusia atau
diktator manusia. Katakan itu terus terang, dan jangan takut! Dan insflah bahwa
rasa takut orang menerima hukum Islam ialah karena propaganda terus menerus
dari kaum penjajah selama beratus tahun. Sehingga, orang-orang yang mengaku
beragama Islam pun kemasukan rasa takut itu”. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 6)
Demikian nasihat M Natsir dan Buya Hamka. Sebagai umat
Islam, apalagi aktivis partai Islam, kita harus percaya diri bahwa Islamlah
yang cukup dan cakap sebagai aturan dalam mengelola bangsa ini. Apalagi,
cita-cita para as-saabiqunal awwalun bangsa ini dalam memerdekaan negeri ini
adalah agar hukum Islam bisa ditegakkan, bukan hukum buatan manusia apalagi
hukum buatan kolonial. Cita-cita menegakkan Islam harus terus disuarakan dan
diperjuangkan. Karena, perjuangan menegakkan syariat Islam adalah perjuangan
akidah, bukan perjuangan tawar menawar yang bisa dikompromikan.
“Adalah satu hal yang sangat tidak bisa diterima akal;
mengaku diri Islam, mengikut perintah Allah dalam hal sembahyang (shalat)
tetapi mengikuti teori manusia dalam pemerintahan”, demikian ujar Buya Hamka.
(al-mustaqbal)
0 comments:
Post a Comment