Friday 29 December 2017

Pengelolaan Zakat di Indonesia Masih Belum Efektif, Mengapa?



Indonesia dalam Undang-undangnya menjamin kemerdekaan tiap-tiap individu untuk menganut dan menjalankan aturan agamanya. Maka zakat sebagai salah satu Rukun Islam menjadi kewajiban individu muslim dari populasi muslim terbesar di dunia. Kemajuan pengelolaan zakat harus kita terima, disamping ketidakefektifan tata kelola zakat di negeri kita. Masyarakat sebagai subjek harus diatur oleh lembaga yang berwenang sehingga pengelolaan itu bisa terwujud secara efektif. Faktanya, justru diluar harapan bersama. Mungkin beberapa alasan di bawah ini bisa menjelaskan sebab pengelolaan zakat yang tidak efektif di Indonesia:
  1. Kesadaran masyarakat yang kurang terhadap peran zakat bagi perekonomian. Zakat sebagai intrumen penting tidak hanya sebatas pemenuhan rukun Islam, namun lebih luas dalam sudut pandang agama, sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Dorongan zakat yang terlihat saat ini hanya dari sisi pemenuhan kewajiban muzakki (orang yang membayar zakat), padahal ada hal penting lain berupa sisi kemanfaatan masa depan bagi mustahik(orang yang menerima zakat). Zakat sebagai instrumen penting distribusi ekonomi agar harta para aghniya (orang kaya) bisa beredar ke kalangan dhuafa (orang lemah ekonomi). Menurut data salah satu LAZ terpercaya, Dompet Dhuafa, menilai potensi zakat di Indonesia bisa mencapai Rp. 217 trilyun. Namun realistisnya yang terhimpun baru sekitar Rp. 2,73 trilyun, artinya baru sekitar satu persen zakat yang terhimpun dari potensi zakat yang ada di Indonesia. (Kompas.com 2/7/16). Dari realitas ini masyarakat harus kembali digalakkan pemahamannya tentang zakat, karena awamnya yang dipahami masyarakat hanya berupa zakat fitrah yang dikeluarkan saat Bulan Ramadhan saja. Padahal, jenis zakat dan tujuan berzakat itulah yang penting diedukasi kepada masyarakat. 
  2. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah yang lemah dan tidak transparan. Harus diakui bahwa BAZ yang dibentuk pemerintah masih jauh dari prinsip professional-productive. BAZ Daerah yang dibentuk oleh pemerintah hanya menerima pengumpulan yang sifatnya masih terbatas pegawai negeri dan zakat profesi. Meskipun tidak semua, tapi kebanyakan masyarakat lebih memilih LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dibentuk oleh non-pemerintah karena lebih dipercaya dan lebih fleksibel untuk pengumpulannya. Zakat yang dibayarkan dapat dilakukan sewaktu-waktu dan bentuk zakat yang disalurkan bermacam-macam, seperti zakat fitrah, zakat mal, zakat profesi, zakat pertanian, zakat fidyah, qurban, hingga menerima shodaqoh berupa pakaian dan barang-barang bekas yang masih layak dan bisa dimanfaatkan kembali. Jika dilihat, masyarakat Indonesia lebih menginginkan hal yang praktis dan mudah dalam pengelolaan zakat. Keterbatasan lembaga pemerintah tidak menutupi perspektif masyarakat akan kekurangan yang dimiliki, bisa jadi karena faktor ketidaknyamanan saja; atau bisa jadi ketidakpercayaan itu muncul atas lemahnya sistem birokrasi dan good governance dalam tubuh lembaga itu sendiri. Maka penting untuk mengatur positioning lembaga pemerintah terhadap zakat sehingga masyarakat tidak hanya sekedar pemenuhan pribadi atas kewajiban agamanya, tapi karena dorongan kesejahteraan masyarakat yang harus dikelola oleh negara. 
  3. Kurangnya dukungan negara untuk proaktif dalam berjalannya UU tentang zakat. Tugas pemerintah tidak hanya menyediakan pelayanan dan menciptakan kondisi yang kondusif, harus ada ketegasan yang ditunjukkan kepada para muzakki agar terwujudnya pembangunan ekonomi bersama melalui zakat. Pendekatan harus terus dilakukan oleh pemerintah berbarengan dengan penekanan akan pentingnya membayar zakat bagi seorang muslim. Sayangnya tidak ada sanksi yang dijelaskan bagi yang tidak membayar zakat, yang ada sanksi bagi lembaga pengelola yang menyalahi aturan. Berbeda dengan zaman Abu Bakar ash Shiddiq yang tegas terhadap rakyatnya yang tidak membayar zakat, zaman sekarang pemerintah justru tegas terhadap rakyat yang tidak membayar pajak, itupun dirsak citranya karena pengelolaan pajak yang amburadul karena sering menjadi objek korupsi.
  4. Tidak adanya standar baku tentang zakat ditengah heterogen masyarakat yang awam terhadap zakat. Masyarakat awam hanya mengetahui pembayaran zakat hanya saat bulan Ramadhan, selain zakat fitrah jarang orang yang paham akan hukum kewajiban zakat lainnya. Meskipun sebagian sudah paham, banyak yang menyalurkannya langsung kepada orang yang membutuhkan (mustahik) atau lembaga penyalur non-pemerintah. Hal ini timbul karena menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, dikarenakan buruknya sistem pemerintahan ditengah maraknya korupsi pejabat negara. Dikhawatirkan pendistribusiannya memakan waktu lebih lama, tidak merata, atau ada pemotongan biaya. Apalagi keluarnya UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat melahirkan multitafsir sehingga kontroversi untuk menggugat UU ini ke pengajuan banding Mahkamah Konstitusi semakin banyak dibicarakan. Terutama bagi para Amil (pengelola) Zakat yang sudah dipercaya oleh masyarakat namun dibatasi geraknya karena ada syarat ormas yang dicantumkan dalam Undang-undang.
  5. Distribusi zakat hanya untuk kepentingan konsumtif masyarakat. Zakat yang disalurkan untuk konsumsi masyarakat tidaklah salah, karena tujuan zakat untuk memenuhi kebutuhan dasar mustahik. Namun alangkah baiknya jika penyaluran zakat didistribusikan untuk kepentingan produktif sehingga kaum dhuafa mampu mandiri dan manfaatnya dirasakan untuk jangka panjang. Hal ini yang menjadikan zakat mampu mengentaskan kemiskinan, karena prinsipnya masyarakat tidak diberikan ikan segar melainkan alat pancing yang akan mereka gunakan untuk menangkap ikan lebih banyak. Disamping itu Islam memandang keharusan pemerintah untuk menjamin kebutuhan asasi manusia berupa kesehatan, keamanan, pendidikan, dan makanan pokok bagi setiap individu rakyatnya.
Sumber : https://www.kompasiana.com/afif114/mengapa-pengelolaan-zakat-di-indonesia-masih-belum-efektif_58c799c1ca23bd3c089ceb66

Tuesday 26 December 2017

Pelita Yang Menerangi



Dalam al-qur'an, ditemukan kata السراج (as-siraj, pelita) di empat tempat. Tiga diantaranya diungkapkan untuk menunjukkan ke Maha Kuasa-an Allah SWT, yaitu pada ayat-ayat berikut ini :

(تَبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيرًا)

[سورة الفرقان 61]

Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya. (TQS.Al-Furqan 61)

(وَجَعَلَ الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُورًا وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا)

[سورة نوح 16]

Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? (TQS.Nuh 16)

(وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا)

[سورة النبأ 13]

Dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari). (TQS.An-Naba 13)

Para ahli tafsir mengatakan bahwa pelita yang dimaksud pada tiga ayat di atas adalah matahari.

Melalui ayat-ayat ini, Allah SWT mengajak manusia untuk berfikir dan merenungi ciptaan-Nya.Tidakkah manusia memperhatikan matahari, pelita besar yang menerangi dan memancarkan energi yang dibutuhkan kehidupan ? Siapakah pencipta dan pengaturnya? Dia lah Allah Al-Khaliq Al-Mudabbir yang Maha Kuasa atas semua itu.

Ayat keempat dalam al-qur'an yang mengungkapkan kata pelita adalah ayat berikut ini :

(يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا)

[سورة اﻷحزاب 45]

(وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا)

[سورة اﻷحزاب 46]

Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,

Dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi pelita yang menerangi.(TQS.Al-Ahzab 45-46)

Tentu kata pelita di ayat ini tidak dimaknai dengan arti yang sebenarnya.

Imam Al-Baghawi memberikan penjelasan terkait hal ini, ia mengatakan dalam tafsirnya

سماه سراجا لانه يهتدي به كا لسراج يستضاء به فى الظلمة

Rasulullah SAW disebut sebagai pelita karena darinya bisa diperoleh petunjuk, seperti pelita yang bisa diminta penerangan saat gelap.

Sungguh, risalah Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah pelita yang telah mengeluarkan manusia dari kegelapan, membawanya pada kebenaran yang terang benderang.

Dan saat seseorang menjauh dari petunjuk Rasulullah, mengingkari sunnahnya, juga mencampakkan syariah-Nya berarti ia sedang berjalan menuju lorong kegelapan tanpa cahaya.

Wallahu a'lam bish shawwab

Oleh : Abu Fawwaz

Thursday 23 November 2017

Kuliahmu Bukan Sekedar Meraih Gelar Sarjanamu



Sudah 3 tahun kuhabiskan masa mahasiswaku di bangku kuliah S1. Waktu tak terasa menemani, rasanya baru kemarin saya dikenalkan dengan dunia intelektual yang mengedepankan keilmuan dalam persaingan di dalamnya. Singkatnya masa kuliah takkan berarti bagi mereka yang hanya bertujuan mencapai gelar sarjana, tapi bagi mereka yang mencari keilmuan maka waktu kuliah itu akan terasa sangat singkat.

Kuliah itu bukan soal lulus cepat, tapi soal ilmu yang didapat. Lulus lalu mendapat gelar sarjana bukanlah hasil kuliah yang utama, sebab hasil kuliah itu ditentukan dari seberapa keras anda menuntut ilmu bukan seberapa keras anda mengerjakan skripsi atau tugas akhir kuliah.

Pernah dengar berita tentang rektor UNJ dicopot sementara gara-gara penyelewengan program akademik, termasuk kasus plagiarisme di tingkat doktoral yang melibatkan lulusan berstatus pejabat negara. Saya tidak ingin singgung rektornya, atau almamater kampusnya, tapi coba lihat para lulusan hasil dari ‘ulah’-nya. Maka wajar jika tata kelola negeri ini banyak yang salah pengendalian atau kurangnya aturan karena pejabatnya (tidak semua ya) berkualitas ijazah palsu.

Hal mengerikan itu pun bisa terjadi kepada mereka yang (mungkin) ijazah mereka asli, tapi karena mengejar lulus mereka lupa berpikir “Sudah layakkah kapasitas saya di masyarakat saat saya dipandang sebagai seorang sarjana?”. Mungkin ilmu yang menjadi tanggungjawab anda hanya akan berimbas kepada diri anda, tapi peran kita di masyarakat saat dikecewakan tidak hanya akan berimbas kepada diri kita.

Bisa jadi ilmu anda saat berada di kampus bermanfaat, belum tentu ilmu itu bisa diaplikasikan di masyarakat. Logikanya, lihat berapa orang yang lulus kuliah setiap tahunnya, mungkin ribuan. Lihat berapa orang yang dipandang bermanfaat ilmu kuliahnya di masyarakat, mungkin beberapa. Artinya lulus kuliah itu mudah jika dibandingkan mempertanggungjawabkan ilmu kuliah yang besar. Jangan sampai kita terlena mengejar sesuatu yang mudah, tapi lupa dan menyesal saat dihadapkan dengan sesuatu yang besar.

Lalu apakah lulus cepat itu salah? Tidak. Justru lebih baik karena mengurangi beban atas keberadaanmu saat masih kuliah. Baik beban bagi orang tua mu membiayai kuliah, maupun beban kampusmu yang harus menampung keberadaan mahasiswa lama.

Kira-kira apa bedanya antara mahasiswa yang sudah lulus dengan yang belum lulus? Jika perbedaannya hanya gelar, maka rugi anda kalau kuliah masih mengejar sekedar gelar dunia. Lalu perbedaannya apa? Apakah kerja? Belum tentu, karena ada saja orang yang kuliah sambil kerja. Lalu apa? Bedanya kalau masih kuliah kita masih punya kesempatan bebas menyelami dunia keilmuan dan lingkungan intelektual, sedangkan jika sudah lulus maka apa hak kita untuk bisa belajar di kampus. Ingin diskusi akan dibatasi, ingin konsultasi kepada dosen akan diabaikan, semuanya terbatas karena kalian sudah bukan lagi mahasiswa.

Mari jadi mahasiswa yang siap mempertanggungjawabkan ilmu kita, bukan gelar kita. Tidak semua orang yang ditokohkan oleh masyarakat memiliki titel panjang dan gelar bergengsi. Terkadang hanya berguru kepada seorang imam di pedalaman dan menghabiskan waktu pulangnya dengan mengajarkan ilmu itu, rupanya bisa membawa diri dia menjadi orang berpengaruh di masyarakat. Seandainya seorang Ibnu Taimiyah memiliki gelar sarjana, mungkin baginya skripsi hanyalah hasil kecil dari sekian besar karyanya. Adakah kalian hafal gelar seorang Marx Zuckerberg? Atau seorang Steve Jobs? Bahkan lulus kuliah pun tidak. Yang masyarakat tahu bukan gelarnya namun karyanya, sedangkan karya itu lahir dari hasil pembelajarannya, bukan hasil skripsi atau gelar serjananya.

Banyaknya sarjana menganggur karena mereka belum mengerti arti survive yang sebenarnya. Seandainya mereka punya cukup ilmu maka hal itu adalah modal besar baginya untuk mengexplore peluang pekerjaan. Lulus kerja akan berorientasi cari kerja, membina rumah tangga, dsb. Kelak kamu akan menyesal banyak waktu luangmu saat kuliah yang tidak dimanfaatkan untuk mencari ilmu sedangkan waktu sisa hidupmu terpaksa kau habiskan demi memenuhi kebutuhan hidupmu. Maka manfaatkan masa kuliahmu sebelum habis masa kuliahmu untuk bebas menuntut ilmu.

Menafkahkan Harta Yang Dicintai



Tadabbur Surat Al Baqarah Ayat 267

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بِ‍َٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ٢٦٧ 

267. Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji


Asbabunnuzul

QS Al-Baqarah, 2: 267

Diriwayatkan dari Jabir bahwasanya Rasulullah saw. memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menunaikan zakat fitrah dengan kurma. Lalu, datanglah seseorang yang menunaikan zakatnya dengan yang buruk-buruk. Maka dari itu, turunlah ayat ini. Diriwayatkan pula dari lbnu Abbas bahwa para sahabat Rasulullah saw. biasa membeli kurma yang murah kemudian menyedekahkannya. Lalu, turunlah ayat ini. (Lubabun Nuqul: 38)


Khazanah Pengetahuan

Qs. Al-Baqarah 2: 267

Menafkahkan Harta yang Dicintai

Allah telah menyatakan dalam salah satu firman-Nya bahwa menafkahkan harta yang dicintai merupakan amalan yang terbaik. Hanya dengan cara inilah, dapat dilihat apakah seseorang itu benar-benar bisa menjadi bertakwa.

"Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui." (QS Ali Imran, 3: 92).

Walaupun dapat mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya, seseorang mungkin masih memiliki hasrat yang melekat terhadap harta yang dimiliknya sehingga masih ada keengganan untuk menafkahkan harta tersebut. Atau, ketika ia membagikan hartanya kepada saudara muslimnya, bisa jadi ia lebih mengutamakan dirinya sendiri daripada saudaranya. la menyimpan harta yang paling berharga untuk dirinya sendiri dan memberikan yang tersisa bagi saudaranya.

Meskipun demikian, hati kecilnya mengingatkannya bahwa dengan menafkahkan apa-apa yang dicintainya adalah jauh lebih berharga dan lebih baik. Akan tetapi, hasrat seperti ini yang ada dalam dirinya, akan menghambat perilaku yang sesuai dengan kebaikan akhlaknya dan menghambatnya untuk beramal dengan ikhlas dan tulus. (Harun Yahya, Keikhlasan Dalam Telaah Al Qur'an, 2003)


Tasir At Tabari

Maksud ayat ini adalah Allah Swt. menganjurkan kepada hamba-Nya agar bersedekah dan berzakat wajib atas mereka. Harta yang dimiliki mereka terdapat hak orang yang layak diberi sedekah. Allah Ta'ala memerintahkan agar mengeluarkan harta yang baik dan berkualitas. Hal ini, karena penerima sedekah merupakan bagian dari pemilik harta yang wajib disedekahkan.

Sebab itu, penerima dan pemberi sedekah bersekutu dalam harta tersebut. Masing-masing mendapatkan jatahnya sesuai dengan bagiannya, dan janganlah salah satu di antara keduanya melarang yang lain untuk mendapat hak dari harta tersebut. Para muzakki dilarang memberikan harta yang buruk kepada penerima zakat, atau bahkan melarang mereka mendapatkan haknya, sebab mereka juga merupakan pemilik sebagian harta tersebut. Begitupun, jika pemilik harta hanya memiliki harta yang buruk, maka penerima zakat mendapatkan harta yang berkualitas serupa. Juga tidak lantas memberikan harta yang baik kualitasnya tapi dari harta yang bukan haknya.

Namun jika seseorang memberi sedekah yang tidak diwajibkan, hendaklah memberikan harta yang berkualitas dan baik. Karena Allah Swt. lebih berhak untuk ditaqarrubi dengan harta yang paling baik. Sedangkan sedekah merupakan usaha seorang Mukmin untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak berarti diharamkan seseorang yang bersedekah dengan harta yang tidak berkualitas, sebab bisa saja harta yang kurang kualitasnya, lebih bermanfaat karena banyaknya, lebih besar dibutuhkannya, dan lebih diperlukan oleh orang miskin. Daripada memberikan harta yang berkualitas, tapi sedikit atau kecil dibutuhkannya atau sangat sedikit kemanfaatannya bagi penerima. (Tafsir At-Tabari Jilid lV, 2001: 694-711)


Tafsir Ibnu Kasir

Ayat ini berisi kabar gembira bagi orang-orang yang mau bersedekah dengan sesuatu yang baik Sedekah bisa berupa barang, sayuran, buah dan sebagainya. Allah Swt. selalu menyerukan kepada mereka agar sepenuh hati dalam beramal Keikhlasan beramal dapat ditunjukkan dengan menginfakkan sesuatu yang baik. Jika menginfakkan sayuran atau buah-buahan, misalnya, hendaknya ia memilih sayur atau buah yang berkualitas tinggi. Allah Swt. Maha baik dan menyukai sesuatu yang baik pula.

lbnu Jarir meriwayatkan dari Bara bin Azib bahwa ayat ini ditujukan kepada sahabat Anshar. Saat panen kurma, mereka memilih yang baik dan kemudian disimpan Jenis kurma yang jelek kemudian dikeluarkan dari keranjang dan diikat dengan tali. Kurma yang jelek tersebut lalu dibawa ke masjid dan digantungkan agar dimakan oleh kaum fakir dari sahabat Muhajirin. Allah Swt. kemudian menurunkan ayat ini.

Dalam ayat ini, Allah Swt. menegur orang yang suka menginfakkan barang "sisa". Teguran ini bisa diungkapkan dengan bahasa lain, ”Bagaimana Allah bisa ridha dengan sesuatu yang mereka sendiri tidak ridha." Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman sebagai berikut. "Kamu tidak akan memperioleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui" (QS Ali 'lmran 3: 92)

Diakhir ayat dijelaskan, Allah Swt adalah Zat Mahakaya yang tidak membutuhkan apa pun dari hamba-Nya, (AI-Misbah AI-Munir fi Tahzib Tafsir Ibnu Kasir, 1999: 152)


Hadis Shahih

Qs. Al Baqarah, 2: 265

Abu Hurairah r.a mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Tidak satu hari pun seorang hamba memasuki pagi harinya melainkan dua malaikat turun. Lalu, salah satu dari keduanya berdoa, 'Ya Allah berikanlah ganti kepada orang yang menginfakkan (hartanya)' Malaikat yang lain lagi berdoa, 'Ya Allah, berikanlah kehancuran kepada orang yang menahan (infak)'" (HR Bukhari, 718)


Saturday 11 November 2017

Siapa Yang Berwenang Dalam Pembatalan dan Eksekusi Basyarnas?




Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam pengaturannya secara lengkap dijelaskan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Saat terjadi pembatalan dan eksekusi keputusan arbitrase maka dikembalikan kepada pengaturan UU yang berlaku.

Dalam Pasal 61 diatur, “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Dan dalam Pasal 71 diatur, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”. Diperkuat dalam Pasal 72 Ayat (1) bahwa, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri”.

Jika melihat UU yang berlaku maka kewenangan keputusan terkait pembatalan dan eksekusi arbitrase diserahkan kepada pengadilan negeri. Hal ini berlaku pula awalnya bagi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang pengaturannya mengacu kepada pengaturan arbitrase pada umumnya sesuai UU. Polemik itu muncul saat dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Terdapat kewenangan baru bagi Pengadilan Agama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 49 UUPA yakni kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang Ekonomi Syariah.

Sejak UUPA terbaru disahkan, praktik Ekonomi Syariah di Indonesia mengalami perkembangan. Keluarnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjadi bukti bahwa perkembangan praktik syariah dalam lingkungan perbankan mulai mengalami peningkatan. Meskipun praktik perbankan syariah hanya salah satu contoh dari beberapa praktik ekonomi syariah yang dijelaskan oleh UU, yang lainnya seperti: lembaga keuangan mikro syari'ah; asuransi syari'ah; reasuransi syari'ah; reksa dana syari'ah; obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; sekuritas syari'ah; pembiayaan syari'ah; pegadaian syari'ah; dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan bisnis syari'ah.

Terkait penyelesaian sengketa, UUPS dalam Pasal 55 menyebutkan bahwa:

(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Maka penyelesaian senketa pada awalnya diserahkan kepada Peradilan Agama, namun tidak menjadi ketentuan mutlak tergantung kehendak para pihak. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat dilakukan di luar lingkungan Peradilan Agama, sebagaimana dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2) bahwa: Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:

a. musyawarah;

b. mediasi perbankan;

c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Namun penjelasan Pasal 55 Ayat (2) ini dianggap tidak berlaku alias tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Hal ini didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, sebab bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 agar adanya kepastian hukum. Awalnya Peradilan Agama dan Peradilan Negeri sama-sama menerima, memeriksa, dan memutus perkara ekonomi syariah. Dualisme kewenangan ini menjadi kerancuan dalam memastikan penyelesaian hukum, sehingga putusan MK menjadikan kepastian atas kewenangan absolut Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa Ekonomi Syariah.

Tapi bagaimana dengan jalur arbitrase yang kewenangan pembatalan dan eksekusi diserahkan kepada Peradilan Negeri? Bukankah penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut bagi Peradilan Agama? Polemik ini akhirnya diselesaikan pada tanggal 10 Oktober 2008 dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Dalam poin (4) menyebutkan bahwa, “Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syari’ah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari’ah, maka Ketua Pengadilan Agama lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syari’ah.”

Artinya, secara tidak langsung SEMA No. 8 Tahun 2008 secara tidak langsung menghilangkan substansi Pasal 61, 71 dan 72 UU No. 30 Tahun 1999 yang awalnya pembatalan dan eksekusi arbitrase syariah yang mengacu praktik arbitrase pada umumnya diserahkan kepada Peradilan Negeri lalu dirubah menjadi kewenangan Peradilan Agama.

Tapi rupanya peraturan ini tak berlaku lama, sebab keluarnya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 59 Ayat (3) menyebutkan bahwa, “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Ditegaskan kembali dalam penjelasan Pasal 59 Ayat (1) bahwa, “Yang dimaksud dengan “arbitrase” dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah.”

Hal ini yang menjadi alasan benturan hukum atas penyelesaian sengketa di arbitrase syariah. Polemik ini menimbulkan ketimpangan hukum, sehingga keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2010 tentang penegasan tidak berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.

Ketegangan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum (Peradilan Negeri dan Peradilan Tinggi) terjadi lagi meskipun keduanya merupakan dua lembaga peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung. Ketegangan ini ditandai dengan diterbitkannya surat nomor 57/Wk.MA.Y/VIII/2010 tertanggal 30 Agustus 2010 tentang Penegasan Berlakunya SEMA No. 8 Tahun 2010. Substansi surat wakil ketua Mahkamah Agung RI ini terdiri dari dua bagian:

1. Berlakunya Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 59 ayat (3) berikut penjelasannya, maka dengan sendirinya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah, telah kehilangan roh; dan

2. Atas dasar tersebut, dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah) secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, sebagaimana telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2010 dan bukan lagi dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam angka 4 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008.

SEMA No. 8 Tahun 2008 yang diterbitkan oleh Ketua Mahkamah Agung saat itu H. Bagir Manan rupanya tidak berlaku lagi semenjak beralihnya estafet kepemimpinan yang digantikan oleh H. Harifin Tumpa yang menerbitkan SEMA No. 8 Tahun 2010. Rupanya dinamika internal ini berlum berakhir, hingga beralih kembali estafet Kekuasaan MA yang dipegang oleh H. M Hatta Ali pada tanggal Desember 2016 menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. Dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa:

(1) Pelaksanaan putusan perkara ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

(2) Pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya, dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

(3) Tata cara pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dengan adanya PERMA No. 14 Tahun 2014 ini menegaskan bahwa proses pembatalan dan eksekusi arbitrase syariah menjadi kewenangan absolut pengadilan di bawah Peradilan Agama. Maka hal ini menjadi babak baru bagi Pengadilan di bawah Peradilan Agama untuk selanjutnya menangani setiap perkara sengketa arbitrase yang membutuhkan pembatalan dan eksekusi, tentunya penanganan ini dibutuhkan tata kelola yang maksimal baik dari segi SDM atau administrasi pengadilan. Tantangan yang perlu dijawab dan dijalankan bagi pengadilan di bawah Peradilan Agama di Indonesia.

Friday 10 November 2017

Pelajaran Penting dalam Kematian



Tadabbur Al Ankabut Ayat 56-57

يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ أَرۡضِي وَٰسِعَةٞ فَإِيَّٰيَ فَٱعۡبُدُونِ ٥٦ كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۖ ثُمَّ إِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ ٥٧ 

56. Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja

57. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan


Asbabun Nuzul

QS Al-‘Ankabut, 29: 56

Ketika kaum muslimin hendak meIaksanakan perintah hijrah ke Madinah, mereka merasa khawatir bila meninggalkan Mekah, mereka akan mendapatkan keadaan yang lebih suIit, seperti kelaparan dan kekurangan harta benda. Maka dari itu, turunlah ayat ini sebagai jaminan dari Allah dan supaya kepada Allah mereka mengabdi. (At Tafsir AI Wajiz 'ala Hamisil Qur'anil 'Azdim, 404)


Khazanah Pengetahuan

Qs. Al 'Ankabut, 29: 57


Pelajaran Penting dalam Kematian


”Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan." (QS Al-‘Ankabut, 29: 57)

Kematian bukanlah "bencana" yang harus dilupakan, melainkan pelajaran penting yang mengajarkan manusia kepada arti hidup yang sebenarnya. Dengan demikian, kematian seharusnya menjadi bahan pemikiran yang mendalam. Seorang muslim akan benar-benar merenungi kenyataan penting ini dengan kesungguhan dan kearifan. Mengapa semua manusia hidup pada masa tertentu dan kemudian mati?

Semua makhluk hidup tidak akan kekal. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan dan tidak mampu menandingi Kekuasaan Allah. Allah-Iah satu-satunya Pemilik kehidupan; semua makhluk hidup dengan kehendak Allah dan akan mati dengan kehendak-Nya pula, seperti dinyatakan dalam Al Qur'an QS. Ar-Rahman, 55: 26-27.

Setiap orang akan mati. Namun, tidak seorang pun dapat memperkirakan di mana dan kapan kematian akan menghampirinya. Tidak seorang pun dapat menjamin ia akan hidup pada saat berikutnya. Karena itu, seorang muslim harus bertindak seolah-olah mereka sebentar lagi akan didatangi kematian. Berpikir tentang kematian akan membantu seseorang meningkatkan keikhlasan dan rasa takut kepada Allah, dan mereka akan selalu menyadari akan apa yang sedang menunggunya, sesuatu yang pasti datangnya, tidak bisa ditunda tidak bisa pula di segerakan. (Harun Yahya. Nilai-Nilai Moral Al-Qur’an, 2004)


Tafsir At Tabari
Allah Swt menegaskan kepada orang-orang mukmin yang menjadi pengikut Nabi Muhammad saw; "Berhijrahiah kalian dari negeri syirik, dari Mekah ke negeri damai Madinah; Karena sesungguhnya Bumi-Ku sangatlah luas terbentang, bersabarlah kalian dalam rangka menyembah-Ku. Ikhlaskanlah kalian daIam taat kepada-Ku karena sesungguhnya kalian akan mati dan kembali kepada-Ku. Sesungguhnya setiap jiwa yang hidup akan merasakan kematian dan hanya kepada Kami lah setelah kematian itu semuanya akan dikembalikan." (Tafsir At-Tabari Jilid XVIII 2001; 435)


Tafsir Ibnu Kasir


lni adalah perintah dari Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya untuk hijrah dari negeri di mana mereka tak bisa melaksanakan agama ke bumi Allah yang luas. Bumi di mana mereka bisa menegakkan agama; mengesakan Allah dan menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman, Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman Sungguh, Bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku (saja) Karena itu, ketika posisi 'orang-orang yang lemah di Mekah semakin melemah, mereka melakukan hijrah ke negeri Habasyah agar mereka bisa melaksanakan agamanya dengan aman. Mereka mendapatkan orang-orang yang menyambutnya dengan baik di sana, yakni Ashamah An-Najasyi, Raja Habasyah. la menyambut dan memberikan pertolongan kepada mereka. la menjadikan mereka sebagai orang-orang yang istimewa di negerinya. Setelah itu, Rasulullah saw. dan sahabat-sahabat lainnya hijrah ke Madinah Munawwarah, Yatsrib yang suci,

Firman Allah, (Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan) Artinya di mana pun kamu sekalian berada, maut pasti akan menjemput. Maka taatlah kepada Allah Swt., seperti yang diperintahkan oleh-Nya. Hal itu lebih baik bagi kamu sekalian, sebab kematian adalah pasti dan sesuatu yang takvbisa dihindari. Kepada Allah-Iah tempat kembali dan tempat berlabuh. Barang siapa yang taat kepada-Nya. Dia akan membalasnya dengan balasan yang paling baik dan memberinya pahala yang paling sempurna. Sebab itulah Allah Swt. berfirman, (Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh, mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi (di dalam surga), yang mengalir di bawahnya sungai-sungai) Artinya Kami akan tempatkan mereka di tempat yang tinggi di surga, di bawahnya sungai mengalir dengan berbagai macam jenis; air, khamar, madu, dan susu. Mereka bisa membentuknya dan mengalirkannya sesuai dengan kehendak mereka.

Firman Allah, (Mereka kekal di dalamnya) adalah mereka tinggal di sana selamanya dan tidak ingin berbuat hal lain. Maksud firman Allah, (ltulah sebaik-baik balasan bagi orang yang berbuat kebajikan) adalah keindahan kamar-kamar ini merupakan balasan bagi perbuatan orang-orang yang beriman, ((yaitu) orang-orang yang bersabar) atas agama mereka. Mereka hijrah kepada Allah meninggalkan keluarga dan kerabat untuk mencari ridha Allah.

Abu Malik Al-Asy'ari menceritakan, Rasulullah saw. pernah bercerita kepadanya bahwa di surga terdapat kamar-kamar yang bisa dilihat sisi dalamnya dari Iuar dan sisi luarnya dari dalam. Allah menyediakan kamar-kamar itu untuk orang-orang yang dermawan, berkata baik, melaksanakan shalat dan puasa, dan melakukan shalat malam saat orangorang lain tidur. (AI-Misbah AI-Munir fi Tahzib Tafsir Ibnu Kasir, 1999: 831)


Hadis Shahih


Dari Abu Hurairah r.a. dia berkata. Rasulullah saw. bersabda “Sesungguhnya pada jintan hitam itu terdapat obat untuk segala macam penyakit kecuali kematian" (HR Muslim, 4104)

Thursday 2 November 2017

Setan Berusaha Menghalangi Manusia untuk Menyadari dan Berbuat Kebaikan


Tadabbur Surat Al Baqarah Ayat 44

۞أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٤٤ 

44. Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir


Asbabun Nuzul
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun berkenaan dengan segolongan Yahudi di Madinah. Di antara mereka ada yang berkata kepada saudara kandung, kerabat, dan saudara-saudara sesusunya dari kaum muslimin agar mereka tetap dalam agama Muhammad yang telah dianutnya dan menaatinya. Mereka menyuruh orang Iain, tetapi diri mereka tidak melakukannya. (Lubabun NuquI: 9)


Khazanah Pengetahuan

Setan Berusaha Menghalangi Manusia untuk Menyadari dan Berbuat Kebaikan


Di dalam Al-Qur‘an, Allah mengatakan bahwa setan sangatlah kufur dan suka melawan. Kita juga belajar dari AI-Qur‘an bahwa setan akan mendekati manusia dari setiap arah dan ia akan berusaha dengan segala cara untuk membawa manusia kepada kebejatan moral. Metode yang paling sering dilakukan setan dalam rencana jahatnya adalah menghalangl manusia dari melihat kebaikan dalam segala peristiwa yang menimpanya.

Dengan cara demikian, ia juga berusaha untuk menyesatkan manusia kepada pemberontakan dan kekufuran. Orang yang tidak mampu memahami keindahan akhlak Al Qur‘an akan jauh dari ajaran Islam dan mereka yang menghabiskan hidup mereka untuk mengejar kesiasiaan dan melupakan akhirat akan mudah jatuh ke dalam perangkap setan.

Seseorang harus melatih kesabarannya supaya ia dapat berusaha melihat kebaikan dalam semua peristiwa, untuk menunjukkan ketundukan dan kepercayaannya kepada Allah. Ketidakmampuan untuk melatih kesadaran seseorang hanya akan membawa kepada sikap yang salah (Iihat QS Al-Baqarah, 2: 268, Al-A’r'af, 7: 200-201).

”Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui." (QS AI-Baqarah, 2: 268). (Harun Yahya, Melihat Kebaikan di Segala Hal, 2004).


Tafsir At Tabari

Pada dasarnya para ahli tafsir sepakat bahwa (Mengerjakan kebajikan) berarti segala bentuk ketaatan kepada Allah Namun, ketaatan macam apa yang dimaksud kata (Mengerjakan kebajikan) dalam ayat ini? Para ahli tafsir berbeda pendapat; Menurut lbnu 'Abbas, (Mengerjakan kebajikan) dalam ayat ini adalah iman kepada Nabi Muhammad saw., masuk agamanya dan mengikuti ajarannya. Sedangkan menurut lbnu Juraij adalah shalat dan puasa. Adapun menurut As Saddi adalah taat kepada Allah. Sedangkan menurut Qatadah adalah taat dan takwa kepada Allah serta berbuat kebaikan.

Walaupun para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai makna kata (Mengedakan kebajikany) dalam ayat ini, menurut At Tabari, semuanya sepakat bahwa ayat ini merupakan teguran kepada kaum (Bani lsrail dan kaum mana pun termasuk Umat Isiam) yang menyuruh manusia kepada perkataan dan perbuatan yang diridhai AIIah, tapi mereka melupakan diri sendiri. Karena Itu menurut Ibnu Juraij sudah sepatutnya yang menyeru kepada kebaikan untuk terIebih dahulu mengamaikan.

Kalimat (Tidakkah kamumengerti?) pada akhir ayat ini adalah ceIaan, terhadap Bani lsrail, karena menyuruh orang Iain berbuat kebaikan, padahaI mereka sendiri tidak melakukan. Mereka meIarang orang Iain berbuat keburukan, tapi mereka sendiri suka meIakukan. Mereka menyeru manusia agar beriman kepada Nabi Muhammad dan tisaIahnya, namun mereka sendiri mengingkari. Tidakkah mereka menyadari betapa buruknya perbuatan itu. (Tafsir At-Tabari Jilid 1, 2001: 613-617)


Tafsir Ibnu Kasir


Dalam ayat ini Allah Swt. menegur Ahlul Kitab yang selalu memerintahkan kebaikan, tetapi tidak pernah melakukannya. Mereka telah memahami kebenaran yang dianjurkan Allah Swt., lalu mereka menyerukannya kepada orang lain tetapi mereka justru melakukan pembangkangan terhadap Allah Swt. Mereka lbarat orang buta tetapi memerintahkan orang lain untuk melihat.

Abdurrazzaq meriwayatkan dari Qatadah bahwa dalam ayat ini, Bani lsrail memerintahkan orang lain untuk selalu bertakwa kepada Allah Swt. dan melakukan kebaikan, Akan tetapi mereka sendiri tidak konsisten dengan ucapan mereka ltu. As-Saddi dan lbnu Juraij menegaskan Ahlul Kitab dan kaum munafik memerintahkan umat manusia agar menunaikan shalat, puasa, zakat, dan selalu menyerukanagar beramal shaleh, namun mereka sendiri tidak melakukan semua itu.

Muhammad bin lshaq meriwayatkan dari lbnu ’Abbas bahwa mereka justru lalai dan melupakan keadaan diri mereka yang telah melakukan pembangkangan terhadap syariat Allah SWT. Mereka mengingkari kenabian dan melanggar syariat yang ada dalam kitab Taurat. lntinya, mereka tidak konsisten dengan seruan mereka kepada orang lain. Dengan ayat ini, Allah Swt. mengecam tindakan yang mereka lakukan yang selain menyerukan amar makruf, tetapi mereka sendiri tidak membenahi sikap mereka. Melakukan amar maruf nahi mungkar adalah perbuatan mulia, tetapi menjadi tercela jika orang yang melakukannya tersebut justru meiakukan pembangkangan terhadap syariat yang mereka serukan (Al-Misbah Al-Munir fi Tahzib Tafsir lbnu Kasir, 1999: 46-47)


Hadis Shahih


Dari An Nawwas bin Sam'an, Ia berkata "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan? Beliau menjawab "Kebajikan itu adalah akhlak yang mulia sedang, dosa itu adalah apa yang berada di dalam dadamu sedang kamu merasa benci orang-orang mengetahuinya." (HR Muslim, 4632)

Tuesday 31 October 2017

Ganjaran Atas Kedzaliman Karena Membela Agama Allah SWT



Tadabbur Surat An Nahl Ayat 41

وَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ فِي ٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ مَا ظُلِمُواْ لَنُبَوِّئَنَّهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗۖ وَلَأَجۡرُ ٱلۡأٓخِرَةِ أَكۡبَرُۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ٤١ 

41. Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui


Khazanah Pengetahuan

Membela Agama Allah


Orang beriman harus menghargai setiap saat dalam hidupnya untuk dekat kepada Allah dan melaksanakan kehendak-Nya. Jika alat ini berubah menjadi tujuan yang dilakukan oleh orang-orang ingkar ia segera berada dalam bahaya besar.

Orang-orang beriman hidup hanya untuk satu sebab, yaitu menyembah Allah dan karenanya mereka meninggalkan keduniawian.

Orang-orang beriman menjual jiwa dan hartanya kepada Allah dan tidak ada lagi hak baginya. Seluruh hidupnya dibaktikan di jalan yang Allah perintahkan. Jika Allah mengaruniai mereka, mereka akan bersyukur, dan jika mereka diperintahkan berjihad di jalan-Nya, mereka tidak merasa ragu sedikit pun, bahkan jika mereka mengetahui bahwa mereka sedang menuju kematian.

Orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya tidak akan lalai pada kepuasan pribadi dan tidak ada sesuatu pun di Bumi ini yang dapat mencegahnya dari berjihad dijalan Allah.

Mereka mampu meninggalkan keindahan nikmat Allah dan menyerahkanjiwa mereka tanpa ragu-ragu. Sebaliknya, orang-orang ingkar tidak akan menjual harta dan jiwa mereka kepada Allah. Kekurangan iman seperti ini akan dicatat dan dibalas dalam kehidupan mendatang.

”Katakanlah, 'Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik." (QS At-Taubah, 9: 24)

Keimanan yang sangat kuat pada diri para sahabat Nabi Muhammad saw. membuat mereka tidak pernah menolak pertempuran. Sebaliknya, beberapa di antara mereka ada yang berurai air mata ketika mereka tidak berkesempatan berjihad bersama Rasulullah saw. Pada ayat berikut, Allah menjelaskan perbedaan antara orang-orang yang ikhlas dan yang setengah hati. (Harun Yahya, Nilai-nilai Moral AI-Qur'an, 2004)


Tafsir At-Tabari


Maksud penggalan ayat (Dan orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dizaIimr', pasti Kami akan memberikan tempat yang baik kepada mereka di dunia) adalah orang-orang yang meninggalkan kaum, rumah dan tanah air mereka disebabkan permusuhan yang mereka alami, dan mereka itu adalah para sahabat Rasulullah saw. yang dianiaya oleh para pembesar Mekah, mereka diusir sampai akhirnya Allah mempertemukan mereka dengan kaum Anshar dan menempatkan mereka di Madinah, inilah juga tafsiran dari Asy-Sya'bi bahwa yang dimaksud dengan (Tempat yang baik kepada mereka di dunia) adalah kota Madinah. Pemaknaan ini lebih utama dan lebih benar daripada penafsiran-penafsiran yang lain. Termasuk ada pendapat bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Abu Jandal bin suhail, Wallahu A'lam

Adapun penggalan ayat (Dan pahala di akhirat pasti lebih besar) adalah sungguh benar-benar apa yang Allah janjikan berupa balasan dengan dimasukkannya ke surga-Nya adalah sesuatu yang lebih besar, (Sekiranya mereka mengetahui) (Tafsir At-Tabari, Jilid XIV, 2001: 223-226)


Tafsir Ibnu Kasir


Dalam ayat ini, Allah Swt. memberitahukan pahala yang akan diterima bagi orang-orang. yang berhijrah ke jalan-Nya demi meraih keridhaan-Nya. Orang-orang yang berhijrah ialah mereka yang rela meninggalkan rumah dan negerinya, berpisah dengan saudara dan sahabat karibnya atau apa pun, demi mengharap pahala dan ridha Allah; Barangkali yang menjadi sebab turun ayat ini adalah peristiwa hijrah ke Habasyah. Hijrah ini dilakukan karena semakin sengitnya siksaan yang ditimpakan oleh orangorang musyrik Mekah kepada kaum Muslimin.

Kemudian, turunlah perintah Allah Swt. untuk berhijrah ke Habasyah agar lebih nyaman beribadah menyembah Allah. Sejarah mencatat nama-nama sahabat yang turut hijrah ke Habasyah, beberapa di antaranyaadalah Utsman bin Affan beserta istrinya Ruqayyah binti Muhammad, Ja'far bin Abu Thalib sepupu Nabi saw., Abu Salamah bin Abdul Aswad dan sahabat lainnya yang kurang lebih mencapai delapan puluh orang laki-laki dan perempuan, sahabat dan sahabiyah yang amat jujur beribadah kepada Allah Swt.

Sungguh benar benar mereka telah memenuhi perintah Nya maka Allah pun menjanjikan mereka ganjaran di dunia dan kenikmatan abadi di akhirat. Oleh sebab itu Allah SWt. berfirman,: (Pasti Kami akan memberikan tempat yang baik kepada mereka di dunia yakni tempat yang baik dan layak semasa hidup di dunia) Setelah pahala yang mereka terima di dunia, Allah Swt. menjanjikan pahala akhirat yang tentu lebih agung dari apa yang mereka terima di dunia (Al-Misbah AI-Munir fi Tahzib Tafsir lbnu Kasir, 1999: 579).


Hadis Shahih


Dari Alqamah bin Waqash Al Laitsi, dia berkata "Saya mendengar Umar bin Khathab ra. berkata di atas mimbar 'Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda 'Sesungguhnya amal-amal itu hanyalah dengan niatnya dan bagi setiap orang hanyalah sesuatu yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya Dan, barang siapa yang hijrahnya kepada dunia, maka dia akan mendapatkannya. Atau kepada wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada sesuatu yang karenanya dia hijrah" (HR Bukhari, 1)

Monday 30 October 2017

Mengapa Allah Tidak Segera Menyiksa Orang-Orang Kafir?



Tadabbur Surat Asy Syu'ara Ayat 204

أَفَبِعَذَابِنَا يَسۡتَعۡجِلُونَ ٢٠٤ 

204. Maka apakah mereka meminta supaya disegerakan azab Kami

Asbabun Nuzul
QS Asy-Syu'ara', 26: 205-207

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Abu Jahdan bahwasannya ayat ini turun berkenaan dengan pertanyaan para sahabat kepada Rasulullah yang pada saat itu sedang gelisah. Beliau pun bersabda, ”Bagaimana tidak, aku melihat musuhku kelak berasal dari umatku sendiri?" Maka dari itu, turunlah kedua ayat ini dan jiwa beliau pun menjadi tenang. (Lubabun Nuqul: 149)


Khazanah Pengetahuan

Mengapa Allah Tidak Segera Menyiksa Orang-Orang Kafir?

”Bukankah mereka yang meminta agar azab Kami dipercepat?“ QS Asy-Syu'ara, 26: 204

Salah satu rahasia yang diungkapkan dalam Al-Qur'an adalah bahwa manusia tidak segera dibalas atas perbuatan buruk yang mereka lakukan, tetapi siksa tersebut ditangguhkan hingga waktu tertentu. Hal ini termaktub dalam QS Fatir, 35: 45 dan QS Al-Kahf,18: 58.

Banyak orang yang tidak segera dibalas atas perbuatan buruk mereka membuat mereka beranggapan tidak akan pernah diminta tanggung jawab atas perbuatan jahatnya hingga tidak mau bertobat, merasa menyesal, dan memperbaiki kesalahan serta semakin menambah keangkuhan mereka. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan akan menyebabkan datangnya azab yang semakin berat di akhirat kelak (QS Ali 'Imran, 3: 178).

Inilah penangguhan yang diberikan Allah untuk menguji manusia. Namun, ada waktu yang telah ditetapkan Allah untuk membalas apa yang mereka perbuat. Ketika waktu yang ditetapkan tiba, waktu itu tidak dapat ditunda atau dipercepat, meski hanya sesaat. Setiap orang pasti akan memperoleh balasan, seperti tertera dalam QS Taha, 20: 129.

”Dan kalau tidak ada suatu ketetapan terdahulu dari Tuhanmu serta tidak ada batas yang telah ditentukan (ajal), pasti (siksaan itu) menimpa mereka. Dan Aku akan memberikan tenggang waktu kepada mereka. Sungguh rencana-Ku sangat teguh." (QS Al-Anfal 8: 68). (Harun Yahya. Beberapa Rahasia dalam Al Qur’an, 2004) 


Tafsir At Tabari


Pada ayat-ayat sebelumnya Allah menjelaskan perdebatan yang terjadi antara para nabi dan kaumnya, serta menjelaskan bahwa Dia membinasakan para pendusta. Kesudahannya, kemenangan ada di pihak para rasul-Nya yang bertakwa karena telah menjadi sunah-Nya dalam setiap pertarungan antara hak dan batil, yang hak itulah yang menang sekalipun harus memakan waktu yang lama. Di sini terdapat penawar hati bagi Rasulullah saw. dan janji bahwa sekalipun beliau dianiaya oleh kaumnya serta menerima berbagai kekerasan dari mereka, namun pada akhirnya kemenangan pasti beliau raih.

Pada rangkaian ayat-ayat ini (192-212) Allah menutup kisah para nabi terdahulu, dengan menjelaskan bahwa Al-Qur'an yang menyajikan kisah-kisah itu adalah wahyu dari Allah yang diturunkan kepada hamba dan rasui-Nya.

Orang-orang Quraisy yang durhaka, mereka tidak mengimani Al-Qur'an dan menentangnya hingga azab Allah datang kepada mereka secara tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadarinya.

Pada ayat ini diisyaratkan bahwa setelah Nabi saw. mengancam mereka dengan azab, mereka berkata, "Hingga kapan kamu mengancam kami dengan azab itu? Kapan azab itu terjadi?" Maka itu pada ayat ini seolah Allah berfirman, "Mengapa mereka meminta azab Kami segera diturunkan. Padahal mereka telah mengetahui dengan jelas, bagaimana Kami menyiksa umat, generasi dan kaum-kaum terdahulu?.“ (Tafsir At-Tabari, jilid XVIII, 2001: 650)


Tafsir Ibnu Kasir

Maksud ayat Bukankah mereka yang meminta agar azab Kami dipercepat? adalah mereka sebelumnya mengingkari ajaran Allah Swt. yang dibawa oleh utusan Nya implikasi dari keingkaran tersebut, mereka menantang? "utusan Allah Swt. untuk menunjukkan kebenaran risalah yang dibawanya. Seolah-olah mereka ingin ditunjukkan tentang azab Allah Swt. Sebagaimana disebutkan pada ayat yang iain sebagai berikut,

(Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, 'Ya Allah, jika (AI Qur‘an) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih (QS Al-Anfal, 8: 32)

Dan (Dan mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan azab kalau bukan karena waktunya yang telah ditetapkan niscaya datang azab kepada mereka, dan (azab itu) pasti: akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadarinya. Mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan azab. Dan sesungguhnya neraka Jahanam itu pasti meliputi orang-orang kafir) (QS Al-Ankabut, 29:53-54) (Al Misbah AI-Munir fi Tahzib Tafsir Ibnu Kasir, 1999: 788)


Hadits Sahih

Dari Humaid bin Abdur Rahman dia berkata, "Saya mendengar Mu'awiyah sewaktu dia berkhutbah mengatakan, 'Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Barang siapa yang dikehendaki Allah dalam kebaikan, maka Allah menjadikannya pandai agama. Saya ini hanya pembagi (penyampai wahyu secara merata), dan Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia memberi (pemahaman). (HR Bukhari, 55)

Sunday 29 October 2017

Orang yang Beriman dengan Sempurna Tidak Pernah Putus Asa | Tadabbur Al Hijr Ayat 56



Surat Al Hijr Ayat 56

قَالَ وَمَن يَقۡنَطُ مِن رَّحۡمَةِ رَبِّهِۦٓ إِلَّا ٱلضَّآلُّونَ ٥٦ 

56. Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat"


Khazanah Pengetahuan

Orang yang Beriman dengan Sempurna Tidak Pernah Putus Asa


Orang yang beriman hendaknya bersabar dalam doanya. Sebagaimana dikatakan ayat, ”Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu Sungguh berat kecuali bagi orang orang yang khusyuk." (QS Al Baqarah, 2: 45). Kepasrahan mereka kepada Allah dan kepercayaan yang mereka taruh kepada-Nya menyebabkan kesabaran dan tekad sedemikian. Mukmin merasa yakin bahwa Allah pasti akan mengabulkan doanya. Ia tidak pernah berputus asa dan terus memohon kepada-Nya.

"Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir." (QS Yusuf, 12: 87)

Orang yang beriman sempurna menakuti Allah dan berdoa kepada-Nya dengan penghormatan dan kesabaran besar. Ia berdoa kepada Tuhannya di setiap saat, pada waktu dan tempat yang tidak diperkirakan, mukmin menyisihkan waktu untuk berdoa kepada Tuhan-Nya dengan sungguh-sungguh.

Bahkan, dalam saat-saat tersibuknya, ia mencari perlindungan dari-Nya, bermohon kepada-Nya dan meminta petunjuk-Nya. la melakukan semua ini karena mengetahui inilah cara termudah untuk lebih mendekat kepada Allah untuk meraih ridha dan surga-Nya. Tidak ada penghalang yang akan mencegah orang seperti dia dari lebih mendekat kepada Penciptanya. Allah hanya menginginkan hamba hamba-Nya berpaling kepada-Nya dengan hati yang tulus.

Mereka yang beriman sempurna adalah mereka yang benar-benar meresapi bahwa dunia ini adalah tempat yang dirancang khusus untuk menempatkan manusia ke dalam cobaan. Mereka juga benar-benar mengetahui bahwa gagasan "kesusahan" diciptakan untuk membedakan antara "orang-orang yang sungguh-sungguh beriman" dan "orang-orang yang di hatinya ada penyakit”.

Masa-masa susah dan masalah adalah saat-saat penting bagi makhluk yang memungkinkan mereka mem-buktikan ketulusan mereka dalam beriman. Karena itu, berlawanan dengan makna biasanya, "kesusahan" sungguh-sungguh "nikmat" bagi orang yang beriman sempurna. (Harun Yahya, Iman yang Sempurna, 2005)


Tafsir At Tabari

Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa tamu yang datang ke Ibrahim itu berkata, ”Kami membawa kabar gembira untukmu dengan sesuatu yang pasti. Dalam Pengetahuan kami, Allah akan menganugerahimu seorang anak lelaki maka janganlah kamu termasuk orang-orang putus asa dari keutamaan Allah. Bergembiralah dari kabar yang kami bawa ini."

Di ayat selanjutnya Allah menegaskan, (Tidak ada yang berputus asa dari rahmat tuhan-Nya, kecuali orang yang sesat). (Tafsir At-Tabari, Jilid XIV, 2001: 84-85)


Tafsir Ibnu Kasir

Disebutkan bahwa lbrahim merasa takut kepada mereka karena mereka tidak mau menyentuh makanan yang dihidangkan oleh lbrahim kepada mereka, yaitu daging anak sapi yang dipanggang. Ketika mereka melihat lbrahim merasa takut, "Mereka berkata, 'Janganlah engkau merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang pandai (Ishaq).'” Hal itu sebagaimana telah dijelaskan didalam surah Hud.

Mendengar berita tersebut, Nabi lbrahim terkejut mengingat usia dia dan istrinya telah tua, dan ia ingin memastikan berita gembira itu. Mereka memberikan jawaban untuk menguatkan kabar gembira yang mereka sampaikan kepada ibrahim dalam ayat sebelum ayat ini sebagai berikut.

(Mereka menjawab, ”Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah engkau termasuk orang yang berputus asa. " Dia (Ibrahim) berkata, 'Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat"). (AI Misbah AI-Munir fi Tahzib Tafsir Ibnu Kas‘ir, 1999: 567).


Hadits Sahih
Dari Anas bin Malik ra., dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, "SungguhAllah akan lebih senang menerima tobat hamba-Nya ketika ia bertobat kepada-Nya daripada (kesenangan) seorang di antara kamu sekalian yang menunggang untanya di tengah padang luas yang sangat tandus, lalu unta itu terlepas membawa lari bekal makanan dan minumannya dan putuslah harapannya untuk memperoleh kembali. Kemudian dia menghampiri sebatang pohon, Ialu berbaring di bawah keteduhannya karena telah putus asa mendapatkan unta tunggangannya tersebut Ketika dia dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia mendapati untanya telah berdiri di hadapan. Lalu, segera ia menarik tali kekang unta itu sambil berucap dalam keadaan sangat gembira: Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu. Dia salah mengucapkan karena terlampau merasa gembira." (HR Muslim, 4932)

Saturday 28 October 2017

Kaum yang Mengingkari Janji Kepada Allah | Tadabbur Ayat: Surat Al Baqarah Ayat 83



Oleh: Muhamad Afif Sholahudin

Qur'an Surat Al Baqarah Ayat 83

وَإِذۡ أَخَذۡنَا مِيثَٰقَ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ لَا تَعۡبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَانٗا وَذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسۡنٗا وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ ثُمَّ تَوَلَّيۡتُمۡ إِلَّا قَلِيلٗا مِّنكُمۡ وَأَنتُم مُّعۡرِضُونَ ٨٣ 

83. Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling


Munasabah Ayat

Bani Israil Mengingkari Janjinya Kepada Allah.


Ayat-ayat yang lalu menjelaskan perbuatan kotor Bani lsrail yang memutarbalikkan isi Taurat dan mengakibatkan kerusakan agama mereka. Dalam ayat ini dijelaskan lagi kejahatan-kejahatan mereka yang lain, yaitu meninggaikan kewajiban agama dan melakukan tindakan yang melanggar hukum". (QS AlBaqarah, 2:83)


Asbabunnuzul


Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Ahli Kitab, tepatnya para pendeta Yahudi yang mendapati dalam kitab Taurat mereka bahwa sifat-sifat nabi itu matanya bercelak, berambut keriting, dan berwajah tampan. Sifat sifat ini sesuai dengan fisik Rasulullah saw. Namun, mereka mengubahnya dengan mengatakan bahwa dalam Taurat mereka hanya tertulis orang yang berperawakan tinggi dan berambut lebih kesukuan. (Lubabun Nuqul: 10)


Khazanah Pengetahuan

Kaum-Kaum yang Mengingkari Janji terhadap Allah


Berita-berita tentang kaum terdahulu yang merupakan bagian penting dalam Al-Qur'an, jelas-jelas merupakan hal yang patut kita renungkan. Sebagian besar dari kaum ini mengingkari, bahkan memusuhi para nabi yang diutus kepada mereka. Kelancangan mereka mengundang kemurkaan Allah dan mereka pun disapu bersih dari muka Bumi.

Al-Qur'an menjelaskan bahwa peristiwa-peristiwa menghancurkan ini hendaknya menjadi peringatan bagi generasi berikutnya. Sebagai contoh, Allah langsung menyampaikan firman-Nya setelah penggambaran hukuman atas sekelompok Yahudi yang menentang Allah.

”Maka Kami jadikan (yang demikian) itu peringatan bagi orang-orang pada masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS Al-Baqarah, 2: 66)

Dalam banyak sumber, kita dapat menelaah masyarakat-masyarakat masa lampau yang telah dihancurkan karena penentangan mereka terhadap Allah. Sorotan atas semua peristiwa tersebut, masingmasing merupakan contoh bagi manusia pada masa itu dan kini sehingga semuanya dapat menjadi sebuah "peringatan".

Selain itu, penghancuran kaumkaum tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa apa yang diungkapkan Al-Qur'an benar-benar terjadi di dunia dan membuktikan keotentikan cerita-cerita dalam Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an, Allah menjamin bahwa ayat-ayat-Nya dapat diamati pada konteks dunia luar. (Harun Yahya, Jejak Bangsa-Bangsa Terdahulu, 2007)


Tafsir At Tabari


Kata (Mengambil janji) dalam ayat ini ada-lah perjanjian yang Allah ambil dari Bani lsrail pada zaman Nabi Musa a.s. yaitu (1) hendaknya mereka ikhlas terhadap Allah dan tidak akan menyembah selain Dia, demikian kata Abu 'Aliyah; (2) Berbuat baik kepada kedua orang tua seperti berkata lembut, berbuat menyenangkan, bersikap santun, dan mendoakan kebaikan bagi mereka; (3) Menyambung silaturahmi dengan karib kerabat, bersikap lembut dan sayang kepada anak yatim, memberi orang-orang miskin hak-hak mereka sewajarnya; (4) Mengucapkan perkataan yang baik kepada manusia. Maksud (Bertutur katalah yang baik) adalah mengajak manusia mengucapkan "Tiada Tuhan selain Allah". Juga termasuk perkataan baik jika berbicara kepada manusia dengan sopan santun dan akhlak mulia. Demikian kata Ibnu 'Abbas. Adapun menurut Sufyan Al Tsauri maksud perkataan baik di sini adalah amr-ma'ruf nahi munkar; (5) Menunaikan shalat dengan menyempurnakan rukuk dan sujudnya, memelihara kekhusyukannya, dan memahami bacaannya, serta menegakkan nilai-nilainya dalam kehidupan, serta menunaikan zakat tentu saja sesuai dengan syariat mereka saat itu. Demikian kata lbnu 'Abbas. Bani lsrail pada masa Nabi Musa mengabaikan perjanjian itu, dan demikian pula kelakuan keturunan mereka pada zaman Nabi Muhammd saw. (Tafsir At-Tabari Jilid l, 2001: 187-198)


Tafsir Ibnu Kasir


Ayat ini menjelaskan, kaum Yahudi adalah kaum yang gemar melakukan pembangkangan terhadap syariat ilahi. Disebutkan dalam ayat sebelumnya bahwa mereka sebenarnya telah mengetahui kebenaran yang termaktub dalam kitab Taurat, tetapi mereka melakukan penyelewengan terhadap syariat kitab itu. Ditegaskan pula bahwa mereka diperintahkan untuk mengikuti syariat nabi sesuai dengan kitab yang dibawanya.

Ayat ini juga menyerukan kepada umat manusia agar senantiasa berbuat baik kepada orang tua, sanak kerabat, fakir, dan miskin. Semua itu kewajiban sosial yang harus ditunaikan. Dalam sebuah riwayat, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulullah saw., perbuatan apa yang paling utama di sisi Allah Swt.?” Rasulullah saw. kemudian menjawab, "Shalat tepat pada waktunya, berbuat baik kepada kedua orang tua, dan jihad di jalan Allah.”
Kata (Anak-anak yatim) bermakna anak kecil yang belum bekerja dan tidak memiliki ayah. Kata (Orang-orang miskin) bermakna orang yang tidak memiliki bekal cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya.

Kata (Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia) berarti perintah untuk berbicara yang baik dan sopan. Makna ini termasuk perintah melakukan amar makruf nahi mungkar. Hasan al-Bashri mengatakan, hendaknya amar makruf nahi mungkar dilakukan dengan baik sambil berinteraksi sopan. Allah Swt. menyertakan perintah berbuat baik dengan perintah shalat dan zakat. Ini berarti harus ada perpaduan antara perkataan dan perbuatan. (AI-Misbah AI-Munir fi Tahzib Tafsir lbnu Kasir, 1999: 60)


Hadis Shahih


Hadis riwayat Abu Waqid. Al-Laitsi r.a., "Bahwa ketika Rasulullah saw. sedang duduk dl masjid bersama para sahabat, tiba-tiba muncullah tiga orang. Yang dua orang datang menghampiri Rasulullah saw. sedangkan yang satu lagi berlalu pergi. Kemudian, keduanya berdiri di hadapan Rasulullah saw. lalu yang satu melihat tempat kosong di antara lingkaran orang maka duduklah ia di sana. Adapun yang seorang lagi duduk di belakang mereka. Sementara itu, orang yang ketiga telah pergi. Setelah Rasulullah saw. selesai, beliau bersabda, "Tidak inginkan kalian aku beri tahukan tentang ketiga orang tadi? Seorang di antara mereka teIah berlindung kepada Allah, maka Allah memberikan perlindungan kepadanya. Sedangkan yang lain malu, maka Allah pun malu kepadanya. Adapun Orang yang ketiga ia telah berpaling, maka Allah pun berpaling darinya.'“ (HR Muslim, 4042)

Friday 27 October 2017

Perlindungan HAKI Dilihat Dari Fiqh Muamalah Dihubungkan Dengan Fatwa MUI No. 5 Tahun 2005

Oleh: Muhamad Afif Sholahudin

Mengaitkan antara Hak atas Kekayaan Intelektual dengan fiqh muamalah mudahnya berangkat dari pengertian. HAKI merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada seseorang, sekelompok orang, maupun lembaga untuk memegang kuasa dalam menggunakan dan mendapatkan manfaat dari kekayaan intelektual yang dimiliki atau diciptakan. Menurut penulis, perlindungan seperti ini sepintas mengandung salah satu ciri khas budaya kapitalisme yang menjunjung tinggi hak-hak individu atas kepemilikan bersama.
Zaman dulu sesuatu yang tergolong biasa didapatkan namun saat ini dipandang memiliki nilai ekonomis. Seperti sebuah gagasan, mereka biasanya menggunakannya tanpa perlu memberi imbalan apapun kecuali doa dan dukungan atas gagasan yang sudah dilahirkan. Bahkan seringkali banyak yang mengambil keuntungan bukan dari sang penggagas namun mereka yang memanfaatkan gagasan tersebut. Tentu manusia yang mengalami pergeseran dan perubahan pola pikir dan pola sikap menuntut kemajuan atas kepentingan harta benda dan perniagaan.
Jika Hak Kekayaan Intelektual yang ada saat ini lebih luas pengertiannya sebagaimana yang telah diatur dalam hukum positif, seperti: Hak Cipta, Paten, Merek, Perlindungan Varietas Tanaman, Rahasia Dagang, Desain Industri, dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Sedangkan Islam memandang kekayaan intelektual berupa hasil gagasan dari pemikiran. Dalam khazanah kontemporer dikenal dengan nama Haq al-Ibtikar. Secara bahasa berarti kekhususan yang dimiiki untuk menciptakan, atau hak istimewa yang pertama kali diciptakan. Fathi Ad-Dhuraini mendefinisikannya dengan gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuan atau terpelajar dan semisalnya melalui pemikiran dan analisisnya, hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama dan belum ada seorang ilmuan pun yang mengemukakan sebelumnya.[1]
Oleh karena itu, islam lebih menitikberatkan pada hak cipta karena berkaitan dengan hasil gagasan baru, adapun masalah merek, paten, dsb maka pembahasan ini belum diatur jelas dalam khazanah islam. Namun demikian, Islam mengatur kepemilikan seseorang dari sesuatu yang dihasilkannya. Kepemilikan/hak milik dalam Islam disebut “al-Milku” yang berarti sifat penggabungan kekayaan oleh manusia lalu menjadikannya ekslusif bagi dirinya sendiri. Wahbah Az Zuhaili mendefinisikan bahwa Milik adalah keistimewaan (astishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan syar’i.
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa nomor 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)”. Fatwa ini keluar dilatarbelakangi maraknya pelanggaran HKI yang telah sampai pada tingkat sangat meresahkan, merugikan, dan membahayakan banyak pihak terutama pemegng hak, negara, dan masyarakat. Selain itu karena ada ajuan fatwa dari Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), karenanya butuh adanya pedoman bagu umat Islam di Indonesia terkait pengaturan tentang masalah ini.
Merujuk dari ketentuan hukum fatwa, bahwa Islam memandang HKI sebagai salah satu huquq maliyyah (hak kekayaan) yang mendapat perlindungan hukum (mashu) sebagaimana mal (kekayaan). HKI yang mendapat perlindungan hukum Islam sebagaimana di maksud fatwa adalah HKI yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. HKI dapat dijadikan obyek akad (al-ma’qud’alaih), baik akad mu’awadhah (pertukaran, komersial), maupun akad tabarru’at (nonkomersial), serta dapat diwakafkan dan diwariskan. Setiap bentuk pelanggaran terhadap HKI, termasuk namun tidak terbatas pada menggunakan, mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan, menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak, memalsu,membajak HKI milik orang lain secara tanpa hak merupakan kezaliman dan hukumnya adalah haram.
MUI dalam menjelaskan HKI tidak berbeda jauh dari pengertian HKI yang dimaksud dalam hukum positif. Yang dimaksud Kekayaan Intelektual adalah kekayaan yang timbul dari hasil olah piker otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia dan diakui oleh Negara berdasarkan peraturan perundangaundangan yang berlaku. Oleh karenanya, HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual dari yang bersangkutan sehingga memberikan hak privat baginya untuk mendaftarkan, dan memperoleh perlindungan atas karya intelektualnya. Sebagai bentuk penghargaan atas karya kreativitas intelektualnya tersebut Negara memberikan Hak Eksklusif kepada pendaftarannya dan/atau pemiliknya sebagai Pemegang Hak mempunyai hak untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya atau tanpa hak, memperdagangkan atau memakai hak tersebut dalam segala bentuk dan cara. Pengertian dari jenis-jenis HKI yang dirujuk pun tidak lepas dari Undang-unndang yang berlaku, seperti: Hak Perlindungan Varietas Tanaman (UU No 29 Tahun 2000), Hak Rahasia Dagang (UU No 30 Tahun 2000), Hak Desain Industri (UU No 31 Tahun 2000), Hak Desain Tata Letak Terpadu (UU No 3 Tahun 2000), Paten (UU No 14 Tahun 2001), Hak atas Merek (UU No 15 Tahun 2001), Hak Cipta (UU No 19 Tahun 2002).
Namun, hal penting yang harus diperhatikan adalah penilaian islam dalam setiap akad muamalah saat memenuhi syarat dari Hak Kekayaan Intelektual. Sebab, ada beberapa kriteria yang diatur dibatasi dalam Islam namun dibebaskan dalam hukum positif. Hal ini tidaklah dibatasi dalam undang-undang, begitupun dalam fatwa MUI hanya menyebutkan “tidak bertentangan dengan aturan Islam”. Maka, beberapa penjelas agar tidak bertentangan dengan aturan Islam misalnya:
a.      Tidak mengandung unsur-unsur haram didalamnya seperti khamar, riba, judi, daging babi, darah, dan bangkai.
b.     Tidak menimbulkan kerusakan di masyarakat seperti pornografi, kekerasan, mengajak umat untuk berbuat dosa merusak lingkungan dan lain sebagainya.
Tidak bertentangan dengan syariat Islam secara umum seperti pembuatan berhala yang akan disembah manusia, gambar-gambar yang merusak akhlak, buku-buku yang mengajarkan ajaran sesat, penyimpangan-penyimpangan manhaj, mengajak kepada kesyirikan dan yang lainnya.
Selain dari segi materi (zat) karya cipta, maka tidak dilindunginya sebuah karya cipta juga berhubungan cara mendapatkan karya cipta tersebut. Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa Islam tidak melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan yang haram dan melindungi hak milik yang diperoleh dengan jalan yang halal. Berciri jenis-jenis yang dilindungi oleh Islam, yaitu:
a.      Diambil dari sumber yang tidak ada pemiliknya, misalnya barang tambang, menghidupkan tanah mati, berburu, mencari kayu bakar.
b.     Diambil dari pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal, misalnya harta rampasan, dan pengambilan zakat.
c.      Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti misalnya dalam jual beli dan berbagai bentuk perjanjian,
d.     Diambil secara sah dari pemiliknya dan tidak ada iwadh misalnya hadiah.
e.      Diambil tanpa diminta, misalnya harta warisan.
Jenis-jenis harta tersebut dikaitkan dengan hak cipta maka setiap karya cipta yang diperoleh dengan cara yang haram maka ia menjadi haram untuk digunakan. Sebagaimana harta yang diperoleh dengan cara yang haram. Implikasinya bahwa karya cipta yang diperoleh dengan cara yang haram maka tidak dilindungi sebagai hak dalam Islam.[2]
Jika dikaitkan dengan sumber hukum Islam, maka didapatkan bahwa kekayaan hasil pemikiran seseorang lebih baik disebarluaskan karena seorang muslim dituntut berfikir dan didorong dari hasil pemikirannya untuk didakwahkan dan disebarluaskan sebagai kemajuan pemikiran Islam. Bahkan hal ini yang dijadikan peletak dasar majunya keilmuan Islam di Masa Abbasiyah.
Memang pada awalnya iklim orang Indonesia menawarkan sesuatu yang berbeda dari iklim barat. Para penemu atau pencipta di Indonesia sangat berbesar hati apabila ciptaannya diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain. Para pelukis, pemahat, dan pematung di Bali sangat gembira apabila karya ciptanya ditiru orang lain.[3] Terlepas dari itu semua kiranya Indonesia sudah saatnya mencermati kembali segi-segi yang berkaitan dengan perlindungan HKI ini dalam sebuah sistem.[4]
HKI dalam Islam dibatasi dengan syariat Islam. Seperti tidak boleh mengajukan perlindungan gagasan baru yang berkaitan dengan khamr, karena khamr hukumnya haram, kecuali gagasan yang mendukung keharaman khamr. Atau produk teknologi yang berfungsi merusak lingkungan atau mengandung unsur pornografi. Islam punya batasan yang khusus tentang merusak lingkungan dan pornografi, meskipun batasan ini berbeda dengan batasan yang diatur dalam hukum positif.
Sebelum lahirnya pengakuan dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dalam hukum nasional kita, sebenarnya Islam telah lebih dahulu mengakui adanya  kekayaan  intelektual setiap manusia. Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan, tidak ada agama selain Islam dan tidak ada kitab selain Alquran yang demikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya dan memuji orang-orang  yang  menguasainya.[5] Suatu  petunjuk  yang  sangat  agung  dari  Alquran dalam hal ini adalah bahwa ia memberi penghargaan pada Ulu al-Albâb, kaum cendekiawan dan kaum intelektual, sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:
Hai  orang-orang  beriman apabila  kamu  dikatakan  kepadamu, "Berlapanglapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan  untukmu.  dan  apabila  dikatakan,  "Berdirilah  kamu",  maka berdirilah,  niscaya  Allah  akan  meninggikan  orang-orang  yang  beriman  di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan  Allah  Maha  mengetahui  apa  yang  kamu  kerjakan. (Q.s. al-Mujâdalah [58]: 11)
Penghargaan  terhadap  ilmu  pengetahuan  ini  diperkuat juga  oleh Hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi:
Apabila  anak  Adam  meninggal  dunia,  maka  terputuslah  seluruh  amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak salih yang mendoakannya. (HR. Abû Dâwûd)
Hadis tersebut memberikan pengertian bahwa hasil karya itu adalah hasil usaha manusia dan merupakan sumber manfaat baik bagi dirinya maupun bagiorang  lain.  Dengan  memanfaatkan  hasil  kreativitas orang  yang  berilmu  berartimelanjutkan  amal  salihnya yang  tidak  akan  mungkin  hilang bersama  dengan kematiannya.  Pemahaman  terhadap intellectual property  ini  pada  dasarnya merupakan pemahaman terhadap hak atas kekayaan yang timbul atau lahir dari hasil  kerja  intelektualitas  manusia. Banyak  karya  yang  dihasilkan  dari  intelektualitas manusia, baik melalui daya cipta,  rasa, maupun karsanya. Oleh karena itu, perlu diperhatikan dengan serius, sebab karya manusia ini  telah  dihasilkan dengan suatu pengorbanan tenaga, pikiran, waktu, dan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.[6]
Hasil dari sesuatu yang penuh dengan pengorbanan yang demikian sudah tentu  menjadikan  sebuah  karya  yang  dihasilkannya  memiliki  nilai  yang  patut dihargai.  Ditambah lagi  dengan adanya manfaat  yang dapat dinikmati, dan dari sudut ekonomi karya-karya tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Jadi, Hak atas Kekayaan Intelektual dapat termasuk kekayaan atau harta dalam ekonomi Islam, terutama ditarik dari sisi ciri-ciri dan cara perolehannya. Islam mendorong hasil intelektual untuk kemajuan ilmu pengetahuan, namun kepentingan ekonomis akan tergantung dari tujuan penggunaan kekayaan tersebut. Dalam kehidupan era modern saat ini, hak individu dijaga sehingga menuntut hasil karya intelektual pun akan dijaga. Hal ini tidak bertentangan dengan Islam, asalkan tidak keluar dari koridor hukum syara’.




[1] Hak Kekayaan Intelektual dalam hukum Islam, http://saifudiendjsh.blogspot.co.id/2013/10/hak-kekayaan-intelektual-dalam-hukum.html, diakses 14 Mei 2017
[2] Hak Kekayaan Intelektual dalam Islam, http://jubahhukum.blogspot.co.id/2017/04/hak-kekayaan-intelektual-dalam-hukum.html, diakses pada 15/5/17
[3] Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelekual, hlm. 22
[4] M Musyafa’, “Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Ekonomi Islam”, Jurnal Al-Iqtishad, 5:1, (Jayapura, September 2012), 44
[5] Yusuf Qaradhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, diterjemahkan oleh Abdul Hayyi Al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Inssani Press, 1998), h. 90.
[6] Ibid, Hlm 46