Sunday 19 February 2012

Arab Saudi Bukan Negara Islam?


Ruyati dipancung di Arab Saudi. Berita ini bak petir di siang bolong, mengagetkan hampir seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah Arab menyatakan, Ruyati binti Satubi mengaku telah membunuh istri majikannya dengan palu dan menusukkan pisau ke lehernya. Pihak keluarga korban tidak mau memaafkan, sehingga Ruyati mesti menjalani hukuman pancung. 

Pemerintah Saudi mengklaim, bahwa pelaksanaan hukum pancung ini adalah penerapan hukum Islam yang diberlakukan oleh negara. Setiap orang yang membunuh, akan dibalas bunuh, kecuali bila mendapatkan pemaafan dari pihak keluarga. Dalam hal ini maka pembunuh tidak dibunuh tetapi wajib membayar diyat, yang di Indonesia lebih dikenal sebagai uang darah.

Penerapan hukuman pancung Ruyati memunculkan imbas ketakutan dan ketidaksetujuan yang besar terhadap penerapan syariah Islam dan institusi Negara Islam. Hal ini terjadi karena tidak adanya kejelasan di tengah umat tentang hakikat negara Islam, sehingga mengidentikkan penerapan sebagian hukum Islam dengan negara Islam. 

Darul Islam adalah negeri yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum Islam, dan keamanannya didasarkan pada keamanan Islam (An Nabhani, 2009). Melihat pada definisi tersebut, maka Arab Saudi jelas bukan negara Islam. 

Saudi hanya menerapkan sebagian saja dari hukum Islam. Hukum-hukum terkait hukum pidana seperti hudud dan jinayat, seperti hukuman bagi pezina, pencuri dan pembunuh diterapkan. Di sisi yang lain, Saudi mengabaikan hukum yang terkait dengan pembuktian sehingga terkesan keputusan yang dijatuhkan jauh dari kebenaran. Seperti kasus Darsem, yang bila diputuskan sesuai dengan hukum Islam, seharusnya bebas karena Darsem membunuh dalam rangka membela diri dari pemerkosaan.

Begitu pula dalam masalah sosial. Arab mewajibkan perempuan mengenakan cadar, melarang mereka untuk mengemudi, memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, ia tidak menerapkan hukum yang telah ditentukan Islam terkait kehidupan dalam ruang khusus, seperti larangan khalwat, dan penjaminan keamanan bagi perempuan pekerja di dalam rumah. Maka tampak dalam kehidupan umum “islami”, namun di rumah-rumah, pelecehan seksual dan kekerasan seolah tak tersentuh hukum. Bahkan, menurut dokumen wikileaks, bangsawan-bangsawan Arab leluasa melakukan pesta dengan minuman keras dan seks.

Dalam masalah ekonomi, Saudi menerapkan bebas riba. Namun ia mengabaikan hukum-hukum kepemilikan dalam Islam. Sumberdaya alam yang seharusnya milik umat, diserahkan kepada para bangsawan, pejabat, dan asing. Maka kesenjangan yang besar tercipta. Masyarakat Saudi yang miskin ternyata banyak juga jumlahnya.

Dan yang paling jelas menunjukkan Saudi bukan negara Islam adalah system politik dan pemerintahan yang dianutnya. Sistem Islam adalah kekhilafahan, bukan kerajaan. Sistem ini dipimpin seorang khalifah yang dipilih dari kaum muslimin melalui baiat, bukan semata-mata pewarisan kekuasaan turun temurun. 

Dalam menilai Arab Saudi, harus kita pisahkan antara Saudi sebagai tempat bermulanya Islam dengan Saudi dalam system yang berlaku sekarang. Benar bahwa sebagai tempat di mana Islam diturunkan, Saudi pernah menjadi pusat negara Islam. Bahkan berabad-abad kemudian, sekalipun pusat kekhilafahan telah berpindah ke Baghdad dan kemudian ke Istambul, Saudi tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari negara Islam. 

Ketika negara Islam mulai melemah seiring dengan melemahnya pemahaman umat terhadap Islam dan masuknya ide-ide asing yang merusak, ikatan antara Arab dengan negara Islam juga mulai melemah. Api nasionalisme yang ditiupkan Barat untuk memecah belah negara Islam membuahkan hasil dengan lepasnya Arab dari daulah pasca perang dunia pertama.

Setelah lepas, Arab membentuk negara sendiri dengan mengadopsi sistem kerajaan sebagai sistem pemerintahan. Kemudian setelah dinasti Saud berkuasa, paham Wahabi dijadikan sebagai paham negara. Penerapan Islam dalam paham Wahabi ini hanya penerapan yang bersifat parsial, karena paham Wahabi sendiri hanya mengadopsi masalah aqidah, ibadah dan sebagian kecil saja dari hukum Islam. 

Maka Saudi pada dasarnya tidak menerapkan hukum Islam, melainkan hanya mengadopsi suatu paham tertentu. Untuk menambal kekurangan paham Wahabi ini, Saudi mengambil sistem kapitalisme dalam masalah perekonomian dan politiknya. 

Ini dari segi penerapan hukum Islam. Dari sisi keamanan, kita lihat bahwa Saudi menyerahkan penjagaan keamanannya pada AS. Ia menyediakan pangkalan militer bagi AS dan bergantung pada penjagaan AS. Kompensasinya, Saudi bersedia membayar mahal plus memberikan konsesi eksploitasi kekayaan alamnya terutama minyak pada AS.

Mencermati fakta tersebut, maka tidak tepat bila Saudi dikatakan sebagai negara Islam, bahkan menjadi representasi negara Islam pun tidak layak. Penerapan Islam hanya sebatas klaim Saudi sebagai alat legitimasi terhadap posisinya sebagai penjaga tempat suci umat Islam sedunia, yakni Baitul Haram.

Negara Islam adalah negara yang menerapkan seluruh sistem Islam dari masalah sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sampai urusan hukum, politik dan pemerintahan. Hanya dengan penerapan Islam secara utuh dan menyeluruh lah maka seluruh problem umat manusia dapat terpecahkan secara tuntas. Kemakmuran dan keamanan menjadi keniscayaan.

Sebaliknya, penerapan secara parsial justru hanya melahirkan berbagai masalah baru yang tidak mampu menggambarkan keagungan Islam sama sekali. Saudi telah membuktikan hal ini. 

Wallahu a'lam bi showab.

Penerapan Syariat Islam Membutuhkan Negara!

Perdebatan tentang perlu tidaknya menerapkan syariat Islam secara formal dalam suatu negara tidaklah muncul kecuali setelah merasuknya ide demokrasi di negeri-negeri muslim. Perdebatan ini terus berlangsung sampai sekarang. Di Indonesia, perdebatan ini terangkat oleh isu gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Dengan makin melemahnya pemahaman kaum muslim, pemikiran yang lebih menonjol adalah tidak perlu melegal-formalkan syariah dalam bingkai negara, cukup dalam tataran individual saja.

Ditambah dengan merebaknya kasus terorisme yang melibatkan sebagian kaum muslimin, ketakutan terhadap legalisasi syariah dalam negara semakin meluas. Tidak hanya kalangan non muslim, bahkan ada di antara para ulama dan cendekiawan muslim ikut menyuarakan penolakan. 

Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, menyatakan, syariat Islam tak perlu diberlakukan di tingkat negara, namun cukup diamalkan oleh orang Islam.

"Pada level masyarakat, silakan syariat dilaksanakan. Nonsense beragama tanpa menjalankan syariat. Tapi syariat tidak perlu diberlakukan di level negara," kata Hasyim. Lebih lanjut menurutnya, di dalam negara bangsa yang beragam seperti Indonesia, pemaksaan penerapan syariat Islam di tingkat negara justru akan menimbulkan persoalan yang bisa memecah keutuhan negara.

Mengenai konsep totalitas Islam (kaffah) yang menjadi jargon kelompok Islam tertentu, Hasyim berpendapat totalitas dalam menjalankan ajaran Islam itu harus dilekatkan pada individu, bukan institusi (ANTARA News, 27 Juli 2007)

Secara terpisah, cendekiawan Islam Azyumardi Azra menilai penerapan syariat Islam secara resmi oleh negara dinilai tidak tepat. Azyumardi sepakat bahwa setiap Muslim harus mencintai syariat Islam dan menerapkannya pada kehidupan mereka, apalagi hasil survei menyebutkan mayoritas masyarakat Indonesia mendukung pelaksanaan syariat.

Tetapi, ia menolak jika syariat diterapkan sebagai hukum positif oleh negara. Menurutnya, nilai-nilai syariat cukup diperkenalkan kepada negara sebagai salah satu sumber hukum dan itu sudah berjalan baik. Sudah banyak muamalah bagian dari syariat yang telah diadopsi oleh negara, seperti perkawinan yang telah diadopsi dalam UU Perkawinan (ANTARA News, 27 Juli 2007).

Pendapat serupa dikatakan juga oleh Luthfi Assyaukani dalam Koran Tempo 24 April 2001. Ia menyatakan, yang harus diperjuangkan sekarang ini bukanlah bagaimana menerapkan hukum Islam secara formalistik, tapi memasukkan norma-norma (baca; moralitas) Islam ke dalam hukum positif Indonesia.

Dalam Islam, perdebatan dalam suatu perkara sebenarnya sah-sah saja selama berlandaskan kepada dalil-dalil yang kuat. Pendapat tanpa dalil dalam pandangan Islam tidak memiliki nilai apa-apa. Maka kalau sekedar pendapat pribadi yang didasarkan pada logika semata, sementara dalil dan fakta tidak mendukung, otomatis pendapat tersebut tertolak.

Kewajiban Muslim Terikat dengan Hukum Syara’

Seorang muslim ketika menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, beriman kepada Al Qur’an sebagai kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, terikatlah ia dengan konsekuensi dari keimanan tersebut. Ia harus menjadikan Allah sebagai satu-satunya tuhan yang ia sembah, ia tunduk dan taat terhadap aturan yang Allah gariskan. Iman kepada Rasulullah mengharuskan ia untuk mencintai dan menjadikannya sebagai teladan. Ia menjaga agar selalu mengikuti apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya melalui Al Qur’an dan hadist. Ia menjadikan keduanya sebagai pedoman dalam hidup. Apa yang diperintahkan Allah dan Rasul ia kerjakan dan apa yang dilarang ia tinggalkan.

“…apa yang dibawa oleh Rasul kepada kalian maka ambillah, dan apa saja yang dilarangnya maka tinggalkanlah.” (TQS. Al Hasyr:59).

Begitu pun keimanan terhadap hari akhir, mengharuskan seorang muslim untuk terikat dengan hukum-hukum Allah karena ia yakin bahwa suatu saat ia akan menemui tuhannya dan akan mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. Ia akan ditanya hujah ketika beramal atau tidak beramal dengan hukum Allah. 

Dari keimanan yang kuat semacam ini, lahirlah ketaatan yang kuat kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang semacam ini akan berusaha untuk mengerjakan apa saja yang Allah perintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Ia tidak mencari-cari alasan untuk menolak dan menghindar. Ia tidak menjadikan akalnya sebagai standar perbuatannya, karena ia telah menjadikan akalnya tunduk kepada aturan Allah.

Cakupan Syariat Islam

Kelengkapan Din Islam memantapkan Islam sebagai satu-satunya sistem hidup yang berasal dari Allah Swt, Pencipta seluruh makhluk, Yang Mahaadil dan Maha Mengetahui. Ajarannya yang terperinci, lengkap, dan mampu menjawab seluruh problem umat manusia sepanjang zaman telah dijamin sendiri oleh Allah Swt:

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (TQS an-Nahl [16]: 89).

Al-Quran dan Sunah Nabi memuat hukum-hukum yang lengkap tentang ibadah, berpakaian, makanan, minuman, hukum-hukum tentang ekonomi-perdagangan, harta, distribusi harta, ghanimah, fa’i, jizyah, kharaj, tentang peradilan tindakan kriminal, hudud, ta’zir, persaksian, pembuktian (bayyinaat), mahkamah, hingga ke perkara jihad, gencatan senjata, mobilisasi, perjanjian damai, atau utusan/delegasi. Belum lagi perkara-perkara yang menyangkut pendidikan, aturan sosial, keluarga/rumah tangga, dan seterusnya. Semua itu berupa sistem hukum yang cakupannya meliputi seluruh bentuk perbuatan manusia, baik antara manusia satu dengan yang lain, antara rakyat dan negara, antara negara Islam dengan negara lain, antara muslim dan nonmuslim, antara hamba dengan Allah SWT sebagai al-Khalik.

Para ulama dan fukaha terdahulu ataupun sekarang senantiasa memenuhi kitab-kitab hukum/fikih karangan mereka dengan seluruh pembahasan-pembahasan tadi. Dimulai dari bab Thaharah, sampai bab Peradilan, Jihad, atau Imamah (Ulil Amri).

Seluruh hukum yang telah ditetapkan Allah dalam Al Qur’an dan sunnah Rasul-Nya mengikat setiap muslim untuk menjalankannya. Maka ketika Allah mewajibkan kita berpuasa dengan perintah-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [٢:١٨٣]


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah : 183)

maka kita wajib menjalankannya. Mestinya sama juga kita wajib menjalankan ketika Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang ” (QS. Al Baqarah : 178).

Kedua ayat ini sama-sama menggunakan kata “kutiba” yang berarti diwajibkan. Mengapa kita menjalankan yang kewajiban berpuasa sedangkan kewajiban qishash tidak? Memang kewajiban qishash saat ini tidak dapat kita jalankan karena institusi pelaksananya yaitu negara tidak ada, namun ayat ini sama mengandung sebuah kewajiban sehingga mestinya institusi untuk menegakkan hukum ini menjadi wajib ada.

Allah telah memerintahkan kita untuk menjalankan Islam secara total atau yang kita sebut kaffah. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.” (Al Baqarah :208)

Imam Jalaluddin Al Mahalliy dan Imam Jalaluddin As Suyuthi dalam tafsir Jalalain juz 1 mengatakan makna kata kaafah adalah ke dalam seluruh syariatnya tanpa terkecuali. 

Hamka, dalam tafsir Al Azhar juz II memberikan penjelasan yang lebih detil :

“Maka dapatlah kita tafsirkan ayat ini bahwasanya kita kalau telah mengakui beriman, dan telah menerima Islam sebagai agama, hendaklah seluruh isi Al Qur’an dan tuntunan Nabi diakui dan diikuti. Semuanya diakui kebenarannya, dengan mutlak. Meskipun misalnya belum dikerjakan semuanya, sekali-kali jangan dibantah! Sekali-kali janganlah diakui ada satu peraturan lain yang lebih baik dari peraturan Islam…Hendaklah di negeri-negeri Islam, agar umatnya menjalankan peraturan-peraturan Islam.Jangan sampai peraturan-peraturan dan hukum yang berasal dari Islam ditinggalkan, lalu diganti dengan hukum barat…”

Bila ada pendapat bahwa totalitas dalam menjalankan ajaran Islam itu harus dilekatkan pada individu, dan bukan institusi, kita harus lihat dulu apakah memang benar, Islam dapat diterapkan secara kaafah tanpa ada institusi yang menerapkannya.

Pada saat Islam menetapkan hukum syara’ untuk individu, Islam juga menetapkan satu metode untuk menjamin hukum syara’ itu diterapkan. Ini disebabkan tingkat ketaqwaan individu berbeda-beda. Bila tidak ada kekuatan yang “memaksa”, maka individu dapat melanggar hukum dengan mudah. 

Sebagai contoh, ketika Islam melarang individu meminum khamr, maka larangan ini tidak dapat berlaku bagi semua orang jika negara tidak mengeluarkan kebijakan melarang peredaran khamr dan menerapkan sanksi hukum terhadap peminum khamr. Rasulullah saw bersabda :

“Barangsiapa meminum khamr, maka deralah.”

Diriwayatkan dari Imam Muslim bahwa Ali bin Abi Thalib berkata,”Nabi saw mendera peminum khamr 40 kali.”

Pada dasarnya, Islam tidak dapat dijalankan secara sempurna tanpa adanya peraturan yang menjamin pelaksanaan suatu hukum syara’. Shalat atau zakat misalnya. Sekalipun ini adalah kewajiban individu, namun mudah sekali bagi individu yang kurang ketakwaannya untuk meninggalkan kewajiban ini sebagaimana yang kita lihat sekarang. Bila ada negara, maka negara akan membuat aturan untuk membuat orang-orang yang tidak mengerjakan shalat atau zakat kembali menunaikannya, yaitu dengan dakwah dan sanksi hukum.

Tidak dapat dikatakan, daripada berusaha mendirikan negara lebih baik bila berdakwah agar masyarakat menjadi bertakwa dan mau menjalankan hukum syara’. Dakwah seperti ini memang wajib dikerjakan, namun tidak akan menuntaskan masalah. Ini terkait dengan sifat alami pada manusia, selalu ada yang baik dan yang buruk. Bahkan pada masa Nabi pun, ada orang-orang yang berbuat maksiat.

Peraturan tanpa sanksi hukum ibarat macan tanpa gigi. Sebagai rahmatan lil alamiin, Islam menghendaki sebanyak-banyaknya manusia kelak akan masuk surga. Islam tidak membatasi surga hanya bagi orang-orang tertentu, yaitu orang-orang yang selalu bertakwa dan tidak pernah melakukan kekhilafan. Itulah sebabnya Islam menerapkan peraturan sanksi untuk orang-orang yang melanggar hukum syara’. Aturan ini akan menjaga orang-orang yang sedang turun keimanannya untuk tidak sampai bermaksiat karena takut kepada peraturan yang ada. Karena itulah, umat Islam harus memiliki sebuah negara yang dapat menjamin terlaksananya semua hukum yang dituntut oleh Allah SWT untuk kita jalankan.

Juga, para ulama salaf sepakat mengenai wajibnya mengangkat dan mewujudkan pemerintahan dalam bentuk Khilafah Islam. Baik kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah maupun Syi’ah, Khawarij, bahkan Mu’tazilah. Semuanya berpendapat bahwa umat ini harus mempunyai seorang imam yang menerapkan syariat Islam. Sementara itu, hukum mengangkatnya adalah wajib. ( Imam asy-Syaukani, Nayl al-Authar, Jilid VIII, halaman 265)

Kenyataan dari sirah Rasulullah saw. telah menunjukkan bahwa ajaran Islam sama sekali tidak dibatasi pada pribadi-pribadi pemeluknya. Bahkan, beliau menjadikannya sebagai asas Negara. Hal ini tercantum dalam Piagam Madinah (watsiqah Madinah) yang dijadikan peraturan umum antara kaum muslim dan nonmuslim di kota Madinah:

“Bahwasanya apabila di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya adalah kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah saw. dan bahwasanya Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini.”

Sikap Kaum Muslim

Upaya mengembalikan akidah dan hukum syariat Islam sebagai konstitusi dan undang-undang dalam kehidupan masyarakat di dalam sebuah negara Islam adalah merupakan usaha mulia yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Lebih dari itu, merupakan kewajiban dari Allah Swt. bagi kita. Oleh karena itu, kini saatnya ujian iman bagi kaum muslim, turut memperjuangkan Islam demi kebahagiaan dunia-akhiratnya atau netral bahkan menentangnya. Allah Swt. mengingatkan kita:

﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوْا إِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ أُمِرُوْا أَنْ يَكْفُرُوْا بِهِ وَيُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَ لاً بَعِيدًا﴾

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (QS an-Nisaa’[4]: 60).

Kehinaan Perempuan Dalam Jerat Kapitalisme

Pengantar 
Siapa bilang kemoderan yang dikesankan indah oleh kapitalisme adalah kemajuan dan harapan masa depan manusia.  Kini terbukti di depan mata, bahwa kehidupan kapitalistik telah menjerat manusia tak terkecuali kaum perempuan.  Menyisir kondisi perempuan di sepanjang tahun 2011 menyisakan kenangan pahit; perempuan terhina menjadi korban dari kejahatan kapitalisme. 

Friday 17 February 2012

Indahnya Hidup Dalam Naungan Islam


Setiap manusia tentu menghendaki kehidupan yang indah dan menyenangkan, tak hanya di dunia tentu pula di akhirat. Di tengah kesulitan manusia meraih cita-cita tersebut, menjadi muslim sejati adalah modal utama yang tak ternilai harganya. Namun, bagaimana meraih kesejatian muslim tersebut di tengah rusaknya tatanan kehidupan manusia. Benarkah seorang muslim sejati akan meraih keindahan hidup? Dan bagaimana pula keindahan itu bisa diwujudkan?

Konsekuensi Keimanan Seorang Muslim 

Menjadi muslim adalah pilihan yang disertai dengan kesadaran untuk menghamba sepenuhnya kepada Allah SWT (QS. Adz Dzariyat : 56). Oleh karena itu, seorang mukmin akan tunduk patuh (taat) menerima semua ketentuan yang diberikan Allah SWT bagi kehidupannya dengan penuh kepasrahan (QS. An Nisaa : 65). Allah SWT juga telah memerintahkan setiap muslim untuk menerima Islam secara kaaffah (seluruhnya), bukan sebagian-sebagian (QS. Al Baqarah : 208).

Kesempurnan Islam 

Allah SWT menurunkan Islam sebagai penuntun kehidupan manusia. Bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah, Islam sebagai agama (syariat) terakhir memiliki keunikan sehingga mampu menjadi pedoman hidup manusia, mampu menyelesaikan seluruh problematika manusia dan bisa mengantarkan manusia menuju kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. (QS al Baqoroh : 2, QS. An Nahl :84).

Islam yang diturunkan melalui Rasulullah Muhammad saw ini begitu sempurna. Aturannya mencakup seluruh perikehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya, manusia dengan manusia lain, maupun dengan dirinya sendiri. Dilihat dari kandungan hukum-hukumnya, Islam mengatur seluruh sisi kehidupan manusia baik bagi individu (seperti ibadah, makanan, pakaian, akhlak, dll), keluarga (seperti perikahan, waris, nasab, dll), masyarakat (seperti masalah muamalat, hubungan sosial, dll) maupun negara (seperti politik pemerintahan, ekonomi, keamanan, pendidikan, dll). 

Itulah Islam yang dijadikan Allah SWT sebagai jalan menuju kebaikan hamba-hamba-Nya. Islam tidak hanya mengatur ritualitas (ruhiyah, aqidah dan ibadah) semata. Namun Islam juga mengatur aspek kemanusiaan (dimensi politis-sosial). Berbeda dengan agama lain yang tidak memiliki aturan yang lengkap, maka Islam adalah agama yang syamil (lengkap). Dengan kelengkapannya itulah Islam akan mampu memberi kebaikan. Sebaliknya, jika Islam diterima sebagian-sebagian ia tidak akan menjadi rahmat bagi pemeluknya. Maka benarlah jika Allah SWT memerintahkan setiap muslim untuk menerima Islam secara kaffah (sempurna, QS Al Baqoroh : 208). Perwujudannya akan nampak dari seluruh perilaku kehidupannya, apakah sesuai dengan syariah Islam atau tidak.

Ironi Kehidupan Umat Islam Kini 

Meski Allah SWT secara tegas memerintahkan setiap muslim untuk menegakkan Islam secara kaffah, pada faktanya kini dijumpai banyaknya penyimpangan dari kewajiban tersebut. Akibatnya Islam belum menjadi rahmat, kehidupan umat Islam pun diliputi banyak kesulitan. Mari kita perhatikan kondisi umat Islam yang saat ini terpuruk. Banyaknya problem umat baik bidang ekonomi, politik kekuasan, sosial-keluarga, pendidikan, keamanan, dan lain-lain menunjukkan bahwa meski Islam menjadi agama mereka, namun keberkahan dari Allah SWT belum diturunkan kepada umat Islam. Itu semua dikarenakan umat meninggalkan Islam, atau mengambil Islam hanya sebagian.

Peringatan Allah SWT berikut semestinya kita renungkan, QS Al Mu’minun : 71, QS Ar Ruum : 41. Sungguh tak ada jalan lain untuk keluar dari persoalan tersebut melainkan jika kita membali kepada petunjuk Allah SWT, melalui pelaksanaan Islam secara sempurna. Sebab, itulah yang dijanjikan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang bertaqwa (QS Al A’raf : 96).

Bangkit dari Keterpurukan 

Sejatinya, umat Islam adalah sebaik-baik umat (QS Ali Imran : 110). Predikat ini selayaknya mendorong umat untuk maju melakukan perubahan. Apalagi Allah SWT telah menyerahkan urusan kebangkitan ini kepada umat Islam sendiri. Jika kaum muslim mau berusaha Allah pun akan memberikan kemenagan itu (QS. Ar Ra’du : 11, QS Muhammad [47] : 7).

Dari sinilah, selayaknya umat Islam secara keseluruhan berusaha menghadirkan kembali Islam dalam bentuk yang bisa mengantarkan rahmat Allah SWT. Kesadaran ini juga didorong oleh wasiat baginda Rasulllah saw. agar kita senantiasa menyibukkan diri pada urusan agama ini dan umat Islam.
"Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)". (al Hadits).

Dahulu kaum muslim berjaya karena menegakkan Islam secara sempurna. Baginda Rasulullah saw. pun telah mencontohkan perikehidupan bermasyarakat yang melahirkan kesejahteraan, kedamaian, keamanan dan kemajuan bagi kaum muslim dalam berbagai sisi. Tatanan kehidupan tersebut selanjutnya diteruskan oleh para khalifah sesudah beliau. Para shahabat bersepakat untuk menjaga bentuk masyarakat yang dipimpin Rasulullah saw. tersebut karena mereka meyakini bentuk masyarakat ini adalah perkara yang diperintahkan syariat sehingga tidak boleh ditinggalkan.

Maka kaum muslim selama hampir 13 abad meneruskan bentuk masyarakat Islam yang dicontohkan baginda Nabi saw. itu. Selama itu pula kaum muslim memperoleh kebaikan, bukan saja di sisi Allah SWT karena menerapkan syariat-Nya secara kaffah. Namun juga kebaikan di hadapan manusia di seluruh penjuru dunia karena kemajuan peradaban yang pernah diraihnya. 

Masyarakat Islam yang menebar rahmat bagi seluruh alam pernah hadir dalam kurun perjalanan manusia di dunia ini. Masyarakat inilah yang oleh para fuqoha (ulama) disebut dengan Khilafah Islamiyyah. Bentuk masyarakat Islam inilah yang mengantarkan keindahan Islam secara hakiki.

Para fuqoha selanjutnya menggali urgensi khilafah Islamiyyah tersebut untuk masa kekinian. Di tengah keterpurukan umat, di tengah sistem masyarakat yang tidak sesuai dengan Islam, maka sistem khilafah Islamiyyah diperlukan karena :
  • Sistem khilafah, memang berbeda dengan sistem yang ada sekarang, seperti republik dan kerajaan.
  • Khilafah Islamiyyah memungkinkan persatuan umat (ukhuwah Islamiyyah) terealisasi.
  • Secara nyata kaum muslim saat ini (yang hidup di luar sistem khilafah Islam) terkungkung krisis multidemensi. Mereka membutuhkan sistem yang lain yang terbukti pernah mengantarkan kejayaan bangsa.
  • Khilafah Islamiyyah telah mengantarkan umat Islam menjadi khoiru ummah.
  • Sistem masyarakat saat ini telah melemahkan kekuatan umat sehingga tidak mampu menandingi kekuatan Internasional musuh-musuh Islam. Padahal dengan khilafah Islamiyyah, dunia Islam akan bersatu dan menjadi kekuatan yang pasti ditakuti musuh-musuhnya (kaum kafir)
  • Dengan begitu khilafah adalah benteng dari penjajahan Barat terhadap umat, seperti yang saat ini dirasakan.
  • Sungguh hanya dalam sistem khilafah Islam saja, kesempurnaan pelaksanaan hukum-hukum Islam terjamin, karena Khilafah Islamiyyah bukan negara sekuler yang memisahkan urusan agama dari kehidupan.
Itulah Khilafah Islamiyyah, sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia . Islam yang hadir dalam sistem kekhilafahan menjamin kehidupan umat Islam yang dipenuhi rahmat dan kebahagiaan. Saat itulah keindahan hidup akan benar-benar dirasakan, yaitu tatkala berada dalam naungan Islam, dalam naungan khilafah Islamiyyah. Semoga kita diberi kekuatan untuk mewujudkannya. Aamiin, ya Robbal ‘alamiin.[]Ummu Afif